Peranan Generasi Muda dalam Menjaga Kerukunan Bangsa

Moch Shofwan, M.Sc.

Oleh :
Moch Shofwan, M.Sc.
Dosen Perencanaan Wilayah dan Kota, Universitas PGRI Adi Buana Surabaya; Pengurus Pusat Ikatan Geograf Indonesia

Negara Indonesia dikarunia oleh Tuhan sebagai bangsa yang besar, terdapat banyak suku, agama, ras, dan bahasa. Bhinneka Tunggal Ika menjadi semboyan Bangsa Indonesia, bahwasannya beraneka ragam tetapi tetap satu, yaitu satu tujuan dan visi misi besar menjadi bangsa yang bermartabat dimata dunia. Terbentang dari sabang sampai merauke terdiri dari 17.508 Pulau membentuk gugusan-gugusan daratan yang melahirkan berbagai macam perbedaan yang menjadi satu keindahan berupa NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia). Karakter Bangsa Indonesia adalah bangsa yang ramah tamah, bergotong royong, tangguh dan santun.

Toleransi menjadi kunci terpenting dalam setiap aktivitas keberagaman di bumi pertiwi ini, toleransi menjadi sikap keteguhan dan kebesaran hati seseorang dalam menerima dan saling memahami setiap perbedaan yang ada. Keberagaman merupakan rahmat bagi seluruh alam, Tuhan yang maha kuasa tentunya atas segala bentuk hak preogratifnya memiliki keagungan untuk menciptakan apa yang menjadi kehendaknya. Oleh sebab itu kita sebagai insan manusia diberikan akal yang sempurna maka sudah sepatutnya berfikir bahwa semua keberagaman itu atas kehendak Tuhan maka sudah menjadi kewajiban kita sebagai ciptaannya memiliki kebesaran fikir untuk saling memahami dan menyayangi.

Qodha’ dan Qodharnya memang sangat menarik untuk kita diskusikan, mengapa bangsa eropa diciptakan berkulit putih, mengapa bangsa timur tengah diciptakan dengan ciri nuansa alam tersendiri, dan mengapa bangsa Indonesia ditakdirkan dengan ragam budaya gemah ripah loh jinawi, tentunya semua itu pasti Tuhan memiliki tujuan menciptakan hamba dan makhluknya, bahkan daun yang jatuh pun tidak terlepas dari kehendaknya.

Manusia diciptakan dimuka bumi ini tentunya sebagai kholifah, baik terhadap sesama umat manusia maupun makhluk lain ciptaannya, baik yang sebangsa maupun yang berbeda warna kulitnya, baik yang sebahasa maupun yang beda logatnya, baik yang seagama sampai yang berbeda cara pandangnya. Tentunya semua itu adalah bagian daripada memanusiakan manusia. Sohabat Ali bin Abi Tholib sudah mengatakan bahwasannya “Dia yang Bukan Saudaramu dalam Seiman, adalah Saudaramu dalam Kemanusiaan”.

Tentunya kita sering mendengar kalimat toyyibah “Khoirunnas Anfa’uhum Linnas” sebaik-baiknya manusia adalah yang bermanfaat bagi manusia lainnya. Secara definisi bermanfaat berarti memberi dampak positif terhadap orang lain baik berupa materi maupun non materi. Agama manapun mengajarkan bahwa bersedekah adalah cara mulia memanusiakan manusia, cara paling ampuh membahagiakan manusia lainnya. Bahkan kita senyum saja terhadap orang lain yang bersimpangan di jalan itu sudah dicatat sebagai sedekah yang luar biasa.

Indonesia memiliki 6 agama yang diakui secara konstitusional hukum, Islam sebagai agama dengan pemeluk terbesar di Indonesia, tidak ada kata diskriminatif terhadap agama tertentu yang pemeluknya kecil. Islam sudah mengajarkan bahwa agama ini mengajarkan kedamaian dan rahmat bagi seluruh alam, dalam Surat Al-Fatihah sebagai surat pembuka Ummul Qur’an sudah disebutkan Alhamdulillahi Robbil ‘Alamin (Segala Puji bagi Alloh SWT Tuhan Semesta Alam).

Kerukunan adalah salah satu syarat seseorang bahkan umat manusia hidup bahagia, dalam lingkup kecil kita dapat mengilustrasikan jika dalam satu keluarga ada 7 (tujuh) anggota keluarga, mereka semua setiap hari pukul 07.00 pagi harus sampai pada tujuannya masing-masing sedangkan di rumah hanya ada satu kamar mandi, maka bagaimana caranya ketujuh anggota keluarga tersebut dapat terfasilitasi selesai mandi sebelum pukul 07.00 pagi dan sampai tujuannya masing-masing, maka orangtua membuat jadwal sistematis setiap harinya dan digilir selama seminggu sehingga terbentuk keadilan dalam setiap anggota keluarga. Sama halnya dalam kehidupan beragama di Negeri ini, Alloh SWT dalam firmannya sudah menyebutkan Lakum Diinukum Waliyadin (Bagimu Agamamu, dan Bagiku Agamaku). Kerukunan antar umat beragama sangat penting sebagai landasan hidup umat manusia apalagi di Negeri yang dilindungi secara konstitusional hukum, tidak ada cara pandang sempit secara eksklusif apalagi inklusif bahwa agama lain lebih rendah dari agama kita, karena Alloh SWT dalam Kitab Suci Al-Qur,An sudah menyebutkan Inna Akromakum ‘Indallohi Atqookum (Sesungguhnya Orang yang Paling Mulia diantara Kamu disisi Alloh SWT adalah Orang yang Paling bertaqwa diantara Kamu), bukan kekayaannya bukan pula jabatannya namun tingkat ketaqwaan terhadap Alloh SWT.

Kampus sebagai salah satu kawah candradimuka (majelis) anak bangsa menimbah ilmu, sudah tentunya dinamika kehidupan kampus sangat mengalir dan fleksibel. Anak bangsa dengan latar agama, suku, dan ras apapun boleh menimbah ilmu dikampus. Lingkungan kampus yang kondusif sangat menentukan pola pikir mahasiswa dalam melihat keberagaman yang ada, pluralisme adalah sunnatulloh, manusia hanya sebatas menjalankan peran atas apa yang telah diperintahkan Tuhan kepada manusia yaitu menyayangi dan mengasisihi sesama umat manusia.

Kampus adalah tempat berkumpulnya para hamba Alloh SWT yang siap dan sigap untuk mencari ilmu, dapat dikatakan majelis mulia untuk mempertemukan hidayahnya orang awam untuk mencari ridho Alloh SWT. Kampus dengan segudang aktifitasnya baik pendidikan/pengajaran, penelitian, dan pengabdian masyarakat selalu terbuka dengan segala bentuk perubahan baik perubahan fisik/infrastruktur, sosial, budaya, ekonomi, sampai teknologi. Perubahan adalah bagian daripada cara manusia mencari keseimbangan hidup dengan tujuan hidup sejahtera di muka bumi ini.

Salah satu bentuk dinamika yang terjadi dilingkungan kampus yaitu cara pandang dalam menyikapi aktifitas keagamaan, misalnya dalam sudut pandang agama islam sudah diatur secara jelas bahwa rukun islam itu ada lima mulai mengucapkan dua kalimat syahadat, mendirikan sholat, menjalankan puasa, mengeluarkan zakat, dan menunaikan haji. Secara syari’at sudah jelas agama islam mengatur misalnya sholat tentunya mengikuti apa yang telah diperintahkan oleh Nabi Muhammad SAW, kata Nabi Shollu Kama Roaitumuni Usholli (Sholatlah kalian sebagaimana kalian melihatku sholat), seperti apa sholat Kanjeng Nabi Muhammad SAW itu, detailnya seperti apa gerakan sholat dan tata cara sholat yang diajarkan oleh Nabi, maka kita semua membutuhkan sohabat nabi, tabi’it dan tabi’in, serta ulama’ sebagai penuntun sekaligus penyambung lidah apa yang telah dituntunkan Nabi Muhammad SAW kepada umatnya.

Generasi millenial revolusi industri 4.0 menuju society 5.0 dapat dikatakan sebagai generasi langit, sebab segala aktivitasnya terkadang tidak terlihat oleh dunia nyata, dulu jika kita ingin membeli nasi goreng maka harus keluar rumah pergi ke pasar untuk membeli nasi goreng, namun sekarang zaman sudah berubah, semua serba instant dan tidak perlu kita keluar rumah untuk mendapatkan sesuatu yang kita inginkan, cukup tekan tombol menu di aplikasi atau platform tertentu maka pesanan sudah sampai rumah dan siap dihidangkan, itulah ilustrasi kondisi euforia zaman saat ini yang serba elektronik dan digital.

Generasi muda mempunyai peran vital dalam menjaga kerukunan bangsa ini, jangan sampai euforia zaman yang serba instant dan digital ini membuat kita terlena untuk saling membantu sesama, gotong royong, dan bekerja keras sebagai ciri khas Bangsa Indonesia. Toleransi menjadi fardhu ‘ain hukumnya, karena bangsa ini diperjuangkan dengan darah dan keringat para pendiri serta pahlawan dengan semangat berkobarnya.

Dua tokoh ulama’ besar Indonesia termasuk waliyulloh dan Pahlawan Bangsa Indonesia yaitu KH. Hasyim Asy’ari dan KH. Ahmad Dahlan sudah memberikan tauladan yang sangat baik kepada kita semua, beliau sangat menghormati satu sama lain, terbukti dalam sejarah yang kami dengar dari kyai-kyai kami dikampung mengatakan bahwa ketika Kyai Dahlan atau KH. Ahmad Dahlan sebagai pendiri Organisasi Islam Muhammadiyah berkunjung ke kediaman Mbah Hasyim sebutan KH. Hasyim Asy’ari, salah satu bentuk kearifan dan tawadhu’ Mbah Hasyim untuk menghormati Kyai Dahlan yaitu memerintahkan kepada santrinya dan masyarakat dilingkungan tempat tinggal beliau untuk menurunkan Bedug yang ada di masjid sebagai bentuk lil hurmati penghormatan kepada beliau KH. Ahmad Dahlan. Sungguh sebuah suritauladan yang melebihi daripada seribu-seribu kalimat, karena akhlak beliau berdua sudah mencerminkan kebaikan, dapat kami katakan ini sebagai wujud toleransi tingkat tinggi bagi bangsa ini. Mari kita jaga bersama bangsa ini.

———- *** ————-

Tags: