Ratusan Orang dari Negara Asia Pasifik Bakal Penuhi Kota Surabaya

Ketua Komite Pelaksana APHC 2019, Dr. Dradjat R.Suardi, SpB.Onk (Tengah) memberikan keterangan pers di ruang pertemuan Gedung Pusat Perawatan Paliatif dan bebas Nyeri RSUD dr Soetomo. [Gegeh Bagus Setiadi/bhirawa]

(Jadi Tuan Rumah APHC 2019)

Surabaya, Bhirawa
Ratusan orang dari Negara Asia Pasifik bakal membanjiri Kota Surabaya. Pasalnya, pada 1-4 Agustus 2019 bakal digelar Asia Pasific Hospice and Palliative Care Conference (APHC 2019). Dipilihnya Kota Pahlawan menjadi tuan rumah lantaran organisasi dan layanan perawatan paliatif, serta pelatihan telah dilakukan dan menyebar ke beberapa kota di Indonesia.
Hal ini disampaikan Ketua Komite Pelaksana APHC 2019, Dr. Dradjat R.Suardi, SpB.Onk saat ditemui Bhirawa di ruang pertemuan Gedung Pusat Perawatan Paliatif dan bebas Nyeri RSUD dr Soetomo.
Menurut Dradjat, Kongres Paliatif se-Asia Pasifik ini akan diikuti 26 Negara. Bahkan, Kongres tingkat dunia yang anggotanya terdiri dari 15 Negara tersebut rencananya akan dibuka langsung oleh Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini dengan tema “Membawa Harapan kepada Mereka yang Putus asa”.
“Surabaya memang menjadi pioner paliatif. Dan Bu Wali Kota akan menjamu tamu kurang lebih 400 orang dari asing dan 400 orang dari domestik di Balai Kota nantinya,” katanya.
Dradjat menjelaskan, perawatan paliatif adalah bidang kedokteran yang relatif baru di Indonesia yang belum banyak dikenal. Diharapkan masalah dan tantangan yang terkait dengan pengembangan perawatan paliatif di Indonesia dan kawasan ini dapat diselesaikan melalui berbagi keahlian dan pengalaman oleh para ahli terkenal dunia selama konferensi ini.
“Kami berharap bahwa dengan mengadakan APHC di Indonesia, perawatan paliatif dapat lebih dikenal di negara kita, memajukan perkembangan perawatan paliatif dan pada gilirannya menghasilkan pembangunan layanan yang lebih baik dan profesional,” jelasnya.
Konferensi yang diselenggarakan bersama oleh Masyarakat Paliatif Indonesia (MPI) dan Jaringan Perawatan Paliatif Asia Pasifik (APHN) ini dinilai sangat berguna untuk para dokter umum dan spesialis. Selain itu juga perawat, apoteker dan petugas kesehatan lainnya, mahasiswa kedokteran dan keperawatan, serta sukarelawan yang terlibat dalam perawatan paliatif internasional.
“Workshop itu diharapkan ahli pengetahuan dan ahli teknologi bisa kita serap. Jadi, ilmunya itu berkembang dan akan kita serap untuk dikembangkan. Contohnya, asuransi BPJS, bagaimana cara kita menerapkan itu dengan keterbatasan kita. Vietnam maju tapi hanya di pusat saja, sama dengan kita,” paparnya.
Sementara, Pembina Pusat Pengembangan Paliatif dan Bebas Nyeri RSU dr Soetomo Surabaya, Prof dr R Sunaryadi Tejawinata SpTHT-KL (KOnk) mengatakan bahwa di Indonesia hampir 50 persen orang terkena penyakit kanker stadium akhir, dan Jatim 70 persen stadium lanjut. “Mangkanya paliatif sangat dibutuhkan termasuk di negara-negara maju. Meski angkanya lebih sedikit daripada disini (Indonesia, red),” terangnya.
Sunaryadi membeberkan, paliatif adalah pelayanan kesehatan integratif dengan tujuan meningkatkan kualitas hidup untuk pasien dan keluarganya. Kenapa integratif, karena membantu pelayanan kesehatan pada fase-fase sebelumnya. “Tugas paliatif ini memberikan harapan riil yang nyata dan menuntun pasien hingga sembuh,” imbuhnya.
Ketua Umum Paliatif Indonesia, Urip Murtejo menambahkan, berdirinya Poli Paliatif dan Bebas Nyeri didasari dengan kenyataan banyak pasien yang harus mendapatkan perawatan berkelanjutan tidak lagi berobat yang disebabkan pasien pindah keluar kota.
“Surabaya sebagai kota di Indonesia yang pertama kali mendirikan poliklinik perawatan paliatif dan bebas nyeri, berfungsi meningkatkan kualitas hidup pasien kanker dan keluarga,” tandasnya. (geh)

Tags: