Menyimak Visi Capres/Cawapres tentang Kedaulatan Pangan

Oleh :
M Chairul Arifin
Purnabakti Kementerian Pertanian RI

Mencermati visi dan misi para capres dan cawapres tentang kedaulatan pangan, semuanya menunjukkan hal yang baik-baik saja. Tetapi definisi kedaulatan pangan oleh masing-masing diterjemahkan dan diimplementasikan berbeda sehingga pengertian kedaulatan pangan yang sebenarnya jauh dari tingkat tercapainya. Tidak bermaksud menggurui atau mengajari para pasangan calon ( paslon), hanya sumbang pikir dari seorang warga biasa, untuk kedaulatan pangan.

Visi Capres Cawapres
Pasangan Anies-Muhaimin sering menyebutkan hendak membenahi carut marutnya tata niaga komoditas pertanian yang selama ini dikuasai entitas pihak tertentu sehingga harga menjadi mahal. Petani tidak untung walaupun harga naik, kata Anies berulang kali dalam berbagai kesempatan yang menyebabkan petani tidak berdaulat atas pangannys sendiri.

Sedangkan paslon Ganjar Pranowo-Machfud MD, lebih menekankan kembali ke pangan lokal pengganti beras sambil memperagakan enaknya makan tiwul yang berasal dari singkong. Pasangan ini belum menjelaskan akses dan kemudahannya memperoleh pangan lokal tersebut.

Berbeda pula pula paslon Prabowo–Gibrsn Rakabuming Raka, yang secara konseptual menekankan konsep kedaulatan pangan itu akan tercapai kalau hilirisasi komoditas pertanian itu berjalan, ibaratnya seperti di pertambangan dengan dibangunnya smelter. Sehingga menurut beliau kedaulatan pangan lebih kearah industrialisasi pertanian.

Semua hal yang disampaikan oleh para paslon tersebut benar adanya tetapi yang disebutkan itu hanya sisi hilir dari pertanian dan pangan tetapi belum mendalami akar masalah yang sebenarnya dari persoalan pertanian dan pangan kita untuk kedaulatan pangan. Sebut saja masalah tenaga kerja pertanian, derasnya konversi , degradasi dan fragmentasi lahan pertanian, diversifikasi pangan, ekonomi kelautan, adanya perubahan iklim ekstrem, dan pemanasan global, serta derasnya arus impor produk 9 komoditas utama pertanian yang menyebabkan langkah berdikari semakin jauh.

Semua hal yang telah disampaikan para paslon belum menyentuh pokok persoalan menuju kedaulatan pangan. Kedaulatan pangan sejatinya adalah hak negara dan bangsa yang secara mandiri menentukan kebijakan pangan yang menjamin hak atas pangan bagi rakyat dan yang memberikan hak bagi masyarakat untuk menentukan sistem pangan yang sesuai dengan potensi sumber daya lokal. (UU Pangan No.18 Tahun 2012)

Bagaimana Kedaulatan pangan akan dapat tercapai kalau kemandirian dan ketahanan pangan belum pernah tercapai sebelumnya. Sehingga masalah kedaulatan sangat tidak mungkin terselesaikan dalam 5-10 tahun hanya dengan melaksanakan visi paslon tersebut.

Memang benar salah satu upaya solusi adalah membenahi tata Niaga pertanian yang panjang, makan singkong pangan lokal untuk pengganti beras, dan melaksanakan hilirisasi pertanian ibaratnya hasil tambang. Tetapi tanpa menyelesaikan persoalan mendasar yang menggerogoti sektor pertanian selama ini akan mustahil tercapai kedaulatan pangan yang kita idam idamkan seperti politik berdikarinya Bung Karno.

Mandegnya Alih Generasi Pertanian
Sudah sama dimaklumi bahwa tenaga kerja pertanian saat ini didominasi oleh generasi baby boomers yaitu mereka yang lahir di rentang tahun 1946-1974 atau mereka yang berumur 55-74 tahun dan generasi X kelahiran tahun 1965-1980 atau umur 45-54 tahun. Menurut hasil SUTAS (BPS, 2018) porsi kedua generasi ini hampir 50 persen atau 47,24 persen dari ketenagakerjaan sektor pertanian.

Tenaga kerja yang menua ( ageeing population) ditambah pula dengan tingkat pendidikan yang sangat rendah. 66,42 persen berpendidikan tidak tamat SD dan lulusan SD, SMP 16,19 persen, SLA 14,33 persen dan sisanya hanya 3,06 persen lulusan perguruan tinggi baik akademi maupun Universitas. Menunjukkan bahwa tantangan di sektor pertanian tidak bisa dianggap remeh. Gambaran ini menunjukkan bahwa tenaga kerja sudah tidak dapat diharapkan lahirnya inovasi untuk peningkatan produksi dan produktivitas sektor pertanian karena usia dan tingkat pendidikannya ditengah bonus demografi yang akan kita nikmati.

Alih generasi ketenagakerjaan tidak berjalan sebagaimana mestinya. Ketertarikan generasi milenial dan generasi Z sangat minim. Padahal generasi ini relatif tingkat pendidikannya tinggi. Satu dan lain hal disebabkan mereka dihadapkan pada masalah terjadinya konversi, degradasi dan fragmentasi lahan disamping skala usaha yang tidak ekonomis ( luas lahan dibawah 0,5 ha) semakin menambah ketidak tertarikan generasi baru yang sebenarnya siap melakukan alih generasi. Terciptalah stigma bahwa pertanian itu berkubang dengan dusty, swampy dan subsisten makin tidak tertarik generasi muda melanjutkan pekerjaan para orang tuanya.

Pekerjaan rumah bagi para paslon untuk segera menyelesaikan problema ini. Selain itu pertaniannya dan pangan kita menghadapi derasnya arus impor produk utama pertanian. Dari urusan bawang putih, gula, garam, daging sapi, ikan, kedele, jagung untuk pakan, sampai beras harus terselesaikan. Diversifikasi pangan tidak jalan. Diversifikasi pangan non beras telah tergantikan dengan komoditas gandum. Indonesia sekarang menjadi importir gandum terbesar di dunia mengalahkan Mesir yang memang pangan pokoknya berbasiskan gandum. Swasembada kedele tidak dapat tercapai padahal Indonesia makanan favorit nya tempe dan tahu. Kapan kita dapat berswasembada kalau lahan tidak tersedia dan harga tidak kompetitif dengan impor. Maka terjadi alih penanaman komoditi. yang dapat terjadi setiap saat mengikuti teori supplay dan demand di tingkat usaha tani.

Keadaan geopolitik dan geo ekonomi, berkelindan menuntut untuk segera diselesaikan. Sebab kalau tidak maka impian kedaulatan pangan akan semakin jauh panggang dari api.

Redefinisi Pertanian
Selama ini sektor pertanian dianggap identik dengan sektor yang residual. Tenaga kerja yang tidak berpendidikan dilempar begitu saja ke sektor pertanian. Sektor pertanian seolah dianggap “keranjang sampah” ketenaga kerjaan nasional. Padahal sektor pertanian itu adalah sektor besar yang tidak saja mencakup budidaya, melainkan juga terkait di dalamnya pengolahan dan pemasaran.

Sektor pertanian itu adalah bisnis besar yang memberi pangan untuk rakyat. Pengelolaannya memerlukan usaha yang berskala ekonomi dari sisi hulu, on:farm dan hilir.. Bukan lagi subsisten yang hanya dikelola oleh populasi menua dan berpendidikan SD, melainkan untuk generasi baru yang telah melek literasi tehnologi digital dan berpendidikan tinggi.

Kepada para paslon kita menitip pesan seandainya terpilih agar mempertimbangkan penyelesaian yang hakiki yang mendera sektor pertanian untuk dicarikan solusi cepatnya untuk mencapai impian kedaulatan dan kemandirian pangan

———— *** ————–

Tags: