Pemkot Probolinggo Dukung Pengembangan Batik Ecoprint

Kewirausahaan dan pelatihan batik. [wiwit agus pribadi/bhirawa]

Kota Probolinggo, Bhirawa
Guna mengenbangkan batik di kota Probolinggo, wali kota Hadi terus mendorong adanya inovasi. Siapa yang menyangka, aneka dedaunan yang ada di sekitar kita dapat dimanfaatkan dan punya nilai ekonomi menjadi kerajinan batik.

Ya, sebut saja daun kayu jaran, daun lanang, daun camalina, daun eucalyptus, daun afrika, daun suren, daun jati, daun jambu biji dan daun pohong. Dedaunan itu merupakan bahan dalam pembuatan batik ecoprint.

“Sekarang ada pelatihan yang digagas DKUPP memberikan edukasi batik ecoprint bagi pelaku UMKM, khususnya pembatik Kota Probolinggo. Dikarenakan banyak potensi bahan baku yang bisa dimanfaatkan, tentunya ini merupakan suatu peluang. Perlu adanya kesadaran dan pemahaman bahwasanya ini bisa kita lakukan untuk meningkatkan nilai ekonomi,” jelas Habib Hadi Zainal Abidin saat membuka acara Kewirausahaan dan Pelatihan Batik Ecoprint bagi koperasi dan UMKM, Senin-Rabu (21-23/6) di Orin Hall.

Pelatihan yang digelar tiga hari ke depan tersebut, mendatangkan narasumber pemilik Batik d’Aisha Kota Probolinggo. Yang memberikan pendidikan dan pelatihan untuk membekali koperasi dan UMKM agar dapat mengembangkan usaha yang sedang dijalankan, melestarikan budaya bangsa (batik) juga ikut memajukan perekonomian daerah. Sebagaimana hal itu disampaikan Kepala DKUPP Fitriawati dalam laporannya.

Dihadapan 50 orang peserta yang keseluruhannya adalah emak-emak, Wali kota Habib Hadi menjelaskan ecoprint bukanlah persaingan dari batik tulis yang sudah ada sebelumnya. Batik tulis ada kelebihan dan keunggulan dan sudah memiliki market (pemasarannya).

“Ecoprint adalah perkembangan teknologi jaman yang harus kita ikuti. Jangan sampai kita merasa dengan adanya ecoprint, batik (tulis) yang menjadi kebanggaan masyarakat Kota Probolinggo merasa tersaingi,” terangnya.

Dalam penjelasannya, orang nomor satu di Kota Probolinggo itu melanjutkan, hal ini untuk mengembangkan dan memberikan variasi sehingga semua potensi di wilayah Kota Probolinggo bisa dimanfaatkan dengan baik.

“Kalau daerah lain bisa, mengapa kita tidak mau mencoba? Pemerintah Kota Probolinggo telah membuat wadah bagi pelaku-pelaku usaha, yakni Dekranasda,” urainya.

Tak hanya menjelaskan ecoprint, Habib Hadi pun mempersilakan bagi pelaku usaha untuk meletakan contoh karyanya di Gerai Dekranasda.

“Jangan ragu, jangan takut. Gerai Dekranasda tempatnya sangat strategis (Jalan A. Yani). Menjadikan wadah bagi pelaku UMKM memasarkan hasil karyanya untuk memberi tahu masyarakat Kota Probolinggo,” tuturnya.

Dalam giat itu turut hadir Sekda drg. Ninik Ira Wibawati, Asisten Perekonomian dan Pembangunan Setiorini Sayekti. Wali kota Hadi mengaku tertarik batik teknik ecoprint karena dianggap lebih ramah lingkungan dibanding dengan cara sintetis.

Ini lantaran, seluruh proses pembuatannya hanya mengggunakan bahan baku dari alam. Mulai dari pembuatan motif batik hingga tahap pewarnaan.

“Teknik membatiknya pakai daun warna alami. Motif batik yang dihasilkan berasal dari serat dan bentuk asli dari aneka jenis daun-daunan. Tapi sebenarnya ada beberapa cara dalam pembuatan batik ecoprint,” ungkapnya.

Ia memilih cara steam atau penguapan dengan cara dikukus. Proses awalnya, dia menyiapkan sejumlah jenis daun-daunan yang akan dijadikan sebagai bahan membatik. Daun tersebut ditempelkan di atas permukaan kain, kemudian kain dilipat dengan cara digulung.

“Gulungan tersebut kemudian diuap dengan cara dikukus agar motifnya bisa menempel pada permukaan kain. Tapi tidak semua jenis daun tumbuhan bisa dibuat ecoprint. Daun yang bisa digunakan adalah yang tidak banyak mengandung air dan yang memiliki kandungan warna alami,” katanya.

Dan yang mampu menghasilkan warna alami yang kuat adalah daun jati. Selain itu, jenis tumbuhan lain yang pernah dia terapkan adalah daun tanaman jarak, daun tinta atau mangsi, daun keres, daun arbei serta daun ungu. Setiap jenis daun memiliki karekteristik motif dan warna tersendiri.

“Awalnya, coba-coba dulu bisa dipakai atau tidak untuk membatik. Saya ambil daun yang tumbuh di sekitar rumah saja. Saat ini, cukup kesulitan untuk mencari bahan baku karena daun yang digunakan daun yang muda. Saat kemarau, sangat jarang tumbuhan yang daunnya bersemi,” tuturnya.

Munculnya warna juga tergantung dari proses fiksasi atau penguatan warna. Ibu dua anak ini menjelaskan, setelah proses steam, kain batik cukup diangin-anginkan selama 4-7 hari. Itu dilakukan agar warna bisa meresap sempurna ke dalam kain. Namun untuk prosesnya cukup dua jam.

“Munculnya warna juga tergantung dari proses fiksasi atau penguatan warna. Tahap akhir dalam proses membatik ini juga menggunakan bahan dari alam. Untuk dapat menghasilkan warna yang terang, saya menggunakan bahan tawas. Untuk sedikit lebih gelap, saya menggunakan bahan kapur,” ungkap Fitriawati.

Jika menghendaki warna yang lebih gelap atau kehitaman, ia melakukan fiksasi dengan bahan tunjung. Selain karena lebih ramah lingkungan, ketertarikannya untuk menggeluti ecoprint tidak lepas karena motif alam saat ini tengah ngetrend di kalangan pecinta batik.

Dengan corak dan nilai motif yang alami, produk batik ecoprint juga bernilai ekonomis cukup tinggi di pasaran. Bahkan harganya hampir sama dengan batik tulis. Untuk selembar kain dengan lebar 2 meter x 115 centimeter (cm), dibanderol bias dengan harga Rp300 ribu.

“Saya juga mengaplikasikan batik motif daun tersebut ke dalam model hijab. Untuk jenis pashmina ukuran 175 cm x 60 cm bias pula dijual dengan harga Rp100 ribu. Sedangkan untuk jenis segi empat ukuran 90 cm meter persegi rata-rata bias dijual dengan harga Rp60 ribu,” tambahnya. [wap.adv]

Tags: