Puisi-puisi Abdullah Muzi Marpaung

Oleh
Dr Abdullah Muzi Marpaung
Dosen Teknologi Pangan di Swiss German University

Koma

Bendera-bendera yang bergegas untuk menjadi tak lagi bendera,
lampu-lampu motor yang mulai mencintai gelap,
dan burung-burung yang tak lagi merasa harus pulang ke sarang,
sesungguhnya dapat kaupahami sebagaimana engkau memahami
sisa kopi yang dibiarkan di beranda semalaman
lalu bertransformasi menjadi pagi yang pahit, manis, pekat, dingin.

Hidup ini paradoks yang membuat penat, ujarmu.
Tetapi kekasihmu tak lagi dapat mendengarmu,
apa lagi menghiburmu.
Ia masih di jalan yang telah diam-diam kauhapus dari peta
Ia masih menunggu seseorang yang kini boleh siapa saja
datang membawa kabar gembira: saat panen telah tiba.

Siapa yang paling gelisah sekarang?
Bendera, lampu, burung, kau, atau kekasihmu?
Siapa yang kelak menghargai sisa kopi setara dengan teka-teki?

Tak ada lagi yang dapat dibaca.
Langit telah tiba pada tengah malam.

Kertas Surat Itu

ingin kutulis surat untukmu
di atas kertas beraroma khas
aroma yang membuat kita
percaya akan masa depan

dahulu cukup lama kita berdebat
soal bagaimana kertas itu dibuat
aku tahu, akhirnya engkau mengalah
hanya agar aku merasa gagah

engkau sungguh paham
hidup telah membuatku lebam
masa lalu dan masa sekarang
sama-sama tergunting dalam lipatan

ingin kutulis surat untukmu
mungkin karena baru-baru ini
kutemukan kertas surat itu
terselip dalam suatu album lama
dan sudah tak lagi beraroma

yang membuatku risau
rasanya pernah ada kata-kata
kautulis pada kertas surat itu

kata-kata yang harus kuucapkan
supaya engkau bahagia

Suatu Kali di Taman

obrolan kita tak pernah tiba pada selesai
tetapi aku suka

sering di ujung percakapan
kita malah bersitegang
tetapi aku suka

aku tak perlu mencari alasan untuk menyukaimu
kau tak menemukan alasan untuk menyukaiku

aku cuma bisa rindu, ucapmu
tetapi aku suka

suatu kali kau datang ke taman
dengan sebilah belati di tangan
lembut dan mesra kau bilang,
kutikam kau sekarang

tak merasa perlu bertanya kenapa,
aku lalu tersenyum dan merentang tangan
sila kaupilih, bagian mana hendak kau tikam

sorot matamu membeku
kau sorongkan belatimu
kalau begitu, kau yang tikam aku

seketika itu aku merasa
seharusnya kita berada
di taman yang berbeda

Tiada

Pagi ini aku ke pasar,
pasar tumpah yang sudah lama tiada.
Kubeli sekitar dua ons daging
dari seorang penjual yang sudah tiada.
Akan kubuat sop untuk makan keluarga besarku
yang rukun dan sudah tiada.
Kami akan kenyang dan berbahagia di sepanjang hari
meski hari itu sudah lama tiada.

Sudah agak siang ketika aku kembali ke rumah.
Matahari sudah mendongak lebih tinggi.
Sepertinya ia sudah lebih siap dengan tiada,
sementara aku tidak.

Setiba di rumah seseorang menyambutku dengan suka cita.
Ialah diriku yang sudah lama tiada.

———— *** ————-

Tentang Penulis :
Dr Abdullah Muzi Marpaung
Seorang dosen teknologi pangan di Swiss German University yang juga menggandrungi sastra. Ia sudah menghasilkan satu buku kumpulan cerita pendek berjudul “Lelaki yang Tak Pernah Bertemu Hujan” dan satu buku kumpulan puisi berjudul “Catatan Hari Kemarin”.

Rate this article!
Tags: