Mengurai Peran Strategis Islam Politik dalam Kontestasi Pilpres 2024

Oleh :
Abdus Salam
Penulis Adalah Sekretaris Pusat Studi Islam dan Filsafat (PSIF) dan Dosen Sosiologi UMM

Partai berideologi Islam atau berbasis Islam baik Islam kota dan tradisional dalam konteks politik kekuasaan belum optimal dalam menampilkan perannya dalam jagat politik nasional. Seringkali partai islam kurang mendapatkan simpati publik dalam politik elektoral. Hal ini semakin memperburuk keadaan manakala para elit partai Islam pucuk pimpinannya tersandra kasus korupsi.

Memori Masyarakat tentu masih lekat dengan kasus korupsi sapi dimana Luthfi Hasan sebagai Presiden PKS ditetapkan menjadi tersangka waktu itu. Cibiran publik semakin riuh dan media sosial semakik bising bahwa Islam atau partai berideologi islam hanya dijadikan alat politik semata. Bahkan publik dibuat terbelalak saat ketua umum PPP Romahurmuzy (Romy) terkena OTT di Surabaya (16/19) partai islam berada dititik nadir

Membincangkan Islam Politik dalam politik elektoral menjadi menarik. Jumlah penduduk yang memeluk agama islam tentu menjadi magnet luar biasa dalam politik elektoral. Disetiap lembaran kontestasi politik, baik dalam pemilu dan pilkada serentak suara umat islam menjadi proyeksi utama yang harus didekati dan direbut oleh para kontestan politik.

Sebagaimana data di kemendagri jumlah penduduk Indonesia pada tahun 2022 mencapai 275.361.267 Jiwa, sementara berdasarkan agama jumlah penduduk yang memeluk agama islam berjumlah 241.699.189. sungguh fantastik jumlah yang tidak sedikit penduduk beragama islam sehingga menjadi pesona bagi para kontestan untuk mendapat suara dan simpati dalam pagelaran politik 2024

Dalam politik elektoral dan demokrasi liberal saat ini, dimana one man one vote menjadi titik pangkal dalam kemenangan konstestasi politik, maka merebut suara umat islam menjadi keniscayaan. Pragmatisme politik sebagai akibat mandulnya parpol dalam melakukan pendidikan politik sangat menguntungkan bagi para kontestan yang memiliki gizi politik untuk membeli suara. Sungguh fakta itu tidak bisa dibantah

Dalam perjalanannya, islam politik memiliki daya letup yang ikut mewarnai proses demokrasi. Hal ini terjadi karena pergumulan politik kebangsaan umat Islam dalam pentas politik tidak diragukan keabsahannya.

Semua itu tidak terlepas dengan doktrin dan pemikiran tokoh politik islam klasik Hasan Almawardi yang mengatakan ( (974-1058 M) “Al-imâmah maudh?’atun likhilâfati al-nubuwwah fî ?irâsati al-dîn wa siyâsati al-dunyâ.” Kepemimpinan politik dilembagakan sebagai pengganti peran kenabian untuk melindungi agama dan mengatur urusan dunia (Al-Mawardi dan Al-Sultaniyah 1881:3) (Maarif: 2)

Islam politik sebagai kanal efektif dalam ruang kekuasaan mutlak adanya, agar politik profetik ini bersemai dalam relung kebangsaan dimana nantinya keadilan dan kesejahteraan Masyarakat tidak hanya menjadi lips service dan jauh panggang dari api. Islam Politik tentu berbeda dengan politik Islam dimana politisasi agama dijadikan bingkai untuk meraih simpati publik dan berorientasi elektoral semata. Kasus pilkada Jakarta tahun 2017 menjadi potret buram demokrasi kita. Tentu semua sepakat, kejadian ini harus dihentikan.

Sudah mafhum, dan menjadi kesadaran kolektif bahwa partai politik menjadi jantung bersemainya demokrasi. Pemilu sebagai salah satu media dalam melahirkan praktik demokratisasi tidak bisa dielakkan. Hal ini senada dengan apa yang disampaikan oleh Clinton Rossiter bahwa tidak ada demokrasi tanpa politik, dan tidak ada politik tanpa partai (handbook politik:2017)

Tantangannya adalah agar Partai politik sebagai instrumen bagi rakyat dalam menyalurkan aspirasi politiknya harus disehatkan. Suka tidak suka, mau tidak mau, kehadiran parpol sangat dibutuhkan. Adagium masyhur yang mengatakan bahwa jika kukunya yang kotor maka yang dipotong kukunya bukan jarinya. Jika oknum dalam parpol yang sakit, maka yang sakit harus diobati, bukan partainya yang dibubarkan.

Parpol sebagai jangkar demokrasi harus kokoh, harus didukung agar tidak mengalami disorientasi dan kemandulan politik. Spirit dan ruh demokrasi sejatinya harus disemaikan dan diinternalisasikan oleh parpol kepada Masyarakat, di samping peran civil society juga penting keterlibatannya agar demokrasi ini tumbuh dan berkembang semata-mata untuk kesejahteraan Masyarakat.

Perilaku parpol dan elit politik yang intens menyapa dan merawat konstituen tidak hanya ritual menjelang pemilu. Jika ini yang menjadi watak elit maka pembangkangan rakyat yang diwujudkan dengan materialisme politik tak bisa dihindari, dalam bahasa yang berbeda politik berbasis NPWP menjadi perilaku politik

Tentu islam politik sebagaimana gagasan Hasan Almawardi menjadi urgen melihat realitas politik saat ini. Pendulum politik sudah bergeser ke transaksional ekstrem. Politik gagasan hanya laku dalam ruang seminar dan lokakarya politik. Faktanya yang terjadi sebaliknya.

Lantas bagaimana posisi islam politik dalam kontestasi pilpres 2024. Islam politik sebagaimana diurai di atas tidak sekadar simbol dan ideologi parpol yang berazaskan islam, islam politik tidak terjebak pada formalisasi, lebih dari itu islam politik mengedepankan nilai-nilai, orientasi dan lanskap gerakannya mengedepankan keberpihakan dan keadilan sosial. Meskipun simbol-simbol agama dalam konteks ini penting lantaran nalar dan melek politik rakyat semakin tergerus

Jika melihat peta koalisi saat ini, parpol yang secara massa dan ideologi partainya cenderung berbasis agama dalam hal ini islam, seperti PKB PAN PBB berada dalam koalisi Gerindra mendukung Prabowo, Golkar dan PAN bergabung ke Prabowo dan meninggalkan PPP yang mendukung Ganjar Bersama PDIP. Sementara PKS Nasdem, Demokrat mendukung Anies Baswedan

Akan tetapi sungguh mengejeutkan manuver Anies Baswedan saat memutuskan untuk menggandeng Muhaimin Iskandar menjadi Cawapresnya. Koalisi Perubahan pecah, Demokrat meradang dan merasa dikhianati. Fakta ini merubah peta koalisi di kubu Prabowo Subianto dan Kubu Anies Baswedan, meski bisa ditebak kemungkinan besar Demokrat akan merapat ke Prabowo Subianto

Jika kita kalkulasi posisi partai Islam atau berbasis islam menumpuk di kubu Anies Baswedan, yakni PKS dikenal dengan partai kader yang solid digandrungi islam kota dengan massa Islam Tradisional PKB. Sementara di kubu Ganjar hanya ada PPP,. jika ditarik dalam konteks massa parpol yang memiliki kesamaan ideologi islam kota berada di PAN dan PKS. Sementara islam tradisional menyebar di kubu Ganjar dan di kubu Anies Basweda, mengkalkulasi apakah massa Islam tradisional akan merapat ke PKB atau PPP? tentu ini sangat sumir, karena faktanya tidak sesederhana itu.

Semakin memudarnya politik aliran, maka massa islam tradisional akan menyebar bahkan sulit ditebak akan merapat dan mendukung partai PPP atau PKB. Lebih dari itu pernyataan Gus Yahya yang mengatakan tidak haram orang NU menyoblos PAN (19/23) semakin menegaskan bahwa suara islam tradisional yakni NU akan menyebar sesuai dengan minat politik dan bisyaroh politik.

Lantas apakah partai islam atau islam politik akan menjadi aktor politik kekuasaan sehingga kebijakan politik menguntungkan umat islam, kita tunggu kiprah dan angin politiknya.

————– *** ————–

Tags: