SDN Sumokali Ajarkan Materi Sekolah Responsif Gender

Kepala SDN Sumokali menempelkan beberapa selebaran terkait Sekolah Responsif Gender. [ahmad suprayogi]

Sidoarjo, Bhirawa
Awalnya, penerapan program Sekolah Responsif Gender (SRG) di SDN Sumokali, Kec. Candi Sidoarjo, diremehkan, dianggap pelajaran tidak perlu. Namun berkat ketelatenan kepala sekolahnya dan gurunya dalam bersosialisasi usai mengikuti pelatihan-pelatihanya, kini menjadi sisipan materi pembelajaran di setiap kelas.
SRG merupakan program 10 Pilot Project PSGPA (Pusat Studi Gender dan Perlindungan Anak) yang diselanggarakan oleh INOVASI (Inovasi Anak Untuk Sekolah Indonesia) dan Umsida (Universitas Muhammadiyah Sidoarjo).
Kepala SDN Sumokali Candi Sidoarjo, Siti Khoiriyah S.Pd menjelaskan kalau sebelum mengikuti SRG dalam pembelajaran sehari-harinya juga belum bisa membedakan mana gender mana yang bukan. Menurut Khoiriyah itu sudah wajar, biasa-biasa saja, misal dalam gambar-gambar bukunya banyak menonjolkan laki-laki dari pada perempuan.
“Dalam kondisi tersebut, mungkin kami kurang respon itu gendernya. Ternyata sekarang membuat perbedaan kalau itu gender, kalau perempuan dilemahkan. Itulah yang tidak kita sadari, akhirnya kita sekarang sudah bisa memilah-milah untuk mengeluarka kebijakan yang sesuai dengan program SRG,” jelas Siti Khoiriyah pada (10/1) kemarin.
Ia katakan, awalnya memang ada beberapa hal yang sangat ‘sepele’ tapi ternyata dari hal tersebut bisa membawa dampak ke anak-anak. Makanya program SRG sekarang ini jadi perhatian, dan dimuncul setiap pembelaran anak-anak.
“Oleh karena itu waktu pelatihan kami mengikutkan 2 guru kelas, 1 bendahara dan kepala sekolah. Dan kami pun mengeluarkan kebijakan yang sangat sederhana untuk milah-milah penerapan SRG itu sendiri,” katanya.
Di antaranya, harus ada kamar ganti yang dibedakan, begitu juga untuk kamar mandi. Termasuk adil untuk memberikan tugas yang sama bagi lelaki dan perempuan. Jadi perubahan yang Nampak sekali adalah tentang perilaku anak-anak dalam sehari-harinya.
“Misal memandang anak-anak perempuan itu lemah, jadi sasaran bullying. Jika ada anak perempuan menangis melah lebih lagi menggodanya, usilnya dan jailnya. Namun sekarang sudah tidak ada lagi, sudah memahami bahwa mereka itu sama,” terang Siti Khoiriyah.
Lanjutnya, dari program tersebut ternyata orang tua juga sangat mendukung. Kalau orang tua wali murid di sekolah ini dukungannya orang tua itu sangat bagus sekali. Termasuk tugas-tugas sekarang menggiatkan P5 (Projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila).
“Untuk penampilan dan tugas mereka juga sama tidak ada pembedaan. Kalau sekarang sudah sekitar 80 persen untuk penurunan perbedaan laki-laki dan perempuan. Karena kendalanya memang harus sabar dan tidak bisa cepat berubah,” ungkapnya. [ach.why]

Tags: