Mendialogkan Hukum Manusia dengan Hukum Tuhan

Judul Buku : HAM dan Syariat: Sebuah Kajian
Penulis : M.H. Kamali, dkk.
Editor : Chekli S. Pratiwi, et.al.
Penerbit : Mizan, Bandung
Cetakan : I, Juni 2022
Tebal : 900 halaman
ISBN : 978-602-441-167-1
Peresensi : Ahmad Fatoni, Pengajar Fakultas Agama Islam FAI-UMM.

Buku HAM dan Syariat: Sebuah Kajian ini ingin mengungkap pandangan para tokoh dan aktivis muslim terkait hak asasi manusia (HAM) yang difokuskan pada isu HAM dengan Syariat. Dialog antara hukum manusia dengan hukum Tuhan pun menjadi isu yang tak pernah ada habisnya, bahkan sering menimbulkan perdebatan.

Pertanyaannya, apakah ada keterkaitan satu sama lain antara HAM dengan syariat? Pertanyaan kritis ini timbul dari kekhawatiran sebagian pihak akan produk pemikiran Barat yang dinilai membahayakan eksistensi hukum Islam itu sendiri. Tetapi, apakah sekontras itu?

Syamsul Arifin dan Nafik Muthohirin pada sub bab “Perjumpaan HAM dan Syariat di Indonesia” mencoba mencari titik temu yang lebih rekonsiliatif antara Islam dan HAM. Dengan mengacu pada universalisme HAM, kesimpulan yang diambil kedua penulis sengaja tidak melibatkan agama sebagai landasan justifikasi agar ide-ide dasar dalam HAM dapat diterapkan secara positif oleh kalangan yang beragama maupun yang tidak beragama sekalipun (hal. 90-115).

Kajian tentang hubungan HAM dan syariat sebetulnya bukan hal baru. Ambil misal, penelitian bertajuk Apakah Kebebasan Beragama=Pindah Agama? Perspektif Hukum dan HAM (2008) yang dilakukan Tri Wahyu Hidayati, mengkaji masalah murtad kaitannya dengan isu kebebasan beragama. Ada pula hasil pelacakan The Wahid Institute tentang Politisasi Agama dan Konflik Komunal (2007) yang menguak ketimpangan relasi antara negara, agama, dan masyarakat.

Kendati demikian, soal relasi HAM dan syariat tetap memiliki magnet tersendiri mengingat perkembangan Islam, baik sebagai fenomena keagamaan maupun sosial dan politik, kerap bersinggungan dengan pelanggaran HAM. Dalam konteks Indonesia, keberadaan umat Islam sebagai kelompok mayoritas sering mendapat sorotan tajam karena dipandang kurang memberikan perlindungan terhadap kelompok minoritas.

Fakta di atas diperkuat dengan munculnya kelompok-kelompok garis keras dalam mendakwahkan risalah islamiyah. Kemunculan hardlines seperti mereka tidak jarang menimbulkan keresahan di tengah masyarakat akibat penggunaan cara-cara kekerasan di dalam melancarkan dakwah amar ma’ruf nahy munkar.

Dalam literatur HAM, jurus kekerasan dalam bentuk apapun–baik yang dilakukan negara maupun masyarakat–dengan maksud meneror kelompok lain yang berbeda agama dan kepercayaan disebut sebagai salah satu bentuk persekusi yang bertentangan dengan HAM. Nah, kehadiran agama (Islam) sebagai entitas sosial senyatanya mampu mengembangkan komitmen moral dan sosial terhadap pelaksanaan HAM.

Hanya, penerimaan Islam terhadap HAM rupanya tidak berjalan mulus. Beberapa referensi yang menelaah hubungan HAM dan syariat mengandung resistensi dari intelektual muslim sendiri. Mengutip Ann Elizabeth Mayer dalam Islam and Human Rights: Tradition and Politics (1999), contohnya, menyinggung konsep relativisme budaya yang dijadikan dasar penolakan terhadap paham universalitas HAM. Menurut konsep ini, HAM dinilai memiliki keterbatasan ketika ingin diterapkan pada masyarakat muslim.

Adalah Lena Larsen dalam tulisannya, “Islam, Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan, dan Kesetaraan Gender” menyoroti kebebasan beragama atau berkepercayaan dalam konteks relasi lelaki-perempuan. Menurut direktur Oslo Coalition on Freedom of Religion and Belief, Norwegian Centre for Human Rights, Universitas Oslo itu, bahwa kebebasan beragama tidak selalu bersahabat dengan upaya memperjuangkan kesetaraan gender (hal.66-88). Sebagian dari ekspresi justru mempertontonkan praktik yang memberikan pembenaran bagi ketimpangan relasi lelaki-perempuan dan diskriminasi berbasis gender.

Sementara M.H. Kamali memandang konstruktif terhadap universalitas HAM. Mengutip Abdullahi Ahmed an-Na’im, pemikir asal Sudan yang menulis buku Islam and Secular State (2008), ia menegaskan bahwa HAM merupakan gagasan universal. Dalam pandangan Na’im, Deklarasi Universal HAM adalah instrumen penting untuk melindungi martabat manusia dan meningkatkan kesejahteraan setiap orang di mana pun mereka berada melalui kekuatan moral dan politik yang dimilikinya.

Buku setebal 900 halaman ini secara umum dapat dipetakan atas tiga tema besar, yaitu (1) Konsep HAM dan kebebasan beragama atau berkepercayaan serta kaitannya dengan Islam; (2) Implementasi kebebasan beragama atau berkepercayaan terutama yang dipandang sensitif seperti kasus pernikahan lintas agama, pendirian tempat ibadah, pindah agama, dan hubungan mayoritas-minoritas; dan (3) Relasi negara dengan agama.

Pemikiran para peneliti dan reformis Islam kontemporer yang terdapat pada buku ini sadar betul, ajakan dan pandangannya dari hasil penelitian ini akan menuai protes dan penolakan keras dari kalangan Islam yang tetap bertahan dengan pemikiran relativisme budaya. Terlebih, konsep HAM belakangan cenderung didominasi negara-negara Barat yang dalam praktiknya tidak lebih baik dari negara-negara Islam.

Terlepas dari beberapa gagasan yang masih debatable, ide yang ingin disampaikan para tokoh dalam buku ini adalah bagaimana agama dalam konstruksi yang positif-meski agama sering disalahgunakan sebagai alat justifikasi pelanggaran HAM-dijadikan sebagai sumber energi bagi upaya penegakan hak asasi manusia dalam setiap lini kehidupan.

——– *** ———

Tags: