Menjaga Demokrasi Politik Publik

Oleh
Haris Zaky Mubarak, MA
Eksekutif Peneliti Jaringan Studi Indonesia

Menjelang Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 berbagai lembaga survei di Indonesia telah mempublikasikan tentang hasil temuan survei mereka kepada publik. Dalam poin ini, muncul kecendrungan kuat jika tingkat elektabilitas dan keberadaan pemilih rasional dalam kontestasi Pilpres dapat saja berubah pilihan sesuai dengan ide dan gagasan tertentu (swing voters) karena peran yang signifikan dari isu yang meyakinkan para pemilihnya.Meski belum menjadi jaminan kuat sampai masa pendaftaran resmi yang dilakukan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) tapi wacana elektabilitas tetap menjadi daya tarik pemilihan umum.

Jelang akhir 2022, mulai banyak bakal calon Presiden yang disuarakan partai politik (parpol). Anies Baswedan telah diumumkan Partai Nasional Demokrat (Nasdem) sebagai Calon Presiden Republik Indonesia (capres) dari partai Nasdem. Tak hanya Nasdem, Partai Solidaritas Indonesia (PSI) juga ikut melakukan deklarasi dalam mendukung Ganjar Pranowo dalam Pemilihan Umum (Pemilu) 2024. Mulai intensnya publikasi secara terbuka tentang bakal calon presiden pilihan partai politik (parpol) sebelum masa pendaftaran resmi KPU jelas merupakan strategi penting untuk meningkatkan nilai popularitas pemilih di kalangan masyarakat umum.

Kebutuhan Elektabilitas.

Elektabilitas merupakan hasil kata serapan dari Bahasa Inggris yakni electability yang berarti keterpilihan. Jika merujuk Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) makna elektabilitas memiliki pemahaman keterpilihan yang disesuaikan dengan kriteria pilihan. Pemahaman elektabilitas sendiri diterapkan untuk barang, jasa maupun seseorang, badan, partai.Dalam konteks politik makna elektabilitas dapat dipahami sebagai ketertarikan dari masyarakat umum terhadap figur politik, partai, atau lembaga politik. Dorongan persuasif yang diharapkan dapat memberikan motivasi masyarakat untuk memilih partai politik tersebut. (KBBI, 2008)

Arti elektabilitas pada dasarnya memang sedikit berbeda dengan makna popularitas yang mengundang banyak sisi keterkenalan. Namun demikian persoalan elektabilitas dapat beriringan dengan ranah popularitas. Dalam hal ini, dorongan menjadi populer lebih tinggi dengan tingkat elektabilitas dibanding yang tidak. Sementara populer belum tentu layak dipilih jika tak memiliki elektabilitas. Sebaliknya, meskipun memiliki daya jual elektabilitas, tapi tak populer, maka persentase keterpilihannya juga menjadi rendah. Disinilah yang menjadi nilai tarik dari diskursus elektabilitas politik, karena dapat memberi celah penting dalam menyusun kemenangan dalam pemilu.

Elektabilitas dapat menjadi strategi penting dalam membangun komunkasi politik yang memberikan jalan terang bagi tumbuhnya partisipasi politik secara bebas.Ikhwal ini pun menjadi catatan menarik karena proses demokrasi saat itu terjadi di tengah derasnya reformasi dan kemajuan teknologi komuikasi yang membuat munculnya kecenderungan iklan politik dimuat di media massa. Susan Herbst, Numbered Voices : How Opinion Polling Has Shaped American Politics (1995) mencontohkan jika kekuatan populisme iklan politik akan memberi benefit yang besar bagi kemenangan politik. Karena dorongan inilah elit politik Indonesia terus menerus berupaya membangun popularitas dan elektabilitas politik demi menarik simpati dengan survei dan mengangkat konsultan politik supaya menjadi pusat perhatian masyarakat.

Kebutuhan besar untuk mendorong partisipasi publik besar dari masyarakat supaya dapat terlibat aktif dalam pemilu telah menjadikan demokrasi politik dalam pemilu tak lagi kaku yang hanya mengandalkan media komunikasi konvensional melalui praktik kampanye di lapangan terbuka. Perkembangan demokrasi dalam catatan dua dekade terakhir faktanya memang telah melibatkan berbagai komponen masyarakat untuk merespon dan bersuara dalam menerobos kekakuan berpolitik. Kenyataan inilah yang menjadi nafas utama sejarah besar dari gelombang politik reformasi yang berpuncak pada turunnya Presiden Soeharto dari tahta kursi presiden. Sejak saat itu semangat demokrasi berubah secara signifikan.

Masifnya iklan politik dengan berbagai bentuk di beberapa media sosialisasi publik telah menjadi oase di tengah dinamika demokrasi yang terus menerus berkembang. Dapat terlihat pergerakan politik saat ini yang cenderung menekankan aspek popularitas, bukan kualitasnya. Hal ini jelas berpengaruh pada kondisi masa depan bangsa, karena popularitas publik tidak cukup menjadi modal mengubah kondisi bangsa saat ini, tanpa diikuti strategi dan langkah konkrit pengentasan masalah kebangsaan. Ekstensifikasi gerakan politik ke ranah popularitas publik juga tak dapat dilepaskan dari konteks pergeseran zaman ke abad informasi, dalam hal ini, media sosialisasi publik telah memegang peranan penting untuk mempengaruhi kecenderungan besar dari pilihan politik masyarakat.

Akuntabilitas Lembaga Riset

Semakin masifnya euphoria iklan politik dapat diasumsikan wujud gerakan politik yang menuntun jalan emas berbagai corak kepentingan politik. Dalam diskursus komunikasi politik, iklan menjadi mediasi atau sarana dalam menyalurkan ‘pencitraan’. Pada sisi inilah elit politik berlomba – lomba membangun popularitas dan elektabilitas politik demi menarik simpati sebanyak-banyaknya dari masyarakat luas dengan cara mengadakan survai politik supaya narasi pencitraan terus menerus dibicarakan dalam ruang publik.

Survei politik merupakan metode yang memerlukan ketelitian dan pengetahuan keilmuan dan dipertanggung jawabkan. Namun sayangnya karena dorongan kebutuhan politik yang besar telah menyebabkan tak semua lembaga riset melakukan survei politik secara objektif. Seringkali lembaga juga hanya memperjuangkan popularitas politik dari para calon figur yang memesan survei. Ada lembaga survei yang benar-benar objektif, tapi ada lembaga survei profesional yang disewa partai politik atau kandidat yang objektivitasnya dipertaruhkan.

Sebagai konsekuensi, seringkali lembaga survei politik tak lagi memberi pencerahan kepada pemilih dan menujukkan wawasan objektif untuk kecerdasan pengetahuan publik. Disinilah masalah independensi menjadi sangat urgen untuk diperhatikan. Kode etik akan menjadi benteng pertahanan idealisme lembaga survei menghadapi dilema etis dari sebuah riset politik. Sebagaimana kita ketahui rasionalitas etik pada hakikatnya wajib melekat dalam survei opini publik karena sangat lekat dengan seperangat norma, aturan, dan etika. Aspek ini juga menyertakan lingkup kajian obyek manusia yang dinamis. Peneliti tak hanya dituntut menjalankan penelitian dengan cara dan metode benar, tapi juga tanggungjawab terhadap obyek yang diteliti. Etika ini sangatlah penting karena bagaimanapun hasil riset ini akan menjadi bahan utama dari dasar penyusunan kebijakan publik.

Konsistensi penerapan kode etik juga mengatur hubungan antara peneliti dengan berbagai pihak dalam hal ini public (masyarakat), klien, responden, dan profesi peneliti. Hubungan ini menjadi penting untuk menjadi pertahanan akhir dalam menjalankan marwah profesi ini secara bertanggungjawab. Penyelenggara survei politik sesungguhnya wajib menjaga standar kompetensi keilmuan dan integritas dalam menganalisis, dan melaporkan riset serta penggunaan hasil riset. Sejak awal lembaga survei harus berani menolak segala macam intervensi dan semua usaha yang dapat mencederai obyektivitas hasil riset.

Ditengah semarak politik Pilpres 2024 yang semakin mendekat, setiap lembaga riset politik Indonesia diharapkan dapat menjaga prinsip kehatian hatian dalam membuat desain dan instrumen riset, pemrosesan, analisis data yang relevan dengan reliabilitas dan validitas faktual yang benar – benar otentik. Dalam posisi ini setiap lembaga riset politik perlu meneguhkan lagi spirit edukasi publik sebagai bagian rasional dari kerja entitas ilmiah yang selalu tunduk kepada ruang kebenaran dan kepentingan dan kemaslahatan publik. Jika hal ini diterapkan secara konsisten dan jujur maka bukan hal yang mustahil jika demokrasi politik Indonesia akan menuju pada tingkat kemajuan yang berkualitas.

———- *** ———–

Rate this article!
Tags: