Suka Duka Lebaran Mahasiswa yang Menempuh Pendidikan di Luar Negeri

Menjadi mahasiswa di luar negeri yang islamnya minoritas cukup sulit untuk melaksanakan ibadah seperti salat Idul Fitri karena tidak adanya masjid. [M Taufik]

Faraj Satu-satunya Muslim di Kampus, Seftifa Sulit ke Masjid karena Harus Daftar Dulu
Kota Malang, Bhirawa
Menjadi warga negara Indonesia yang mayoritas berpenduduk muslim, sangat mudah menemukan masjid dan mushola. Ini tentu berbeda ketika sedang tugas belajar di negara yang Islamnya minoritas. Meski tetap bisa menemukan makanan halal dan masjid tetapi harus menempuh jarak yang cukup jauh. Ini dialami beberapa alumni Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), yang sedang menempuh pendidikan di luar negeri.
Berbagai cerita pun menarik berlebaran di negeri orang. Mulai dari sulitnya menemukan makanan halal untuk sahur, hingga rela menempuh jarak yang cukup jauh agar bisa bersua dan berbuka bersama kawan-kawan satu negara.
Begitu pula suasana Lebaran yang tidak semeriah di tanah air. Kumandang takbir tidak akan ditemui dengan mudah, dengan makanan khas ketupat opor dan lontong sayur, sulit mereka temui. Meski begitu, mereka tetap semangat dan bahagia bisa menemui Ramadan di Portugal, Taiwan, Polandia bahkan Australia.
Septifa Leiliano Ceria misalnya, alumni Hukum Keluarga Islam (HKI) UMM yang kini menempuh pendidikan di Australian National University. Ia mengaku cukup kesulitan untuk mengunjungi masjid karena harus ada proses pendaftaran pengunjung.
Hal itu tidak lepas dari kebijakan protokol kesehatan yang masih berlaku di Canberra. “Suasana bulan suci dan Lebaran tentu tidak semeriah di Indonesia. Namun Alhamdulillah masih ada kegiatan-kegiatan yang bisa mengobati rasa rindu dengan tanah air,” terangnya.
Salah satu agenda yang ia maksud adalah bazar dan festival kuliner makanan halal. Orang-orang muslim bisa dengan mudah mencicipi makanan dari berbagai negara. Ada makanan khas Turki, India, bahkan juga Pakistan.
“Meski begitu makanan Indonesia masih menjadi nomor satu di hati saya, terutama soto. Rasanya seperti di rumah, apalagi kalau bertemu dengan teman-teman dari Indonesia di pengajian,” sambungnya.
Selain itu, perempuan yang memiliki hobi hiking itu juga sempat menjadi volunter guru mengaji bagi anak-anak di sana. Ia merasa bahwa UMM memberikan banyak manfaat, utamanya kegiatan internasional yang disediakan di International Relation Office (IRO) maupun Bahasa Indonesia untuk penutur Asing (BIPA). Program-program itulah yang membuatnya terbiasa berinteraksi dengan orang-orang dari belahan dunia lain. Salah satunya yang kini sedang ia rasakan di Australia.
Sementara, Adjar Yusrandi Akbar, salah satu pengajar UMM yang sedang menuntut ilmu di Taiwan, mendapati suasana yang berbeda. Adjar mengaku cukup mudah melakukan ibadah di sana. Apalagi sudah ada musala yang disediakan untuk mahasiswa muslim. Selain itu jumlah penganut Islam di Asia University yang cukup banyak, memudahkannya dalam menjalankan ibadah puasa.
Adjar menuturkan bahwa ia dan kawan-kawannya yang tergabung dalam Asia University Moslem Association menggelar salat Idul Fitri di kawasan kampus, tepatnya di lapangan voli. Tidak hanya itu, adapula ramah tamah yang menyediakan makanan halal bagi para muslim. “Alhamdulillah saya masih bisa merasakan suasana Idul fitri dengan nyaman meskipun jauh dari kampung halaman,” ucapnya.
Adjar juga mengaku turut aktif memeriahkan agenda Ramadan dan Lebaran di universitasnya. Tidak hanya mengikuti kajian, ia juga beberapa kali sempat mengisi kultum dan memasak untuk berbuka.
“Mungkin karena terbiasa terjun aktif dikegiatan Ramadan seperti Baitul Arqam dan Safari Ramadan. Jadinya saya merasa senang ketika bisa memeriahkan agenda yang ada di Asia University Taiwan ini,” ungkapnya lebih lanjuti.
Cerita lain disampaikan Firdaus Faraj Ba-Gharib, mahasiswa akuntansi UMM yang menjalani pertukaran pelajar di SGH Warsaw School of Economics. Ia merupakan salah satu mahasiswa yang diberangkatkan oleh UMM melalui beasiswa Erasmus.
Faraj mengaku cukup kesulitan dalam menjalani puasa di sana karena durasinya yang cukup lama, yakni 17-18 jam. Belum lagi jarak berbuka, salat tarawih, dan sahur yang berdekatan. “Oh iya, saya adalah satu-satunya muslim yang ada di kampus ini. Jadi hampir tidak ada suasana Ramadan dan Lebaran yang saya temui,” jelasnya.
Faraj, panggilan akrabnya, berkunjung ke Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) untuk ikut dalam berbagai kegiatan. Ia juga seringkali menjadi volunter dalam membagikan makanan berbuka gratis kepada teman-teman yang ada di Polandia. Ia dan beberapa temannya di Warsaw juga akhirnya bisa melaksanakan salat id di salah satu flat milik temannya.
Faraj merasa sangat beruntung menjadi bagian dari UMM. Banyak bekal yang UMM beri sehingga memudahkannya menjalani pertukaran mahasiswa di Polandia. “Banyaknya program dan organisasi yang UMM sediakan memberikan saya begitu banyak dampak positif. Salah satunya dalam bersosialisasi. Jadi saya bisa dengan mudah beradaptasi dan bergaul dengan mahasiswa-mahasiswa asli sini maupun dari negara lain. Saya juga bangga bisa menjadi representasi dari UMM dan Islam di kampus ini,” cerita Faraj.
Hal senada juga diungkapkan oleh Muhammad Ilham, mahasiswa Bahasa Inggris UMM yang sama-sama menjalani pertukaran mahasiswa di Braga, Portugal. Menurutnya, beragam kegiatan yang ia ikuti selama menjadi mahasiswa UMM sangatlah berguna ketika dia di Universidade do Minho. Program Pembentukan Kepribadian dan Kepemimpinan (P2KK) UMM misalnya, yang membiasakannya untuk mengatur waktu dan prioritas. Utamanya dalam menjalani ibadah puasa dan salat Idul Fitri.
Ia merasa bahwa banyak jasa yang sudah UMM berikan sehingga mampu mengantarnya merasakan atmosfer belajar di luar negeri. Apalagi UMM mewajibkan mahasiswa-mahasiswanya untuk mengikuti mata kuliah English for Specific Purpose (ESP) yang mana memudahkannya untuk belajar bahasa Inggris. “Alhamdulillah saya bersyukur menjadi bagian dari UMM. Berbagai program dan dukungan selalu disediakan untuk memaksimalkan potensi mahasiswanya,” terang Ilham.
Adapun ia melaksanakan salat id di salah satu kediaman mahasiswa Indonesia bersama dengan warga tanah air lainnya. Adapula segelintir mahasiswa dari Timor Leste yang diundang sebagai bentuk silaturahmi. Kemudian mengunjungi KBRI yang berlokasi di kota Porto, bertemu dan menjalin persaudaraan dengan warga Indonesia lainnya.
Dion Maulana Prasetya, dosen Hubungan Internasional UMM juga punya cerita menarik, Apalagi setahun belakangan, Turki menjalankan protokol kesehatan yang cukup ketat. Kadang juga menerapkan lockdown di beberapa tempat untuk menekan angka penularan.
“Sangat rindu tentunya dengan orang tua di Indonesia. Tak lupa para saudara dan teman yang biasanya menemani menghabiskan waktu saat hari raya Idul Fitri,” jelasnya.
Pria yang sedang menyelesaikan studi doktoral di Ankara Y?ld?r?m Beyaz?t Üniversitesi ini kembali menceritakan bahwa etos kerja yang selama ini ia dapat di UMM memberikan kemudahan. Utamanya ketika tugas dan kegiatan kampusnya menumpuk. Mental yang ia miliki juga membantunya dalam menghadapi berbagai permasalahan, khususnya kebosanan saat harus menjaga diri di tempat ia tinggal. [M Taufik]

Tags: