Tak Usah Kaget dengan ChatGPT

Oleh :
Nurul Yaqin
Guru SMPIT Annur Cikarang Timur Bekasi. Mahasiswa Pascasarjana Universitas Singaperbangsa Karawang.

“Jelaskan kepada saya para mufassir pada abad kedua hijriah!” seorang kawan memposting gambar hasil screen shoot ChatGPT berisi pertanyaan di atas di kanal facebook. Dia merasa puas dengan jawaban ChatGPT yang menjelaskan empat mufassir lengkap dengan pendekatannya. Tak berselang lama, komentar masuk.

“Ngeri, bisa cepat pensiun para penulis, bukunya gak laku.”” tulis salah satu teman lain menanggapi postingan awal tadi.

Obrolan di atas terkesan biasa layaknya postingan lain pada umumnya. Namun, dari percakapan singkat di media sosial tadi setidaknya bisa ditangkap dua respons yang saling berlawanan. Optimisme dan pesimisme. Pemosting merasa semringah karena hasil jawaban dari platform ChatGPT memberikan jawaban cerdas. Ada optimisme akan kemajuan peradaban dan ilmu pengetahuan. Sebaliknya, pemberi komentar merasa pesimis karena dengan kepintarannya platform tadi bisa menenggelamkan profesi penulis. Kira-kira begitu hipotesis saya.

Bagi sebagian kalangan, munculnya platform ChatGPT yang diklaim akan lebih cerdas dari pada google ini merupakan sebuah berkah. Kehadiran platform yang dibesut oleh sang bapak teknologi, Elon Musk ini adalah buah dari kemajuan teknologi dan peradaban. Tujuannya jelas, semakin memudahkan kinerja manusia dengan presisi natural (natural language processing) dapat memberikan jawaban seperti halnya manusia genius. Segala ketidaktahuan akan terjawab cerdas dengan teknologi berbasis AI generatif ini.

Dalam konteks pendidikan, ChatGPT dapat menjadi media akselerasi bagi murid dan pengajar. Sebagai alat (tool) untuk melatih kemampuan bahasa dalam menganalisis atau memahami suatu masalah. Mempermudah siswa dalam mencari referensi pengetahuan untuk memperkuat teori atau materi yang dipelajari di ruang-ruang kelas. Apalagi mahasiswa yang menekuni bidang data analyst atau big data, akan mudah memperoleh pekerjaan mengingat para ahli dalam bidang AI sangat dibutuhkan di masa depan.

Realita satir dari kebermanfaatan kecerdasan buatan ini semakin tampak ketika guru sedikit kelabakan dengan pertanyaan siswanya yang cukup kritis, sang guru tidak perlu menampik “Jawabannya, akan saya bahas di pertemuan selanjutnya”, tetapi tinggal memencet chatbot yang ada di layar gadget. Begitupun dosen dalam memberikan penguatan di akhir diskusi tak perlu membawa buku tebal-tebal ke ruang kelas, tapi cukup bertanya pada ChatGPT dengan duduk santai di pojok ruangan sembari sesekali mendengarkan diskusi. Jawaban cerdas secara instan tersaji, lebih cepat dari pada memasak indomie.

Sebaliknya, bagi kalangan lain kehadiran ChatGPT merupakan sebuah ancaman, sebagaimana komentar yang terlontar di awal paragraf tadi. Memunculkan kekhawatiran-khekhawatiran yang dianggap akan merapuhkan peradaban. Teknologi kecerdasaan buatan ini memang menyajikan kemudahan, tapi di lain sisi akan mematikan daya effort dan kreativitas umat manusia. Cara berpikir manusia tidak lagi dituntut bekerja optimal selagi ada cara yang paling minimal. Terpasung dengan kemajuan teknologi.

Tuah dari adanya ChatGPT akan memberangus berbagai profesi, tidak hanya penulis, akan tetapi editor, dunia percetakan, atau profesi lainnya. Bukan hal mustahil akan lahir buku-buku yang keluar dari rahim platform ini. Dalam artian, akan muncul para penulis bodong dengan hanya bermodalkan ChatGPT untuk menghasilkan karya buku demi karier dan kenaikan jabatan. Jalan pintas selalu dianggap pantas tanpa peduli kualitas dan kredibilitas.

Bukan Hal Baru
Opini yang penulis jabarkan di atas memang terkesan common sense, biasa saja, tak ada yang unik dan menarik. Akhir-akhir ini para pakar telah meluapkan kegelisahannya secara komprehensif tentang malakama ChatPGT dalam bentuk tulisan di berbagai media dengan judul yang beraneka. Jadi, fakta dan narasi kontradiktif seperti di atas sebenarnya bukan hal baru dalam tatanan kehidupan kita saat ini. Tak perlu terkesiap dengan kehadiran ChatGPT yang sempat menggemparkan jagat akademisi. Toh, kita telah mengalami era revolusi digital secara radikal dalam beberapa dekade terakhir, bukan?.

Mari intip sejenak dunia perbukuan di kanan dan kiri kita. Berapa banyak buku yang dihasilkan dari hasil copy paste dari internet atau menjiplak karya orang lain. Bahkan, di ranah pendidikan paling tinggi seperti dunia kampus saja tak sedikit dosen yang menggunakan jasa mahasiswanya untuk menghasilkan buku demi kenaikan karier. Masalahnya, tugas kuliah yang dikerjakan oleh mahasiswa hanya nyomot di mbah google. Dan ini bukan terjadi kemarin sore, akan tetapi telah berlangsung dari sebelum kemunculan ChatGPT.

Jika dibandingkan, sajian ChatGPT hanya menyediakan fitur bahasa, meskipun pengaruhnya tidak dapat diremehkan. Paling tidak dapat mematikan kreativitas dan daya pikir pada ranah akademisi. Namun, berbeda dengan media sosial, fitur yang disajikan lebih kompleks -berupa tulisan (caption), gambar dan video- yang sebelum ini telah memunculkan berbagai kekhawatiran. Fitur yang komplet ini jelas membawa pengaruh lebih besar dari pada sekadar ranah bahasa an sich.

Jadi, jauh sebelum ini pondasi kehidupan kita telah luluh lantak dengan kemunculan media sosial. Seperti yang telah dan sedang terjadi hari ini, pengaruh media sosial seperti halnya whatsapp, facebook, instagram, twitter, dan tik tok sangat mengerikan. Medsos telah memberikan banyak perubahan dalam segala aspek kehidupan tanpa pandang bulu, mulai dari balita hingga yang renta. Intinya, kita sedang dihadapkan pada era digital, suatu masa yang cepat sekali berubah. Penemuan yang hari ini baru akan segera sirna, tergantikan dengan yang lebih baru.

Dalam buku Mendidik Generasi Z dan A (2018) karya J. Sumardianta dan Wahyu Kris AW menyebutkan bahwa masa jeda era digital merupakan masa paling cepat dibandingkan era yang lain. Masa jeda era agrarian berlangsung ratusan tahun, masa jeda industri konstruksi 60 tahun, masa jeda manufaktur 50 tahun, masa jeda industri otomotif 25 tahun, masa jeda birokrasi pemerintahan 35 tahun, sedangkan masa jeda era digital hanya 6 bulan. Masa jeda di sini adalah waktu yang dibutuhkan sejak suatu gagasan baru ditemukan sampai penerapannya.

Jadi, zaman pergeseran (shifting) yang serba cepat ini, perlu disikapi dengan legowo sembari meng-upgrade diri dan beradaptasi dengan perubahan zaman. Kekhawatiran yang berlebihan jangan sampai mereduksi semangat untuk terus belajar, apalagi menyebabkan apatis terhadap perubahan. Karena perubahan adalah sebuah keniscayaan. Kekagetan-kekagetan yang tak wajar hanya akan memicu jantung berdetak lebih kencang. Dan itu membahayakan.

———— *** —————

Rate this article!
Tags: