Tantangan Politik 2024

Sekarang sudah di tapak awal tahun 2024. Hajat politik akan mendominasi suasana nasional selama setahun. Bualn (Januari) ini sampai pertengahan Pebruari akan sangat ramai dengan kampanye Pilpres, dan Pemilu Legislatif. Sampai coblosan 14 Pebruari 2024. Segera pula akan dilanjutkan dengan ancang-ancang Pilkada (Pemilihan Kepala Daerah). Tak kalah seru dibanding hajat Pemilu Legislatif, dan Pilpres. Juga memiliki tahapan kampanye. Pengalaman dua kali Pilkada serentak, terjadi kegaduhan sosial masif.

Keterbelahan sosial sudah terasa sejak awal tahun (2024) ini. Tarik menarik tokoh masyarakat menggiring pilihan pada Pilpres, bisa merusak kerukunan sosial. Walau setiap Pemilu selalu dipesan kebersatuan, perbedaan pilihan politik merupakan hal biasa. Tetapi pada tataran grass-root, dukungan politik merupakan ideologi kehidupan. Begitu pula tokoh-tokoh politik, menjadikan parpol (partai politik) sebagai sumber penghidupan. Maka seluruh Pemilu, Pilpres sampai Pilkada, Bagai “ring” politik yang sangat rawan keretakan sosial.

Maka digagas Pemilu serentak (Pemilu Legislatif dengan Pilprs), agar keretakan sosial bisa di-minimalisir. Begitu pula Pilkada, juga dibuat serentak, bersama seluruh Indonesia. Berdasar pengalaman dua kali Pilkada, telah terjadi keter-belah-an sosial sangat tajam. Terutama Pilkada Jakarta (2017). Bagai “limbah” yang sengaja disebar, meracuni produk demokrasi. “Limbah-nya” terasa sampai saat ini, seolah-olah dilestarikan dengan istilah “alumni.”

Padahal Pemilu Legislatif, Pilpres, dan Pilkada, merupakan amanat konstitusi. Diawali dalam UUD pasal 6A ayat (1). Dinyatakan, bahwa “Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat.” Konstitusi telah mengatur kemungkinan Pilpres selesai dalam satu putaran, pada pasal 6A ayat (3). Serta kemungkinan Pilpres dua putaran, dalam pasal 6A ayat (4). Selain Pilpres, UUD juga mengatur tatacara pemberhentian presiden sebelum masa jabatannya berakhir.

Begitu pula Pilkada, merupakan amanat konstitusi. Tercantum dalam UUD pasal 18 ayat (4), dinyatakan, “Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintahan daerah propinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis.” Tahapan Pilkada akan sangat panjang, Meliputi pendaftaran calon pasangan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Jumlahnya pasti ribuan, karena Pilkada akan diikuti 37 propinsi yang menyelenggarakan Pilgub (Pemilihan Gubernur).

Pilkada serentak paling seru akan meliputi 415 Kabupaten, dan 93 Kota. Hanya terdapat 6 wilayah kabupaten dan kota yang tidak perlu menyelenggarakan Pilkada. Yakni, Kota Jakarta Pusat, Jakarta Utara, Jakarta Timur, Jakarta Selatan, Jakarta Barat, serta Kepulauan Seribu. Jika 508 Kabupaten dan Kota yang menggelar Pilkada, masing-masing diikuti dua paslon, maka sudah terdapat 1.016 Paslon. Setiap kabupaten dan kota, akan dipenuhi gambar Paslon. Mulai dari papan perikalanan, sampai plengseng kali.

Ke-seru-an Pilkada, sudah terasa sejak awal, jauh sebelum diselenggarakan. Misalnya, di kalangan DPR-RI sudah ribu-ribu pengajuan jadwal penyelenggara Pilkada. Namun konon, akan tetap diselenggarakan pada 27 November 2024. Pilkada serentak diatur dalam UU Nomor 6 Tahun 2020 Tentang Perubahan Ketiga terhadap UU Pilkada. Berbagai perbedaan pandangan (dan dukungan) selama Pemilu, Pilpres, dan Pilkada, tak jarang, menyasar keyakinan (keagamaan) dan paradigma moralitas kehidupan.

Perbedaan pandangan, disebabkan pernyataan tokoh masyarakat yang terlibat dukung mendukung pasangan calon (paslon) disebar-luaskan melalui media sosial. Maka seluruh tokoh masyarakat juga memikul tanggungjawab menjaga ke-guyub-kan masyarakat. Misalnya, istighotsah (doa bersama) di kampung-kampung, dipimpin ulama dari berbagai pendukung paslon. Juga bisa menggelar kesenian (budaya) bersama.

Tidak perlu “habis-habisan” mendukung Pasangan Calon dalam Pilpres, dan pilkada. Maka setiap Paslon, Tim Sukses, wajib menjaga keutuhan sosial nasional.

——— 000 ———

Rate this article!
Tantangan Politik 2024,5 / 5 ( 1votes )
Tags: