Polemik Politik Dinasti Jelang Pilpres 2024

Oleh :
Ani Sri Rahayu
Dosen Civic Hukum dan Trainer P2KK Univ. Muhammadiyah Malang

Belakangan ini, seiring dengan majunya Gibran Rakabuming dalam kontestasi Pilpres 2024 sebagai calon wakil presiden (cawapres) rupanya menjadikan suhu politik Tanah Air semakin meningkah bahkan panas. Sebagian pihak mengatakan bahwa majunya Gibran sebagai cawapres di pemilu 2024 adalah bentuk dinasti politik. Dan, sebagian pihak menilai dan berpendapat bahwa majunya Gibran Rakabuming dalam kontestasi Pilpres 2024 sebagai cawapres bukanlah sebuah bentuk politik dinasti.

Pro dan kontra di tengah kalangan partai politik serta publik pun tidak bisa terelakkan, sehingga polemik adu argumen pun terjadi. Berangkat dari kenyataan itulah di harian ini tempatnya di rubrik opini penulis tertarik untuk mengurai benang kusut dari pemaknaan atau pemahaman dari politik dinasti yang saat saat ini sedang ramai menjadi sorotan dan perbincangan publik.

Salahkah Politik Dinasti?
Di Indonesia sendiri, istilah dinasti politik bukanlah hal yang asing kita dengar. Mulai dari dinasti Ratu Atut di Banten, dinasti Fuad Amin di Bangkalan, Madura, dinasti Limpo di Sulawesi Selatan dan beberapa dinasti lainnya. Sekarang publik sedang dibuat geger dengan melihat makin jelasnya langkah Presiden Joko “Jokowi” Widodo perlahan membangun dinasti politiknya dengan membawa kedua anaknya masuk ke dalam dunia politik. Bahkan teranyar, terkini atau terbaru justru Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan batas usia calon presiden dan wakil presiden (capres-cawapres) minimal tetap 40 tahun, kecuali jika sudah pernah menjabat kepala daerah.

Alhasil, realitas tersebut berujung menghasilkan putusan yang kontroversi. Polemik Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 90/PUU-XXI/2023 tentang Ketentuan Tambahan Pengalaman Menjabat dari Keterpilihan Pemilu dalam Syarat Usia Minimal Capres/Cawapres. Regulasi tersebut dinilai oleh sebagain besar publik sebagai langkah pemberian karpet merah kepada anak sulung Presiden Joko Widodo, Gibran Rakabuming Raka, menjadi bakal calon wakil presiden mengisyaratkan bahwa demokrasi kita semakin mengalami regresi.

Putusan tersebut diyakini banyak pihak sarat akan kepentingan dinasti politik Jokowi guna membuka jalan bagi putra sulungnya, Gibran Rakabuming Raka yang saat ini menjabat Wali Kota Solo, untuk bisa maju sebagai cawapres di Pemilu 2024. Terlebih lagi Ketua MK saat ini, Anwar Usman, adalah ipar Jokowi. Alur skenario tersebut seolah semakin menegaskan pengertian politik dinasti adalah proses mengarahkan regenerasi kekuasaan bagi kepentingan golongan tertentu untuk bertujuan mendapatkan atau mempertahankan kekuasaan disuatu negara.

Dinasti politik di Indonesia sebenarnya adalah sebuah hal yang jarang sekali dibicarakan atau menjadi sebuah pembicaraan. Namun berbeda dengan sekarang santer diperhatikan dan dibicarakan. Padahal pada prakteknya dinasti politik secara sadar maupun tidak sadar sudah menjadi benih dalam perpolitikan di Indonesia sejak zaman kemerdekaan.Memang tidak ada yang salah secara hukum dan konstitusi, politik dinasti merupakan fenomena yang legal dan tidak dilarang oleh UU. Akan tetapi selayaknya politisi harus menggunakan kesempatan tersebut dengan bijak, yaitu mengutamakan kompetensi untuk menduduki suatu jabatan. Seperti konstitusi ataupun undang-undang tidak melarang orang yang memiliki hubungan kekerabatan menduduki jabatan di daerah, ada batasan norma kepatutan.

Mengakhiri labirin politik dinasti
Menelisik catatat sejarah lebih dalam tentang politik dinasti di Indonesia, sebenarnya sudah ada sejak zaman Soekarno-Hatta. Seolah kultur Indonesia (kekeluargaan, kekerabatan) telah menjadi tradisi hingga sekarang. Bahkan, dengan dinasti politik, undang-undang membuka ruang bagi siapa saja untuk dipilih dan memilih dalam regulasi MK. Namun kendati demikian ada hal yang penting untuk dipahami adalah dampak buruk dari politik dinasti.

Dinasti politik akan menumbuhkan oligarki politik dan iklim yang tidak kondusif bagi upaya regenerasi kepemimpinan politik dimana kekuasaan hanya berkutat atau dikuasai oleh orang-orang mempunyai pertalian kekerabatan atau berasal dari satu keluarga, tanpa memberikan celah kepada pihak lain untuk ikut berpartisipasi, disamping itu politik dinasti akan berdampak buruk bagi akuntabilitas birokrasi dan pemerintahan, karena cenderung serakah dan rawan terjadinya praktek korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan.

Sungguh disayangkan adanya politik dinasti, di tengah Indonesia yang sedang berjuang dalam demokrasi. Oleh sebab itu, demi mencegah hal-hal buruk dari politik dinasti berikut beberapa solusi yang bisa ditawarkan penulis agar negeri ini tidak semakin akut dalam lingkaran labirin politik dinasti.

Pertama, partai politik mestinya memiliki peran besar supaya larangan politik dinasti di undang-undang tetap bisa ditegakkan. Ini dengan cara melarang keluarga petahana. Terlebih, pasal larangan politik dinasti lahir dari komitmen partai politik di DPR. Pasal itu lahir karena partai pun melihat politik dinasti tidak sehat untuk demokrasi. Kini saatnya menagih komitmen tersebut.

Kedua, partai politik perlu terus mendorong partisipasi aktif masyarakat dan media dalam mengawasi proses politik, termasuk seleksi kandidat oleh partai. Pasalnya, langkah ini akan efektif jika dilandasi dengan transparansi, sehingga prosesnya dapat dipantau dan dievaluasi oleh anggota partai dan publik.

Ketiga, penting bagi partai politik untuk menetapkan aturan yang jelas tentang proses seleksi kandidat, termasuk batasan bagi anggota keluarga pemimpin partai untuk mencalonkan diri dalam posisi tertentu. Langkah ini perlu didukung dengan pendidikan politik kepada anggota dan kader partai tentang bahaya dinasti politik dan pentingnya regenerasi dalam kepemimpinan.

Keempat, sudah saatnya partai politik mengedepankan sistem meritokrasi (berdasarkan prestasi dan kompetensi) dalam seleksi kandidat, sehingga kualifikasi, pengalaman, dan integritas yang menjadi pertimbangan utama, bukan hubungan keluarga.

Merujuk dari keempat upaya-upaya dalam mencegah praktek politik dinasti di atas, maka saatnya politisi maupun pemerintah yang hendak melakukan praktek politik dinasti perlu melakukan evaluasi ulang agar dapat mencetak pemimpin-pemimpin terbaik di negeri ini. Evaluasi tersebut perlu diimplementasikan dalam bentuk kaderisasi yang selektif dan kompeten meskipun berasal dari keluarga sendiri. Sehingga masyarakat menganggap politik dinasti sebagai bagian dari keberagaman politik di Indonesia.

———— *** ————-

Tags: