Menyiapkan Pendidikan Agen Antroposen

Oleh :
Moh Rifqi Rahman
Dosen di Institut Al Azhar Menganti Gresik. Alumnus S3 Pascasarjana UIN Sunan Ampel Surabaya

PISA (Programme for International Student Assessment) mencanangkan kompetensi sains untuk menjadi target asesmen pada tahun 2025. Secara umum, kompetensi ini merujuk pada kemampuan seseorang untuk terlibat dalam penalaran tentang sains, keberlanjutan, dan teknologi untuk menginformasikan tindakan.

Harapannya, PISA mendapatkan gambaran tentang sejauh mana siswa-siswi di beberapa negara mampu menjelaskan fenomena secara ilmiah; menyusun dan mengevaluasi desain-desain untuk penyelidikan ilmiah serta menginterpretasikan data dan bukti ilmiah secara kritis; dan meneliti, mengevaluasi, serta menggunakan informasi ilmiah untuk pengambilan keputusan dan tindakan (OECD, 2023).

Hal menariknya adalah PISA tidak membiarkan kompetensi sains berdiri sendiri. Melalui frameworknya, PISA membersamai kompetensi sains dengan kompetensi ilmu lingkungan yang kemudian didefinisikan dengan “Agen Antroposen”. Munculnya skema agen antroposen ini merupakan suatu respon terhadap kegagalan perspektif humanis dalam sistem pendidikan.

Annette Gough (2021), seorang peneliti dari Australia, menyatakan bahwa pendidikan yang sejauh ini berlandas pada filsafat humanis gagal mempertimbangkan bagaimana dunia non-manusia dan dunia material membentuk dunia secara bersama-sama. Ada potensi pendidikan humanis sampai pada kondisi dimana manusia kompeten mulai mengkapitalisasi serta mengeksploitasi alam secara pragmatis. Oleh sebab itu, perspektif antroposen diperlukan untuk menutup lubang kegagalan ini melalui pandangan baru bahwa pendidikan bukan hanya tentang manusia, sehingga kapitalisasi dan eksploitasi terhadap dunia non-manusia tadi tidak terjadi lagi.

Antroposen
Istilah antroposen mengarah pada satuan waktu (zaman) geologi-yang sebenarnya masih belum resmi-untuk menggambarkan periode aktual sejarah bumi. Indikator utamanya adalah aktivitas manusia yang mulai memberikan dampak signifikan terhadap iklim dan ekosistem planet. Paul J. Crutzen (2002), ilmuwan yang mempopulerkan istilah antroposen, mengungkapkan bahwa zaman ini ditandai oleh dominasi manusia terhadap alam.

Perubahan iklim, pengasaman laut, dan hilangnya keanekaragaman hayati (kepunahan massal) merupakan fakta nyata bahwa manusia terlalu dominan di atas bumi pertiwi. Antroposen hadir sebagai perspektif kritis untuk mengurangi dominasi manusia itu sendiri.

Oleh sebab itu, antroposen memberikan himbauan agar umat manusia segera sadar bahwa tanggung jawabnya lebih besar terhadap kesehatan planet ini dibandingkan terhadap dirinya sendiri (Stratford, 2017). Ke depan, manusia perlu memiliki kompetensi untuk memposisikan dirinya sebagai bagian dari semesta bersama semua spesies lainnya, dan memiliki kesadaran bahwa posisinya bukanlah di puncak secara hirarki.

Ilmuwan lainnya, Bruno Latour (2014) percaya bahwa antroposen merupakan era negosiasi agar manusia terlibat dalam hubungan yang berbeda dengan seluruh anggota planet dan mengakui perlunya meninggalkan gagasan tentang hak istimewa manusia. Gagasan antroposen, dengan demikian, merangsang diskusi tentang apa artinya menjadi manusia dan hubungan manusia dengan non-manusia. Jika perspektif humanisme meletakkan manusia sebagai pusatnya, maka antroposen ini menawarkan lompatan perspektif yang lebih luas bahwa pusat di dunia ini bukan semata tentang manusia. Antroposen mencoba menggiring manusia untuk meninggalkan perspektif lama menuju perspektif manusia (antropo) yang baru (cene).

Pendidikan Agen Antroposen
PISA menegaskan agen antroposen sebagai target capaian survey di tahun 2025. Secara sederhana, agen antroposen ini merujuk pada keberadaan dan cara bertindak di dunia yang memposisikan manusia sebagai bagian dari (bukan terpisah dari) ekosistem, mengakui dan menghormati semua spesies yang saling ketergantungan dalam kehidupan (OECD, 2023).

Proses mengantarkan siswa yang selama ini mengenyam perspektif humanisme untuk menjadi pribadi dengan perspektif baru sehingga menjadi agen antroposen ini tentu memerlukan beberapa hal untuk dipersiapkan. Pertama adalah unsur pedagogi dalam praktik pendidikan. Lebih lanjut, Annette Gough (2021) menyatakan bahwa pendidikan dalam konteks antroposen memerlukan pedagogi berbeda yang diharapkan dapat memberikan kesempatan pada siswa untuk belajar hidup, terlibat dengan dunia, dan membekali suatu perspektif bahwa mereka hidup di dunia yang lebih dari sekadar dunia manusia. Menjawab harapan ini, maka pedagogi harus bersifat interdisipliner, transdisipliner, lintas disiplin, interseksional, dan partisipatif.

Kedua, pendekatan pembelajaran berbasis komunitas dan/atau partisipatif dalam ilmu pengetahuan alam. Konteks pendidikan Indonesia saat ini sejatinya sangat positif untuk poin ini, yaitu tentang penerapan program praktisi mengajar dalam kurikulum merdeka. Program praktisi mengajar memang masih secara spesifik diterapkan di perguruan tinggi. Tujuannya adalah menutup kesenjangan kompetensi lulusan baru dengan kebutuhan dunia kerja, mendorong kolaborasi perguruan tinggi dan industri dalam menyelenggarakan pembelajaran praktis dan aplikatif, dan meningkatkan relevansi skill lulusan perguruan tinggi Indonesia dengan kebutuhan dunia kerja dan industri. Program ini memang sudah bersifat partisipatif dan kolaboratif berbasis komunitas namun masih cenderung mengarah pada pemenuhan kebutuhan kerja. Artinya, kurikulum merdeka dalam sudut pandang ini lebih mengarah pada pemenuhan kebutuhan manusia dan kurang memperhatikan konstruksi lingkungan hidup.

Ketiga, cara berpikir alternatif. Meski perspektif humanisme dalam pendidikan mengalami kegagalan untuk melestarikan lingkungan bukan berarti perspektif ini perlu dieliminasi sepenuhnya. Perspektif humanisme hanya memerlukan cara berpikir alternatif sehingga titik tekannya adalah terciptanya pendidikan lingkungan hidup yang bersifat humanis. Usulannya adalah penekanan pendidikan lingkungan merupakan hal urgen untuk segera dilakukan. Berdasarkan hal ini maka pendidikan yang bercorak humanis-ekologis sangat layak untuk dipertimbangkan untuk kepentingan manusia itu sendiri sekaligus pelestarian lingkungan secara bersamaan.

Sejatinya Indonesia sudah mencanangkan komitmen terhadap lingkungan hidup sebagai sub dari pembangunan ekonomi yang berkelanjutan dalam pilar pembangunan Indonesia 2045. Namun komitmen ini belum terejawantahkan dalam strategi pembangunan pendidikannya, yang lebih mengarah pada kualitas dan layanan pendidikan merata, peran masyarakat dalam pembangunan pendidikan, profesionalisme guru dan perubahan metode pembelajaran, budaya sekolah dan baca, serta pendidikan vokasi, entrepreneurship, dan karakter. Artinya, Indonesia belum menyerap poin pemeliharaan lingkungan hidup untuk menjadi unsur intrinsik dalam pembangunan Indonesia sampai 2045 melalui pendidikan.

———- *** ———–

Rate this article!
Tags: