Peneliti Mitigasi Bencana ITS Paparkan Penyebab Gempa Cianjur

Surabaya, Bhirawa
Gempa bumi dengan magnitudo 5,6 Skala Richter (SR) mengguncang Cianjur Senin (21/11) siang. Hingga kini sebanyak 162 orang meninggal dunia dan kerugian akibat kerusakan 343 bangunan yang disebabkan dari kejadian ini.
Menurut pengamatan peneliti senior dari Pusat Penelitian Mitigasi Kebencanaan dan Perubahan Iklim (Puslit MKPI) ITS, Dr Ir Amien Widodo MSi, gempa Cianjur terjadi akibat lempeng tektonik yang bergerak dan menekan wilayah Indonesia sejak jutaan tahun lalu. Namun, sumber gempa darat dari sesar aktif ini masih belum diketahui secara pasti.
Dirunut berdasarkan peta, berdekatan dengan Cianjur terdapat sesar Cimandiri yang membentang mulai dari Teluk Pelabuhan Ratu hingga Cianjur. Sesar ini pernah mengguncang Sukabumi pada tahun 2001 silam.
“Namun, letak sesar yang berada jauh di sebelah utara tempat kejadian dipastikan bukan penyebab dari gempa Cianjur ini,” tegas Amien.
Laporan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) per 22 November 2022 pagi mencatat sebanyak 162 orang meninggal dunia akibat dampak gempa. Sebanyak 377 orang mengalami luka-luka dan ada 7.064 orang mengungsi akibat bencana alam ini. Belum lagi ribuan bangunan juga mengalami kerusakan ringan hingga berat.
Peristiwa gempa ini cukup terasa guncangannya. Meskipun tergolong berkekuatan kecil, posisi peristiwa gempa yang dangkal menyebabkan kerusakan bangunan yang berada di atasnya. Untungnya, gempa yang terjadi tersebut tidak berpotensi tsunami karena sumber gempa berasal dari daratan.
Dikatakan Dosen Departemen Teknik Geofisika ITS ini, gempa merupakan suatu peristiwa yang tidak bisa diprediksi kemunculannya. Namun, berkaca dari peristiwa gempa yang telah melanda beberapa kali di Indonesia, seharusnya bisa dijadikan acuan mitigasi. Mitigasi sendiri dibagi menjadi dua jenis. Yakni mitigasi struktural yang berfokus pada pembangunan infrastruktur dan mitigasi nonstruktural yang berfokus pada edukasi masyarakat.
Amien juga menjelaskan, pertolongan gempa berdasarkan hasil survei gempa Kobe 1995. Menurut survei, pertolongan berasal dari diri sendiri 35%, keluarga 32%, para tetangga 28%, dan sisanya 5% dari luar. Dapat disimpulkan, tanggung jawab terbesar akan keselamatan ada pada diri sendiri.
“Tanamkanlah pengetahuan tentang gempa agar bisa selamat,” tandasnya mengingatkan.
Tak hanya itu, Amien juga berharap, pemerintah untuk lebih memetakan sesar yang ada di Indonesia dan memberikan pemetaan bagaimana semestinya jarak dan model rumah dibangun.
“Perlu diingat gempa tidak membunuh, tetapi bangunanlah yang menyebabkan korban sehingga pemetaan perlu dilakukan,” tegasnya.
Amien menegaskan, masyarakat bisa mengembalikan literasi kebencanaan. Semestinya, masyarakat jangan berpikir bahwasannya bencana merupakan takdir, azab, maupun kutukan.
“Penumbuhan pengetahuan akan ancaman di sekitar akan mengurangi risiko bencana,” tandas Amien. [ina.fen]

Tags: