Merpati Anak-anak Ibrahim

Merajut Jalan Damai Israel-Palestina

Oleh:
Muhammad Itsbatun Najih
Alumni Ibtidaul Falah, Kudus

Pada tahun 2014, terbitlah buku terjemahan bertajuk Anak-anak Ibrahim karangan Imam Shamsi Ali dan Rabi Marc Schneier. Saat itu, Benyamin Netanyahu sudah jadi orang nomor satu di Israel dengan ambisi dan laku banalnya terhadap Palestina. Dengan kata lain, aneka solusi perdamaian ditolak. Hingga hari ini atau hampir sepuluh tahun kemudian, banalitas Netanyahu tetap konsisten. Lantas, apakah ada jalan yang lebih realistis guna mencapai jalan perdamaian Israel-Palestina?

Penulis teringat apa yang disebut Politik Etis dalam praktik kolonialisme di Hindia Belanda yang dicetuskan oleh orang-orang Belanda yang bersimpati kepada leluhur kita yang telah dijajah. Artinya, kita tidak bisa memandang bahwa Israel sepenuhnya adalah musuh. Kita mesti meyakini, tetap ada orang Israel yang beragama Yahudi yang menentang konsep Zionisme dan mendambakan hidup damai bersama rakyat Palestina dalam wujud dua negara. Salah satu orang yang menginisiasi hidup koeksistensi tersebut bernama Rabi Marc Schneiner. Karena itu, kita perlu mendorong adanya komunikasi di internal rakyat Israel dan atau komunitas Yahudi sendiri macam Rabi Marc untuk menekan pemerintahan Israel menghentikan invasi militer di Palestina.

Diplomasi tokoh agama
Alkisah pada 2014, pernyataan politik PM Israel Benyamin Netanyahu yang menolak solusi damai koeksistensi Palestina-Israel mengundang reaksi keras dari pihak-pihak yang selama ini mengupayakan perdamaian antarkeduanya. Termasuk bagian dari pihak itu ialah “orang dalam Israel”. Marc Schneier: rabi yang pernah menganggap seluruh Muslim merupakan antisemitis. Sebagai pemuka Yahudi, Rabi Marc tetap menganjurkan pendekatan solusi damai yang mewujud pada bentuk diskusi sipil. Menghindari pendekatan militeristik.

Sepaham dengan Rabi Marc, Imam Shamsi Ali memandang konflik Israel-Palestina mestinya bisa dipecahkan dengan kesadaran untuk tidak bosan-bosan menggelar dialog terutama antardua pemeluk agama besar: Islam dan Yahudi. Dialog lintas agama dipandang perlu lantaran sekian lama kedua pemeluk agama tersebut terkesan saling menutup diri dan menaruh curiga. Pun, pemeluk agama juga bisa menjadi aktor mewujudkan perdamaian terutama melalui jalan dialog.

Sebelumnya, Imam Shamsi muda juga pernah menganggap Yahudi selalu berupaya menghancurkan umat Islam. Namun, peristiwa 11/9 mengubah keadaan beku keduanya. Tampaknya memang harus ada gelaran dialog lintas agama agar pemeluk agama bisa leluasa menumpahkan segala macam sak-wasangka untuk kemudian diklarifikasi bersama. Awalnya, ikhtiar menghelat dialog itu mendapat tentangan keras dari internal Muslim maupun Yahudi. Teranggap sebagai langkah sia-sia. Namun, Imam Shamsi dan Rabi Marc kukuh bahwa dialog adalah pintu masuk untuk saling memahami sembari melenturkan nalar radikalisme beragama.

Pertanyaan turunan yang muncul: Bukankah dialog antar pemeluk agama sudah sering dihelat? Ya, tetapi selama ini yang lebih intens terlihat ialah gelaran dialog Muslim-Nasrani. Nah, giliran dialog Muslim-Yahudi masih teranggap amat jarang. Dan, Amerika Serikat -tempat keduanya tinggal– menjadi tempat ideal (baca: netral) bagi perajutan lokus dialog. Apalagi, baik Muslim maupun Yahudi mengalami nasib sama sebagai kaum imigran yang secara historis mengalami kemarginalan di sektor publik. Keduanya sama-sama menjadi minoritas namun “mewakili” jutaan penganut di belahan lain dunia.

Dalam dialog bersama Rabi Marc dan jemaatnya, Imam Shamsi mencoba menjelaskan makna jihad yang selama ini dianggap komunitas non-Muslim sebagai doktrin membahayakan. Laku-laku destruktif macam menebar teror bahkan aksi pemboman laiknya pada tragedi WTC tahun 2001 silam, terang benderang bukan bagian dari ajaran Islam.

Sementara Rabi Marc menjelaskan secara detail konsep “Bangsa yang Terpilih” yang bersimpul dengan mengenyahkan kesalahpahaman soal konsep keterpilihan dalam Yudaisme. Pun, Imam Shamsi juga memberi perspektif luas perihal Khairu Ummah. Dengan kata lain, agar pemaknaan sebagai “superioritas” sebuah bangsa/umat hendaknya secara arif ditafsir komprehensif agar tidak memunculkan kejumawaan dan arogansi. Bukankah manusia hakikatnya setara di depan Tuhan dengan tanpa melihat asal-usul keturunan?

Laku antisemitis yang merebak di kalangan Muslim, bagi Imam Shamsi justru kontradiktif dengan Islam yang mengajarkan untuk saling mengasihi dan bertegur sapa kepada semua komunitas tanpa memandang identitas agama. Problem “oknum” dalam setiap pemeluk agama yang kerap berbuat onar perlu diabaikan lantaran oknum tidak mewakili kalangan arus utama. Dari sinilah, Rabi Marc juga berupaya keras memerangi Islamofobia dalam tubuh umat Yahudi.

Bagi Rabi Marc, Israel tidak sekadar urusan wilayah geografis, namun merupakan intisari teologi Yahudi. Maka, Israel mutlak harus dipertahankan mati-matian. Tidak mengejutkan bilamana konflik Israel-Palestina dianggapnya sebagai konflik bersifat teologis. Sedangkan Imam Shamsi menganggap Yerusalem sangat penting dalam sejarah Islam meski tidak sampai menilainya sebuah konflik agama. Sayangnya, Rabi Marc mengakui kesulitan menentukan batas-batas wilayah yang dimaksud sebagai Tanah Israel (Tanah yang Dijanjikan). Kiranya inilah yang menjadi alasan mengapa tentara Israel terus memperluas area pendudukannya.

Pada babakan sensitif ini, sememangnya terlihat ada sikap ambigu pada sosok Rabi Marc perihal Tanah Israel sebagai hal sakral yang berlandas pada aspek teologis. Karena itu, pada bagian ini, perlu ditekankan sekaligus kritik kepada Rabi Marc bahwa orang Yahudi, Muslim, dan Kristiani, ketiganya berpunya sejarah di tanah tersebut. Ketiganya sama-sama memiliki situs suci dan karenanya, pada sisi ini, mesti ada konsensus bersama, bukan sikap menang-menangan. Ketiganya memiliki andil setara; dan hal inilah yang telah berlangsung hingga tahun 1948.

Bakda tahun tersebut, kaum migran dari Eropa yang terusir, sekonyong-konyong membikin “negara” di Palestina yang mana hanya mengkhususkan diri untuk orang Yahudi. Sementara kalangan non-Yahudi menjadi terusir dan terenggut tanah airnya. Hal inilah yang menyebabkan munculnya konflik hingga sekarang. Padahal sebelum kedatangan kaum migran Yahudi dari Eropa tersebut, baik orang Muslim, Kristen, dan Yahudi sendiri telah hidup bersama di tanah Palestina.

Meski begitu, Rabi Marc mempertegas dalam buku tersebut, bahwa tentu ada keinginannya untuk hidup berdampingan dengan rakyat Palestina. Mengutamakan pendekatan dialog, bukan malah dengan pendekatan militer seperti sekarang ini. Terasa mengiris hati saat kita membaca postingan menohok seorang netizen dunia bernama David Miller yang viral: You cannot build a Holy Land on the mass graves of children. Bahkan baru-baru ini, di internal Israel sendiri, diwartakan adanya aksi demonstrasi rakyat Israel di depan kediaman Netanyahu. Mereka menuntut Netanyahu mundur dari kursi perdana menteri. Karena itu, ketika kondisi hari ini bak peribahasa nasi telah menjadi bubur, jalan paling realistis adalah sememangnya terwujudnya dua negara yang setara.

Boleh dikata, apa yang sedang terjadi di Palestina adalah sebentuk penjajahan Israel yang telah berlangsung puluhan tahun hingga hari ini. Posisi Indonesia dalam hal ini telah jelas, menolak segala hal bentuk penjajahan. Karena itu, Indonesia sudah tepat dengan terus membela Palestina; guna menjadikannya negara yang berdaulat penuh dan setara bersama negara-negara lainnya. Sikap tegas Indonesia tersebut bukan berarti mengenyahkan Israel, melainkan adanya koeksistensi atau terwujudnya dua negara.

Terlepas dari perbedaan perihal Tanah Israel, dua pemimpin agama di Amerika Serikat di atas telah menjadi pionir dialog Yahudi-Muslim untuk mencairkan ketegangan hubungan selama ini. Setidaknya, uraian-uraian keduanya dalam kisah di buku tersebut menyiratkan banyak kesamaan prinsip ajaran. Yakni: pengajuran kasih sayang dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. Dan, salah besar bila merajut dialog lintas agama selalu diartikan sebagai upaya kekalahan/pengakuan kebenaran/basa-basi kesantunan penganut agama satu dengan lainnya. Namun, lebih untuk saling berbagi pengertian.

Dalam tema kontemporer macam Holocaust, Imam Shamsi berada di garda depan menghadapi bantahan tentang bualan kekejaman Hitler terhadap jutaan etnis Yahudi di Jerman. Di sisi lain Rabi Marc selalu menginginkan agar Palestina bisa hidup berdampingan dengan Israel. Apakah ini sebuah sikap kompromi? Lantaran masih banyak Muslim menyangkal tragedi Holocaust dan tidak sedikit Yahudi tidak menghendaki eksistensi negara Palestina. Biarpun hal itu dianggap sebagai upaya kompromi sekalipun, tetapi, kiranya dapat dikatakan kompromi macam itu sebagai langkah paling realistis upaya nyata mewujudkan perdamaian ketimbang terus mengobarkan api permusuhan dan luncuran rudal.

Bela Palestina
Dalam eskalasi kekerasan – di mana banyak pihak menyebutnya genosida– yang terus meningkat di Gaza, hingga menewaskan ribuan rakyat Palestina dan hancur-leburnya segala rupa infrastruktur, sikap yang semestinya menjadi bagian dari komitmen kita semua untuk menghentikan aksi militer Israel tersebut adalah dengan membela Palestina. Termasuk “kita semua” mestinya adalah Rabi Marc dan orang-orang Yahudi yang moderat pasti akan bersimpati pula terhadap rakyat Palestina yang bertahun- tahun hidup terisolir dan tertekan oleh otoritas Israel.

Sementara sisi lain, rakyat Israel juga menaruh kecemasan dengan sewaktu-waktu menerima ancaman milisi Hamas seperti yang telah terjadi pada awal Oktober 2023 –hingga memicu invasi besar-besaran militer Israel. Baik rakyat Palestina maupun rakyat Israel sebenarnya sama-sama menghendaki adanya ketentraman dan kedamaian. Karena itu, kehadiran sosok Rabi Marc dan yang semacamnya menjadi amat penting guna mendesak pemerintahan Israel untuk melakukan gencatan senjata dan melakukan perundingan. Hal ini demi kebaikan bersama bagi rakyat Israel dan lebih-lebih rakyat Palestina; pun termasuk masyarakat dunia – yang tentunya sedikit-banyak akan terimbas dengan terpicu naiknya harga minyak dan pangan.

Simpulan penulis seperti di atas adalah mengingat tidak adanya dampak signifikan ketika hampir seluruh pemimpin negara mengutuk, mengecam. Bahkan, Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) pun tak berdaya. Tekanan publik internasional yang terjadi tiap hari di kota-kota besar dunia, tidak menciutkan langkah militer Israel terus melakukan invasi militer di Gaza. Langkah-langkah dari kesemua itu, tentulah sudah semestinya ditunjukkan -meski belum berhasil– oleh negara-negara atau manusia yang beradab ketika telah tampak kerusakan dan keganasan ditampilkan tanpa malu-malu militer Israel kepada rakyat Palestina.

Dengan kata lain, kiranya ada sedikit cara yang paling dimungkinkan; dan tentu saja bukan jalan militer. Yakni, jalur diplomasi. Lewat orang-orang macam Imam Shamsi dan Rabi Marc inilah, jalan diplomasi antarperson atau lembaga non-negara yang sebenarnya memainkan peran kunci hingga akses besar kepada pengambil kebijakan. Selain itu, sosok Rabi Marc dan rekan-rekan sejawatnya yang berpunya pemahaman keagamaan moderat, tentunya punya andil besar dalam mempengaruhi pembentukan opini dan sikap pada rakyat Israel untuk ikut berteriak mengakhiri konflik puluhan tahun ini.

Sekiranya perlu diakui konflik Israel-Palestina bukan lagi soal urusan agama, tetapi melibatkan banyak aspek. Meski demikian, pendekatan penulis dengan menyorongkan pada tokoh-tokoh dan dialog-dialog seperti tamsil di atas, bisa kiranya memberikan terobosan dan jalan keluar yang lebih realistis. Sememangnya pula, membela Palestina tidak harus menjadi muslim. Keberpihakan pada yang lemah dan tertindas adalah tugas suci saban manusia apa pun agama dan ras/etnisnya.

Pungkas kata, kesamaan sebagai sesama makhluk Tuhan membawa pada harapan untuk bersama-sama menghirup udara dan menjejak pada tanah yang hakikatnya merupakan milik-Nya. Lantaran itu, kala PBB ditambah dengan intervensi publik internasional yang tampak tak menuai hasil positif, kiranya sekali lagi, jalan paling realistis adalah mendesak kepada rakyat Israel dan komunitas Yahudi seperti Rabi Marc untuk terus menekan pemerintahan Amerika Serikat dan Israel. Dalam banyak warta dan kajian literasi, bahwa rakyat Israel dan komunitas Yahudi tidaklah berpunya sikap tunggal. Mereka ada yang menjadi oposisi pemerintah Netanyahu, menentang Zionisme, dan bersimpati pada rakyat Palestina. Wallahu a’lam

———– *** ————

Rate this article!
Merpati Anak-anak Ibrahim,5 / 5 ( 1votes )
Tags: