Sirekap: Alat Bantu Atau Sumber Kegaduhan Pemilu ?

Oleh :
Anang Dony Irawan
Dosen FH Universitas Muhammadiyah Surabaya
Anggota APHTN-HAN dan MAHUTAMA

Baru saja Indonesia melaksanakan pesta demokrasi yang disebut Pemilihan Umum (Pemilu) pada 14 Februari 2024 yang lalu. Dalam rangkaian kegiatan tersebut dilaksanakan proses pemungutan suara (Pungra) dan penghitungan suara (Tungra). Banyak pihak yang langsung menggunakan metode hitung cepat atau biasa disebut quick count untuk mengetahui hasil penghitungan suara di tiap-tiap Tempat Pemungutan Suara (TPS). Lembaga-lembaga survey yang mengeluarkan hasil quick count untuk dipublikasikan setelah pelaksanaan rekapitulasi penghitungan suara di TPS secara sampling. Namun, perlu adanya pengetahuan apakah di masyarakat mengetahui antara quick count maupun real count terhadap hasil dari proses Pemilu 2024 ? Termasuk aplikasi Sirekap apakah bisa menjadi tempat masyarakat mengetahui hasil yang sebenarnya dari Pemilu 2024 ?

Sirekap Sebagai Alat Bantu dan Payung Hukumnya

Sistem Informasi Rekapitulasi Elektronik (Sirekap) sebagai alat bantu telah berhasil menghadirkan keterbukaan (transparansi) pada Pemilihan Umum Kepala Daerah Tahun 2020 yang lalu oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) saat ini tengan menjadi sorotan. Sirekap juga sebagai upaya KPU untuk menciptakan pemilu yang profesional dan memberikan kemudahan bagi masyarakat mengakses segala informasi. Berdasarkan Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 25 Tahun 2023 Tentang Pemungutan Dan Penghitungan Suara Dalam Pemilihan Umum dan Peraturan KPU Nomor 5 Tahun 2024 Tentang Rekapitulasi Hasil Penghitungan Perolehan Suara dan Penetapan Hasil Pemilihan Umum menjelaskan bahwa Sistem Informasi Rekapitulasi Elektronik yang selanjutnya disebut Sirekap adalah perangkat aplikasi berbasis teknologi informasi sebagai sarana publikasi hasil penghitungan suara dan proses rekapitulasi hasil penghitungan suara serta alat bantu dalam pelaksanaan rekapitulasi hasil penghitungan suara Pemilu. Termasuk Sirekap juga diatur dalam Keputusan KPU Nomor 66 Tahun 2024 Tentang Pedoman Teknis Pelaksanaan Pemungutan Dan Penghitungan Suara Dalam Pemilihan Umum.

Sebagai bentuk transparansi KPU kepada masyarakat, Sirekap seharusnya memberikan rasa percaya kepada pemilih. Bukan malah menimbulkan kekhawatiran kalau sistem yang dibuat dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. Masyarakat bahkan berulang mengunggah adanya kejanggalan-kejanggalan dalam Sistem Informasi Rekapitulasi atau Sirekap milik Komisi Pemilihan Umum. Hal itu bisa dilihat dari adanya perbedaan data antara hasil pemungutan suara di sejumlah tempat pemungutan suara dan data yang ditayangkan pada Sirekap yang kemudian menjadi sorotan utama. Kekritisan Masyarakat tampak pasca pemungutan suara. Banyak diantara mereka yang mengambil video atau foto formulir C.Hasil Plano (berisi hasil suara pemilihan legislatif dan pemilihan Presiden di setiap TPS) setelah Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) menyelesaikan tugas penghitungan suara di TPS. Tak berhenti di situ, berselang beberapa saat, mereka lantas membandingkan data di formulir C.Hasil dengan data di Sirekap. Masyarakat belum sepenuhnya memahami bahwa Sirekap hanya alat bantu yang bisa digunakan untuk memantau perolehan hasil penghitungan suara.

Meskipun KPU sudah menjelaskan bahwa Sirekap hanya sebagai alat bantu, tidak sedikit yang tetap memercayai perbedaan data sebagai salah satu bentuk dugaan kecurangan. Ada beberapa penyebab yang membuat sistem Sirekap salah dalam merekam angka yang ada pada dokumen C Plano Hasil penghitungan suara di TPS. Inilah yang kemudian menjadi kegaduhan atas perbedaan data antara formulir C Hasil pilpres di TPS dengan angka yang diinput di Sirekap.

Selain itu, terdapat juga perbedaan antara jumlah perolehan total suara partai dengan jumlah akumulasi perolehan suara yang didapatkan oleh tiap calon anggota legislatif.

Kegaduhan Dalam Sirekap
Dengan kegaduhan yang muncul tersebut, KPU pun memberikan instruksi ke sejumlah daerah agar menghentikan sementara rekapitulasi suara di tingkat kecamatan (PPK). Ketua KPU Hasyim Asy’ari mengatakan penghentian sementara itu perlu dilakukan untuk memastikan sinkronisasi data di Sirekap. Kita tentu mengetahui bahwa Komisi Pemilihan Umum (KPU) akan menggunakan alat bantu Sistem Informasi Rekapitulasi (Sirekap) untuk menghitung dan rekapitulasi hasil pemungutan suara Pemilu 2024. Alat bantu Sirekap digunakan untuk mengganti Sistem Informasi Penghitungan (Situng) yang digunakan pada edisi Pemilu 2019. “KPU salah (jika) menghentikan proses perhitungan (manual). Di Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 (dijelaskan) dasar perhitungan (Pemilu bersifat) manual. Salah ketika (perhitungan suara melalui) Sirekap diperbaiki, (namun perhitungan) manual dihentikan. Salah, salah, dan salah. Biarkan Sirekap jalan sendiri dan manual rekapnya dijalankan. Kembali ke manual, segera kembali ke jalan yang benar. Rekapitulasi manual,” kata Mardani dalam video yang diunggah dalam akun media sosial pribadinya, Senin (19/2/2024).

Penggunaan Sirekap pada Pemilu 2024 telah memicu kegaduhan lantaran diketahui nantinya KPU hanya menampilkan data penghitungan suara dalam bentuk diagram bukan data angka-angka atau lampiran formulir C-Hasil dari tiap tempat pemungutan suara (TPS). Kegaduhan tersebut semakin menjadi setelah di media sosial muncul ragam keluhan petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) yang mengalami kesulitan dalam mengakses dan mengoperasikan aplikasi Sirekap, hingga keluhan angka atau data di Sirekap yang tidak bisa direvisi. Selain itu, dalam mengunggah foto formulir C1 terkadang masih sulit. Padahal sebelum hari H pelaksanaan Pemilu 2024, KPPS diberikan Bimtek untuk penggunaan aplikasi Sirekap. Namun pada hari H pelaksanaan, KPPS telah mencobanya hingga berkali-kali, namun hasilnya juga tidak keluar. Banyak kendala yang dihadapi oleh KPPS terhadap sirekap. Penggunaan Sirekap itu berbasis gawai berupa handphone. Dalam hal ini, petugas KPPS yang bertugas TPS akan memotret formulir C-hasil yang ada di setiap melalui handphone ke Sirekap yang kemudian terhubung dengan server KPU RI. Masih ada kesalahan baca oleh sistem Sirekap dan tidak dilakukan pembenahan oleh Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) yang berpengaruh pada kesalahan hasil penghitungan suara. Aplikasi Sirekap yang kerap bermasalah itu akan memicu kesalahan dalam melakukan rekap hasil suara Pemilu secara berjenjang dari tingkat kecamatan hingga pusat, sebagaimana yang diperintahkan oleh Undang-Undang Pemilu. wajar bila kemudian publik tidak memercayai hasil Pemilu 2024 karena kesalahan-kesalahan yang terjadi akibat ketidaksiapan KPU dalam menggunakan aplikasi Sirekap. seringnya aplikasi Sirekap mengalami eror akan menimbulkan dampak terhadap proses rekapitulasi hasil penghitungan suara yang sedang dilakukan.

Rekapitulasi Penghitungan Suara Secara Berjenjang

Sirekap sebagai alat bantu yang disiapkan oleh KPU untuk melakukan pencatatan dan pendokumentasian dari penghitungan suara di TPS. Sirekap merupakan aplikasi untuk menampung foto C. Hasil Plano (hasil penghitungan suara) yang diunggah oleh penyelenggara pemilu tingkat TPS. Data yang terkumpul dari seluruh TPS di Indonesia itu lantas ditampilkan dalam format numerik dalam laman web pemilu2024.kpu.go.id.Adapun, hasil resmi pemilu adalah rekapitulasi suara secara berjenjang mulai dari Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK), KPU Kabupaten/Kota, KPU Provinsi, dan KPU Republik Indonesia. Tentu Sirekap tidak akan menjadi dasar dalam proses merekapitulasi perolehan suara. Alat ukur yang paling utama dalam pungut hitung suara Pemilu 2024 adalah rekapitulasi berjenjang.

Sistem Informasi Rekapitulasi (Sirekap) yang digunakan Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI bukanlah penentu hasil Pemilu 2024. Penentunya mengacu kepada Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum adalah rekapitulasi secara manual. Proses pemungutan suara Pemilu 2024 menyisakan benang kusut. Aplikasi Sirekap besutan Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI menjadi sorotan lantaran temuan sejumlah galat konversi hasil penghitungan suara di TPS ke dalam Sirekap. Hasil Sirekap yang ditampilkan di laman resmi KPU tersebut masih menunjukkan adanya perbedaan antara data di TPS. Alhasil, hal ini memantik polemik terkait penggelembungan atau penyusutan suara peserta pemilu, mulai dari pemilihan umum presiden dan wakil presiden, DPR RI, DPD RI, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota. Klaim kecurangan hingga dugaan hasil Sirekap menguntungkan paslon capres-cawapres tertentu juga turut bermunculan.

Sirekap tidak menjadi penentu hasil rekapitulasi perolehan suara pada pemilu. Hasil pemilu resmi tetap didasarkan pada rekapitulasi manual berjenjang yang dilakukan dari TPS, kecamatan, kabupaten/kota, provinsi, hingga rekapitulasi nasional di KPU. Hasil perhitungan resmi diumumkan paling lambat 35 hari setelah pemungutan suara atau 20 Maret 2024 mendatang. KPU harus melakukan evaluasi terhadap seluruh hasil pemindaian Sirekap untuk memastikan akurasi dan integritas data yang dikumpulkan oleh sistem ini. Tidak ada kecurangan dalam sistem aplikasi yang dibiayai uang rakyat dengan nilai yang fantastis tersebut

KPU segera melakukan perbaikan atau kalau bisa melakukan audit data yang ada di Sirekap. Sehingga datanya tidak lagi memicu kontroversi. Penghentian sementara menurut Bagja harus dilakukan dari pada masyarakat yang mengakses disajikan data yang tidak akurat akibat kerusakan sistem.

Harapan Terhadap Sirekap
Ray Rangkuti menyoroti, ada sejumlah alasan yang mendasari rekomendasinya untuk menutup Sirekap. Pertama, Sirekap tentunya bukan dipakai untuk penghitungan resmi perolehan suara Pemilu 2024. Kedua, Sirekap yang dimaksudkan untuk sebagai alat bantu ternyata tidak membantu dalam pelaksanaannya. Ketiga, bukan membantu, Sirekap justru lebih banyak menimbulkan polemik di tengah masyarakat. Keempat, dengan sendirinya ini memperlihatkan uang Negara habis untuk keperluan yang sebenarnya tidak banyak manfaatnya.

Walau nanti tidak akan dipakai dalam proses rekapitulasi manual KPU, Sirekap tetap penting sebagai alat bantu transparans proses Pemilu. KPU melalui operator Sirekap di tingkat kabupaten dan kota harus melakukan akurasi manual terhadap angka yang salah input tersebut. Kepercayaan publik menjadi penting dalam menjaga integritas pelaksanaan pemilihan umum agar hasil dari pemilu mendapatkan legitimasi Masyarakat. Jangan Cuma mendapatkan legitimasi dari golongan tertentu, melainkan semua warga negara. Karenanya KPU perlu membangun komitmen yang kuat untuk menjaga netralitas dan integritas sebagai penyelenggara pemilu.

Dengan era digital yang terus berkembang, tidak menutup kemungkinan teknologi diterapkan dalam proses pemilihan umum kedepannya. KPU diharapkan terus meningkatkan keamanan dan transparansi dalam pelaksanaan sistem pemilihan, entah itu menggunakan sirekap atau aplikasi lainnya. Apalagi hal tersebut menyangkut data yang vital bagi bangsa Indonesia. Kegaduhan harus segera ditindaklanjuti dengan perbaikan-perbaikan yang diperlukan agar Pemilu 2024 adalah Pemilu yang jujur, adil, dan berintegritas.

———— *** —————

Tags: