Perempuan Penjahit Kenangan

Oleh:
Wardie Pena

Awalnya tak banyak yang tahu atau lebih tepatnya percaya pada profesi perempuan tua itu. Karena memang tak ada benda yang sesuaimenunjukkan identitas profesinya.Di depannya hanya ada papan berukuran pas-pasan bertulis “Penjahit Kenangan” dengan tulisan kecil di bawahnya yang mirip sub bab judul buku “menerima permak dan jahit kenangan-kenangan yang dikoyak waktu”. Juga sebuah tas tenteng berukuran sedang yang sudah lusuh dan berwarna belel. Itu saja. Pelang dan sebuah tas yang besar kemungkinan sudah berusia limakali pergantian presiden.

Orang-orang yang beraktivitas dan berlalu-lalang di tempat itu kemudian menduga-duga bahwa ia pasti seorang pengemis. Mengingat banyak cara pengemis di negeri ini mengambil simpati orang. Mulai dari berpura-pura berpenampilan kumal sampai berpenampilan mahal dengan mengumbar janji-janji muluk. Si perempuan tua adalah jenis yang pertama; wajah keriput, rambut masih utuh (maksudnya tidak botak)tapihampirberuban seluruhnya, tubuh kuyu dan kumal. Namun, karena memang tak pernah ada yang terlihat mengulurkan rupiah, orang-orang jadi mulai menaruh rasa percaya padanya.

“Apa ibu juga menjahit sepatu?” tanya seorang laki-laki berpenampilan parlente yang kebetulan lewat di area itu.

“Tidak. Saya hanya menjahit kenangan. Kamusudah bacapelang di depan saya? Apa di sana ada yang bertulis sepatu?”

“Sudah. Tapi aku kira pelang itu hanyalah pemanis seperti pelangpedagang-pedagangboba muda kreatif saat ini,” sahut laki-laki itu sedikit heran.

“Anak muda jaman sekarang mana ada yangpeduli arti sebuah kenangan!”

Laki-laki muda itu lalu beranjak pergi tanpa banyak bicara. Barangkali sebilah pertanyaan masih menggantung dalam kepalanya. Menjahit kenangan? Terdengar aneh. Sangat aneh, bahkan. Tapi, percuma ngomong panjang lebar dengan orang tua. Kalah atau salah sedikit, kata-kata serapah bisa menyembur dari mulutnya. Kalaupun menang, apa artinya menang berdebat dengan nenek-nenek yang sudah mulai pikun?

Begitulah hari-hari si perempuan tua berlangsung. Akhir-akhir ini, nyaris tak ada orang yang memakai jasanya menjahit kenangan. Dulu, ketika orang-orang masih begitu peduli arti penting sebuah kenangan, hari-harinya disibukkan untuk menyulam kenangan demi kenangan. Satu orang bisa menjahit dua, tiga, sampai lima kenangan dalam sehari. Mereka takut kalau-kalau kenangan-kenangan mereka lebih dulu dilumat waktusebelumkematian menjemput.Sehingga mereka tak bisa mewariskannya ke anak cucu. Itu duluketika warisan kenangan masih sama berharganya dengan warisan harta.

Kini, ketika semua kehidupan nyaris dikendalikan teknologi, orang tak lagi peduli makna sebuah kenangan. Hidup memang serba mudah dan praktis. Mau pergi kota, tinggal menggeber sepeda motor. Hanya dalam hitungan menit sudah bisa sampai tujuan dengan kejauhan berpuluh-puluh kilometer. Tidak perlu menunggu angkot lagi seperti dulu-dulu. Lapar? Tinggal ambil dan mengusap gawai, berbagai jenis menu kesukaan bisa dipilih sesuka hati di gerai-gerai online. Silaturrahmi tatap muka digeser kehadiran fitur-fitur canggih di gawai. Hampir jarang ada tukar kata dan rasa secara nyata lagi saat ini. Mungkinkah kenangan terlahir dari keserba praktis-an semacam ini?

Karena itu pula si perempuan tua mencoba peruntungan di luar. Ia merasa perlu mengenalkan diri ke tempat yang lebih ramai ketimbang hanya berdiam diri menunggu pelanggan di rumah. Dan tempat yang ia pilih ini menurutnya bisa memenuhi harapannya tersebut. Di sudut sebuah persimpangan kota yang di mana ada beberapa gedung mewah di dekatnya. Ada hotel bintang lima, gedung pemerintahan, deretan toko yang menyediakan aneka barang, dan beberapa supermarket. Bukankah itu kombinasi yang cukup sempurna? Pemerintah dan bos-bos besar.

Aroma sore sudah mulai menguar. Peluh yang tadi mengalir di wajah perempuan tua itu sudah kering diserap kulit keriputnya. Konon, wajah orang yang sudah keriput dua kali lebih cepat menyerap keringat-karena pori-pori membesar. Ia mengusap alisnya dengan punggung tangan kanan, lebih kepada mengeringkan. Pandangannya melompat ke tas hitam di sampingnya. Perasaannya sedikit tergores haru. Bukan karena sulitnya uang, karena dari dulu memang ia sudah terbiasa besar tanpa gelimang uang. Ia hanya baru menyadari dunia tempatnya hidup saat ini sudah demikian jauh berubah.Terutama dari cara manusia berinteraksi. Akankah dunia ini indah tanpa kenangan-kenangan? Ia mendesah, lalu mengangkat bokongnya, tapi gerakannya keburu tercekat suara samar diantara deru kendaraan.

“Apa benar Anda penjahit kenangan?”

Ia mengangkat wajah. Sesosok perempuanberambut sebahu, lebat, dan lurus menyembul di depannya. Cukup muda untuk memahami arti sebuah kenangan.

“Betul.”Ia menatap wajah perempuan muda itu lagi dengan sedikit keraguan menggantung di wajah. “Kamu sudah menjahit kenangan sebelumnya?” lanjutnya kemudian.

“Belum.”

“Dari mana kamu tahu perihal menjahit kenangan?”

“Dari ayah saya. Ayah saya mewariskan cukup banyak kenangan.”

Perempuan dengan bercak-bercaksamar di wajahnya itu sedikit termenung setelah akhirnya mengeluarkan isi tasnya.

“Baiklah kalau begitu, kenangan apa yang ingin kamu jahit?”

“Saya punya kenangan menyakitkan di masa lalu. Bisakah Anda menghilangkannya?”

“Kenapa kamu ingin menghilangkannya?”

“Aku tidak ingin mengingatnya lagi.”

“Kenapa kamu tidak ingin mengingatnya?”

“Karena kalau aku mengingatnya hidupku selalu diselimuti kesedihan.”

“Kamu tahu,menjahit kenangan bukan berarti menghilangkannya. Menjahit di sini justrumenyatukaningatan-ingatan masa laludi dalam kepala ke dalam hati agar ia tetap terasa dalam hidup. Sebab, banyak orang yang ingat kenangan tapi lupa rasanya. Ingatan itu soal pikiran, sedangkan kenangan masalah rasa. Itulah kenapa kita perlu menyatukannya kembali.”

Giliran perempuan berpipi gembil itu yang melongo sekarang. Ia mencoba menyerap perkataan nenek penjahit kenangan ke dalam kepalanya. Barangkali ia baru mendengar perbedaan kenangan dan ingatan.

“Lagi pula, kita perlu semua kenangan dalam hidup ini, baik itu kenangan manis, pahit, suka, duka, semuanya tergantung kondisi kapan kita membutuhkannya,” balas si nenek seakan membaca isi kepala perempuan berperawakan subur itu.

“Apakah Anda pernah merasakan sakit?”

“Semua orang pernah merasakan sakit. Tapi definisi sakit itu berbeda-beda masing-masing orang. Sakit bagi saya belum tentu bagi kamu, begitu juga sebaliknya.”

“Kehilangan dan perasaan-perasaan lainnya?”

“Jangan tanya, seorang desainerbaju tentu punya lebih banyak baju daripada pelanggannya. Kenangan tak jauh beda dengan baju. Semua kenangan adalah baju kita dalam hidup ini. Semakin tua seorang semakin banyak pula baju kenangannya.”

Perempuan itu lalu mengangguk. Barangkali tuntas sudah semua pertanyaan di kepalanya.

“Jadi, bagaimana? Mau menjahit kenangan?” tanya perempuan tua untuk kesekian kalinya.

“Jadi, nek,”

“Baiklah, kalau begitu tunggu sebentar.”

Sebuah jarum dirogohkandari dalam tas belel dan ditunjukkannya ke perempuanyang berdiri sekitar satu setengah meter di depannya. “Tahukah kamu, ini adalah jarum waktu, dan benang-benang ini adalah pengikat kenangan. Warna putih artinya ketulusan, merah berarti pengorbanan, hitam adalah kesedihan, biru kesunyian, hijau kebahagiaan, dan kuning ialah kekecewaan,” dektenya.

Ia mendekatkan wajahnya ke tempat duduk si perempuan tua. Diperhatikannya lekat-lekat benda-benda yang barusan ditunjukkan itu.

“Cukup. Kamu takkan bisa memahami arti semua ini.Jadi, kita mulai dari mana?Biar saya memasukkan benang yang pas,” ujar si penjahit kenangan sedikit mengibaskan tangannya, seolah ia tak sabar lagi.

“Aku bingung mau mulai dari mana.”

“Kenapa kamu bingung?”

“Karena belakanganini aku hampir tak pernah bahagia. Aku lupa cara berbahagia,” ujar si perempuan berambut kemerah-merahan itu. Tubuhnya sedikit terguncang. Seperti ada sesuatu yang menyumbat kerongkongannya ketika mengucapkan kalimatnya kali ini. Apakah itu kerikil? Tidak mungkin. Sesakit apa pun seseorang tak ada yang sampai berani menelan kerikil.

Si penjahit kenangan mengurungkan aksinya. Ia menghela napas, seakan mencoba memahami perasaan perempuan berwajah bundaryang ada di hadapannya. Karena itu ia merasa perlu bersabar dan mendekatinya dengan sentuhan perasaan. Boleh jadi baru kali ini juga ia menemukan seorang yang ingin menjahit kenangan macam begini.

“Kenapa kamu bilang begitu? Kamu masih cukup muda. Kamu masih berhak hidup bahagia.”

“Nenek juga sudah tua. Kenapa nenek sendirian saja? Kenapa tidak ditemani seseorang? Anak atau cucu misalnya…”

“Kamu tahu, kenapa aku memutuskan untuk menjadi seorang penjahit kenangan? Aku sudah tak punya apa pun di dunia ini selain kenangan-kenangan.”

“Jadi nenek hidup seorang diri?”

“Ya. Ah sudahlah, jangan bahas soal itu lagi. Apa kamu jadi menjahit kenanganmu?”

Kening perempuan muda itu berkerut. Ia tiba-tiba merasa menemukan separuh kenangannya ada pada nenek itu. Apakah ini sebuah kebetulan? Bagaimana bisa di dunia ini ada hal yang betul-betul mirip, termasuk kenangan?Ia tidak bisa memahami hal itu.

“Anda tahu, aku juga memutuskan mengembara dari satu kota ke kota lain setelah beberapa puluh tahun hidup seorang diri.”

“Kamu masih muda. Kenapa melakukan itu?”

“Karena di dunia ini aku sudah tak punya apa pun selain kenangan.”

Si nenek terdiam lagi. Ia juga merasa seolah sedang bercermin. Dan perempuan berbibir basah di depannya saat ini ialah cermin tersebut. Ya, cermin yang begitu bening dan jernih. Cermin yang memantulkan semua bayangan hidup yang dimilikinya.Tapi, bukankah dia adalah seorang penjahit kenangan yang tak membutuhkan apa pun untuk mengabadikan kenangannya? Bagaimanapun juga, cermin tetaplah cermin yang berfungsi memantulkan realitas pada diri seseorang. Tak peduli apakah dia menyadari hal tersebut atau tidak.

Untuk beberapa saat tak ada sepotong kalimat yang terucap dari mulut kedua perempuan itu.Geming. Mulut mereka sama-sama terkunci setelah akhirnya mereka saling menertawai. Menertawai hidup yang masing-masing mereka jalani.Gelap mulai turun menyelimuti bumi.Si nenek tua mengemas semua peralatan yang ia butuhkan untuk menjahit kenangan.

“Besok kita bertemu lagi di tempat ini. Kita mulai menjahit kenanganmu besok pagi,” ucapnya kemudian merenggang pergi meninggalkan perempuan muda seksi itu seorang diri.

Lombok Tengah, 18 September 2021

Wardie Pena, seorang penikmat kalimat. Ia menulis cerpen, esai, opini, dan resesensi buku. Karya-karyanya sudah tersiar di berbagai media lokal dan nasional, cetak dan daring. Ia bermukin di Lombok Tengah, NTB.

———– *** ————

Rate this article!
Tags: