Memahami Nilai Luhur Perkawinan

Oleh :
Dr Lia Istifhama
Sekretaris MUI Jatim

Berbicara pernikahan, sangat identik dengan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Tepatnya, diterangkan dalam Pasal 2, yang menyebutkan: ‘(1) Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu. (2) Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.’

Prinsip pernikahan yang melekat dengan agama atau kepercayaan para mempelai, merupakan pengejewantahan menghormati Dasar Negara Republik Indonesia, tepatnya Pasal 29 UUD 1945, yang menyatakan bahwa ‘negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa dan Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.’

Dasar negara kita memang sangat tegas memuliakan agama di bumi Indonesia, sekalipun tidak menyebut salah satu agama secara khusus. Mulianya posisi agama yang diterangkan dalam UUD 1945, tak lain sebagai proses bangsa untuk selalu mengingat sejarah. Dalam hal ini, Indonesia lahir dari perjuangan para pahlawan, yang mana tidak bisa dinafikan, bahwa pahlawan bangsa mayoritas adalah penganut agama Islam. Hal ini sesuai fakta sejarah, bahwa agama Islam saat itu memang mendominasi bangsa kita.

Sejarah berbicara, bahwa setelah Hindu dan Budha, Islam pun masuk ke tanah Jawa. Diprediksikan, masuknya Islam ke Jawa adalah abad ke-11 M, sesuai dengan temuan batu nisan dari Leran Gresik yang bertuliskan huruf Arab, yaitu makam seorang wanita muslim bernama Fatimah Binti Maimunah pada tahun 475 H atau 1082 M. Sejarah juga menjelaskan fakta dominannya penganut agama Islam di negeri ini. Terbukti, para pahlawan selama penjajahan Belanda, yaitu sekitar 350 tahun, didominasi oleh pemeluk Islam. Diantaranya adalah: RA Kartini, Cut Nyak Dien, Sultan Hasanuddin, Pangeran Antasari, dan sebagainya.

Dominannya pemeluk Islam yang tampil sebagai pahlawan saat itu, ditengarai spirit Islam yang selalu menganjurkan para pemeluknya untuk memiliki jihad bela agama dan bangsa. Jihad membela agama dan bangsa yang dianjurkan dalam Islam, kemudian menjadi cikal bakal berbagai peristiwa mempertahankan Kemerdekaan RI pada 1945, diantaranya yang paling fenomenal adalah resolusi jihad yang dikumandangkan oleh KH. Hasyim Asyari.

Dengan begitu, sangat wajar jika kemudian Dasar Negara Indonesia memiliki relevansi kuat dengan agama, yang dalam hal ini tidak menyebutkan satu agama secara khusus karena sejak datangnya Belanda (masa penjajahan), agama Kristen mulai dikenal di negeri ini sehingga terjadi diversifikasi agama yang kesemuanya, yaitu Islam, Hindu, Budha, dan Kristen, harus diakui secara sama dan adil.

Sikap mulia Dasar Negara yang menjaga keterlekatan agama dengan negara, tak lain menjaga sejarah lahirnya bangsa Indonesia, dan tentunya, menjaga kelangsungan norma agama sebagai bentuk pondasi moral anak bangsa. Begitupun dalam sebuah pernikahan, lahirnya UU RI Tahun 1974 tentang Perkawinan, haruslah dihormati sebagai bentuk mencegah ambiguitas berjalannya mahligai pernikahan.

Sebuah pernikahan tentu memiliki dasar, yaitu dasar terbentuknya pernikahan, warisan saat pasangan suami istri meninggal sehingga terjadi pembagian hak waris, bahkan persoalan perceraian akibat adanya konflik rumah tangga. Tentu, jika sebuah pernikahan memiliki pondasi satu agama yang sama, maka hal itu akan menjadi landasan yang jelas untuk menyelesaikan berbagai hal yang muncul sebagai akibat pernikahan.

Selain itu, berjalannya rumah tangga dalam satu keimanan atau agama, diharapkan memudahkan anak yang lahir akibat pernikahan, untuk dididik secara jelas dalam satu agama. Pola pendidikan tersebut, tentu diharapkan mempermudah serapan ilmu dan didikan karakter terhadap anak, dan meminimalisir kegundaan si anak untuk mencari agama manakah yang paling benar atau tepat untuk diikutinya.

Adapun Islam sendiri, juga menerangkan keutamaan memilih pasangan pernikahan yang baik agamanya. Dijelaskan dalam Kitab Dhau’ Al Misbah, yang diterjemahkan oleh Sang Hadratussyaikh KH Hasyim Asy’ari, bahwa Imam An Nawawi berkata: “Apabila tujuan menikah semata untuk ketaatan (agama), seperti mengikuti sunah, atau menghasilkan keturunan, atau menjaga kemaluan dan pandangan matanya, maka hal itu termasuk amal akhirat dan mendapat pahala.”

Dengan begitu, secara jelas telah diterangkan bahwa keimanan yang baik yang dimiliki oleh pasangan untuk menikah, adalah bertujuan untuk kebaikan mereka sendiri selama menjalankan mahligai pernikahan. Lantas, bagaimana dengan keinginan menikah dari pasangan berbeda agama? Maka jawaban ini tentu tidak mudah karena harus mengkawinkan unsur kemashlahatan (kebaikan) bagi pasangan tersebut, dengan unsur humanis, yaitu sisi kemanusiaan atas fakta cinta diantara keduanya.

Namun setidaknya, tulisan ini semoga menjadi perenungan bahwa keberadaan UU RI Tahun 1974 tentang Perkawinan, bukanlah bersifat kejam untuk kemudian menjadi benteng pemisah antar dua insan akibat beda agama, melainkan, UU tersebut justru bertujuan baik bagi kelangsungan mahligai agama. Maka, mempertimbangkan unsur agama seyogyanya menjadi pertimbangan lebih utama karena berkaitan dengan ikatan manusia dengan Sang Pencipta, dibandingkan unsur perasaan antar makhluk ciptaanNya. Dalam hal ini, setiap agama bertujuan membentuk kebahagiaan manusia, baik di dunia maupun akhirat, maka hendaknya tidak mempersalahkan agama dalam persoalan perasaan antar manusia tersebut.

Terlebih, bukan hanya Indonesia yang mengatur ketentuan pernikahan sesuai agama yang dianut oleh pasangan suami istri.

Akhir kata, menarik dicermati sebuah hadis yang dikutip dalam Kitab Dhau’ Al Misbah, bahwa diriwayatkan oleh Ibnu Majah: Dari Abdullah Ibnu Umar berbunyi, “Janganlah kalian menikahi perempuan karena kecantikannya, karena kecantikannya itu bisa saja menghancurkan dirinya. Janganlah kalian menikahi perempuan karena hartanya, karena hartanya itu bisa saja menjadikannya durhaka. Tetapi nikahilah perempuan atas dasar pertimbangan. Sungguh, seorang budak hitam yang sobek telinganya lebih baik dan utama daripada seorang perempuan cantik tetapi tidak bagus agamanya. Dan hendaklah seseorang tidak menikahi kecuali dia adalah seorang perempuan yang memiliki akal sempurna. Karena tujuan menikah adalah pergaulan dan kehidupan yang baik.”

Tujuan mulia yang menjadi landasan Islam menganjurkan pernikahan atas dasar keimanan, adalah juga dianjurkan oleh beberapa agama lainnya yang mengatur pernikahan satu agama yang sama. Tentu, segala aturan tersebut adalah bertujuan untuk kebaikan dan kebahagiaan pasangan suami istri itu sendiri.

—— *** ——

Rate this article!
Tags: