Perikanan Terukur, Jauh Tiang dari Layar

Oleh :
Oki Lukito
Ketua Forum Masyarakat kelautan, Maritim, Perikanan.

Jawa Timur mendapat kepercayaan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menjadi proyek percontohan program nasional penangkapan ikan terukur berbasis kuota yang diperkenalkan KKP sebagai program berbasis ekonomi biru. Program ini untuk menaggulangi penangkapan ikan yang berlebihan serta untuk melestarikan populasi ikan.

Dalam program itu, secara nasional sumber daya ikan yang dapat dimanfaatkan mencapai 5,6 juta ton di empat zona penangkapan ikan terukur untuk industri. Nilai produksinya ditaksir mencapai Rp 180 triliun. Nilai penerimaan negara bukan pajak (PNBP) sumber daya alam subsektor perikanan tangkap mencapai Rp 18 triliun.

Untuk mensukseskan program tersebut, Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Jatim menyiapkan empat pelabuhan perikanan yang telah ditunjuk Pemerintah Pusat sebagai pilot project lokasi penerapan PNBP pasca produksi. Satu pelabuhan berada dipantai utara (Selat Madura) yaitu Pelabuhan Perikanan Mayangan (Kota Probolinggo), tiga pelabuhan lainnya sebagai penghasil utama ikan tuna, tongkol dan cakalang (TTC).

Lokasinya berada di pantai selatan (Samudra Indonesia) yaitu, Muncar (Kabupaten Banyuwangi), Pondokdadap (Kabupaten Malang) dan Tamperan (Kabupaten Pacitan) yang secara umum pelabuhan perikanan tersebut memiliki fasilitas penunjang dan SDM yang memadai.

Jawa Timur memang layak dijadikan pilot proyek program nasional tersebut mengingat produksi perikanan tangkap menjadi salah satu andalan provinsi agro-maritim itu. Potensi sumber daya hayati ikan pelagis besar 73.435,6 ton/tahun, potensi ikan pelagis kecil sebesar 153.314,3 ton/tahun, potensi ikan demersal sebesar 153.314,3 ton/tahun, dan potensi ikan budidaya melalui usaha keramba jaring apung sebesar 415.465,6 ton/tahun.

Keempat pelabuhan tersebut sudah memenuhi standar operasi nasional. Pelabuhan Pondokdadap, Tamperan dan Mayangan pelabuhan katagori Badan Layanan Usaha Daerah (BLUD). Akan tetapi diharapkan program tersebut tidak hanya mensukseskan pendapatan PNBP semata, melainkan bisa pula memberi nilai tambah untuk nelayan Jawa Timur (219.439 orang) yang umumnya masih tergolong nelayan tradisonal.

Mencermati simulasi penarikan PNBP pasca produksi di sejumlah pelabuhan, setelah ikan diangkut dari kapal ke TPI kemudian ditimbang dan dihitung jumlah tarip PNBP nya yang disetorkan ke pememerintah pusat.

Bukti pembayaran ini sebagai persyaratan bagi nelayan untuk mengurus Surat Permohonan Berlayar (SPB) jika akan melaut lagi. Sebelumnya nelayan juga sudah ditarik retribusi TPI dan biaya lainnya seperti pembayaran retribusi masuk pelabuhan, tambat labuh, jasa kebersihan gedung dan bangunan, air bersih dan listrik, kebersihan bongkar muat.

Beban Nelayan

Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono menyampaikan beberapa waktu lalu, era baru penangkapan ikan terukur akan membawa banyak dampak multiplier effect positif. Mulai dari tumbuhnya beragam usaha baru yang berimbas pada penyerapan tenaga kerja, hingga meratanya pertumbuhan ekonomi di berbagai daerah sehingga tidak lagi terpusat di Pulau Jawa.

Penangkapan ikan terukur yang menjadi prioritas KKP bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan nelayan. Kuota penangkapan ikan telah dijamin KKP untuk mengutamakan kebutuhan nelayan kecil. Kuota diprioritaskan nelayan kecil, sisanya akan ditawarkan kepada investor agar terjadi peningkatan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) yang akhirnya akan dikembalikan kepada nelayan baik untuk peningkatan kesejahteraan maupun perbaikan stok sumber daya ikan itu sendiri

Seperti diketahui program Penangkapan ikan terukur mengundang protes di sejumlah daerah karena dianggap memberatkan. Selama ini beban nelayan semakin berat, biaya operasioanal (solar, es, bekal nelayan) rata rata menglami kenaikan sekitar 30 persen. Dalam setahun waktu efektif nelayan melaut hanya 181 hari.

Sementara koperasi nelayan dan Tempat Pelelangan ikan (TPI) sebagai jantungnya nelayan 99 persen tidak beroperasi. Padahal Pengelolaan TPI sebagaimana amanat Undang Undang 23 tahun 2014 tentang pemerintahan daerah merupakan kewenangan kabupaten, kota, umumnya tidak beroperasi. PNBP sebagai persyaratan ijin melaut dinilai menambah biaya operasioal. Program ini merugikan nelayan, ibaratnya Jauh tiang dari layar.

Padahal persyaratan untuk melaut sudah cukup berat seperti harus mempunyai Dokumen kapal (Pas kecil/besar, Sertifikat Kesempurnaan/Kelaikan, Surat Ukur, Sertifikat Keselamatan, Buku Kesehatan, Sertifikat Radio untuk kapal diatas 30 GT, Aktivasi Transmiter untuk kapal diatas 30 GT, SIUP, SIPI/SIKPI, Surat Keterangan Pengangkutan Ikan (SKPI), Sertifikat Karantina Ikan,

Surat Laik Operasi (SLO), Form permohonan SPB, surat pernyataan nakhoda tentang pemberangkatan kapal perikanan, Surat pemberitahuan keberangkatan kapal perikanan, Daftar ABK, PKL dan Asuransi Nelayan. Seharusnya apapun programnya berdampak langsung pada kesejahteraan nelayan tradisional, bukan malah membebani masyarakat pesisir khusunya nelayan yang mewarisi tradisi budaya bahari. Nelayan terbebani sementara Pelabunan Perikanan tidak menikmati.

———- *** ———–

Tags: