Ngaji Kebahagiaan Bersama Kiai Madura

Judul Buku : Ketawa Ambyar Ala Santri
Penulis : Muhammad Muhibbuddin
Penerbit : Araska
Cetakan : I, Februari 2023
Tebal : 208 halaman
ISBN : 978-623-7537-94-6
Peresensi : Fathorrozi
Penulis lepas, tinggal di YPI Qarnul Islam Ledokombo Jember

Salah satu metode al-Qur’an dalam menyampaikan pesan dan nasihat adalah melalui kisah. Banyak sekali kisah yang terkandung dalam al-Qur`an. Di antaranya kisah perjalanan hidup para Nabi dan Rasul, juga berbagai peristiwa yang terjadi antara mereka dengan orang-orang yang beriman maupun orang-orang yang kafir. Serta kisah sejumlah orang atau kelompok, seperti kisah Maryam, Luqman, Dzulqarnain, Qarun, pemuda al-Kahfi, tentara gajah, dan lain sebagainya.

Kisah-kisah dalam al-Qur’an itu sarat hikmah dan pelajaran, baik secara tersurat maupun tersirat. Dalam menyampaikan hikmah dan pelajaran, tidak harus selalu disampaikan dengan jelas dan gamblang melalui metode ceramah. Sebab, terkadang penyampaian pelajaran melalui metode kisah itu lebih mengena ke hati.

Demikian pula media pembelajaran yang dilakukan oleh para wali dan kiai kepada santri-santri, tidak hanya berkutat seputar pelajaran kitab kuning saja. Tetapi, mereka juga menyelipkan kisah-kisah dari wali atau kiai lain yang mengandung hikmah bagi para santri. Bahkan, kisah-kisah yang bermuatan humor juga menyimpan pesan moral yang bermanfaat.

Dalam berbagai literatur menyebutkan bahwa kisah jenaka merupakan media paling efektif dalam menyampaikan pesan. Dengan memakai lelucon atau kisah humor, pesan dapat diterima dengan mudah. Bahkan, tak jarang dengan penuturan kisah, pendengar menyerap pelajaran bermakna tanpa merasa digurui. Ungkapan marah pun jika disertai atau disampaikan dengan humor, yang dimarahi tidak kesal dan tidak pula menyimpan dendam membara.

Dalam buku Ketawa Ambyar Ala Santri ini, terdapat puluhan kisah humor, baik tentang para wali maupun kiai, yang dituturkan oleh Muhammad Muhibbuddin dengan bahasa ringan, jelas, dan mudah sekali dimengerti. Salah satunya, kisah humor dari kiai Madura.

Dikisahkan saat menjabat Ketua Umum PBNU, KH. Hasyim Muzadi pernah diundang oleh kiai dari Madura. Masyarakat Madura yang dikomandoi oleh kiai tersebut menyambut KH. Hasyim Muzadi dengan penghormatan yang begitu agung. Madura yang dikenal sebagai kawasan santri yang sangat hormat terhadap para kiai itu tidak tanggung-tanggung memberi penghormatan kepada Ketum PBNU tersebut. Makanan yang enak-enak pun disuguhkan.

“Mari, Kiai Hasyim, ini udang, dan ini kepiting yang juga enak,” kata kiai Madura mengajak Kiai Hasyim untuk menikmati hidangan yang telah disajikan.

“Pak Kiai, saya tidak boleh makan kayak gini karena kolesterol,” sahut Kiai Hasyim menolak dengan diikuti penjelasan kesehatannya.

Tetapi, kiai Madura itu tidak putus asa agar Kiai Hasyim tetap memakannya. Lalu, ia mengatakan kepada Kiai Hasyim, “Jangan dimakan kolesterolnya, Kiai, dagingnya saja (yang dimakan),” timpal kiai asal Madura itu dengan logat khas Madura yang melekat (hlm. 11).

Kisah ini mengandung pesan tersirat bahwa kiai Madura sangat luar biasa dalam menghormati kiai senior, terlebih kiai besar yang menjadi idolanya. Meski lugu, mereka begitu takdim kepada para kiai, sehingga meski makanan ditolak sebab tidak diperkenankan makan oleh pihak medis, masih saja dipaksa oleh mereka untuk dicicipi.

Dalam buku ini juga terdapat kisah lain mengenai kiai Madura yang bertajuk Gara-Gara Ritsleting. Tersebutlah seorang kiai kampung yang sedang mencari ritsleting dengan mengendarai sepeda motor mengelilingi sudut-sudut kota Sumenep. Satu persatu toko disinggahinya, namun tidak ada yang menjual barang tersebut.

Barang yang dicari tidak ketemu, malah di jalan ditilang polisi. Saat diminta berhenti mendadak oleh polisi, kiai tersebut ditanya soal surat-surat.

“Mana surat-suratnya?” tanya polisi kepada Pak Kiai.

Pak kiai itu langsung mengambil Majmu’ Syarif di dalam sakunya, lalu menyerahkan kepada polisi lalu lintas tersebut sambil mengatakan, “Ini surat-suratnya, Pak.”

Pak polisi bingung, sedikit geli dan geram melihat ulah pak kiai. Yang diberikan bukan surat-surat bermotor, malah Majmu’ Syarif (hlm. 34).

Kisah berlanjut, kiai tersebut menjelaskan bahwa dalam kitab yang disodorkannya tadi berisi surat-surat seperti surat Yasin, Waqi’ah, Tabarak, dan surat-surat lainnya. Dengan geregetan si polisi mengatakan bahwa yang dimaksud dengan surat-surat yang diminta bukan surat-surat itu, namun surat-surat dalam berkendara, seperti SIM.

Sontak kiai kampung itu mengeluarkan SIM dari dompet, kemudian menyerahkan kepada polisi. Polisi berkali-kali memandang foto yang tertera di SIM dengan memandingkan foto kiai di depannya. Ternyata tidak sama. Sebab tidak sama wajah, polisi pun bertanya mengenai SIM yang dibawa kiai itu.

Kiai tersebut jujur. Ia menjawab bahwa SIM itu ia peroleh dari meminjam kepada tetangganya. Polisi lantas menegurnya agar kiai itu tidak lagi pinjam SIM. Si kiai tidak kalah nyolot, ia jawab kepada polisi bahwa tetangga yang punya SIM tidak marah saat SIM-nya dipinjam, lha kenapa tiba-tiba polisi itu yang marah? Lucu. Lalu sebab pening yang tiba-tiba menyerang kepala si polisi, ia memperkenankan kiai itu untuk melanjutkan perjalanan.

Saat tiba di rumah, kiai itu pergi ke toko kelontong di samping rumahnya dan bertanya apakah jual ritsleting. Ternyata di toko tersebut ada barang yang dicarinya itu. Cari jauh-jauh sampai nyaris kena tilang polisi, ternyata ia temukan barang itu justru di toko dekat rumahnya.

Dan masih banyak lagi kisah lain tentang kiai Madura yang termuat di dalam buku setebal 208 halaman ini. Dengan mengetahui kisah humor seperti ini, kita terhibur, sejenak bisa melupakan keruwetan pekerjaan, pikiran kita kembali segar, dan belajar untuk berupaya lebih teliti dalam menentukan tindakan agar tidak mengalami hal yang serupa.

———- *** ———–

Rate this article!
Tags: