Tiada yang Bakal Dirindu

Oleh :
Muhammad Aziz Rizaldi

Percikan cahya surya begitu menyayupkan mata. Terlihat begitu cantik dan gagahnya di Barat mentereng seperti pemilik tata surya di muka bumi. Pak Jarwo menggoes sepeda bututnya memboncengkan istrinya yang telah rapuh. Aku melihatnya begitu tersayat, hatiku tersayat api dengki. Sepagi ini Darso-suamiku masih enak-enakan memeluk bantal guling yang sangat lusuh, katanya bantal itu menemani tidurnya semenjak ia mbrojol dari Rahim Ibunya. Jika tak ada bantal guling itu Aku yang dijadikan samsak tinju. Mukaku selalu jadi sasarannya. Ayam Bangkok milik suamiku yang kandangnya setumpuk seperti tumpukan uang yang berarti baginya, namun tidak bagiku terus pentas menyuarakan nada terbaiknya. Biasanya mereka merindukan belaian majikan malasnya itu. Aku sangat jijik ketika melihat taik ayam yang bergunung-gunung. Baunya seperti bangkai manusia yang tidak dikubur seminggu “hoekkk” sebuah istilah yang selalu terlontar ketika aku menyamperi kandang buruk rupa itu.

Aku tengah menyapu di bawah pohon asam pelataran rumah, sungguh kotor sekali. Tak heran jika seperti itu karena semalam hujan sangat lebat sekali akibatnya bau kotoran ayam sialan itu berlarian ke mana-mana. Aku sangat benci hal itu. Tapi suamiku sangat cuek dengan keberadaan bau semprul yang selalu menghantui kami selama musim hujan bergerak. Aku terus menyapu dan menyapa tetangga-tetanggaku yang tengah melakukan kegiatan sama-menyapu dan membersihkan pelataran rumahnya. Mbak Runtah, salah seorang tetanggaku yang memiliki suami sepertiku, malasnya minta ampun. Tapi, kalau dilihat rumah tangganya damai-damai saja. Tidak seperti Darso, lelaki sembrono itu “ahhh, luar biasa biadabnya” kataku dalam hati.

Jarum jam menunjuk ke angka 10, matahari mulai begeser ke arah timur. Jago-jago itu semakin berisik karena kelaparan. Si Pemalas akhirnya ke luar dari pertapaannya meinggalkan bantal guling yang bau jigong.

“Tembe tangi, Mas? Ngapa bae mau mbengi neng umahe Kang Darsim?” Tanyaku dengan ketus karena muak melihat muka si malas itu.

“Iya, genah-genah tembe tangi bisa takon. Tes masang nomer.” Jawab Suamiku balik ketus terhadap istrinya, bau jigong itu menyambar hidungku.

“Hoekkkk” Aku sangat muak akan kemalasan itu. Aku terdiam dan ingin sekali mengamuki mukanya yang masih penuh dengan kerak mata. Sebenarnya aku sudah muak dengan perilakunya. Tapi, aku masih berusaha sabar hingga badanku kuru aking tak terawat. Ya, mau perawatan bagaimana? Untuk makan di besok hari saja kami keteteran. Bahkan terkadang kami hanya makan nasi sisa dan dijemur untuk dijadikan nasi aking. Itupun perutku masih bernyanyi, nyanyian nelangsa.

Setelah Darso selesai memberi makan ke anak kesayangannya dia langsung duduk di krotak depan rumah yang biasa digunakan untuk menerima tamu. Tamunya ya hanya teman-teman si pemalas itu yang hendak mengadukan jagonya.

“Mah, gawekna kopi” Perintah Darso sembari menyalakan rokok. Asap rokok kretek murahan itu membuatku mual.

Tanpa banyak kata diriku langsung melangkah ke pedangan mencari toples yang biasa kami gunakan sebagai tempat menyimpan kopi. Alangkah kagetnya ketika kubuka toples itu ternyata isinya menganga hanya menyisakan sedikit kopi yang sudah hampa tak berasa. Aku mencoba mencari persediaan kopi di lemari. Kubuka dan kugeladahi semuanya ternyata tidak ada sisanya, kemudian kucoba membuka gentong penyimpanan bahan-bahan makan sebulan. Setelah kubuka tutupnya. “Ya Tuhan, kami tidak mempunyai apa-apa untuk dimakan” aku sedikit menggerutu dalam hati,

“Wis entek, Pa. Wis ora due stok nggo madang pirang dina maring ngarep” Jawabku sedikit marah dan dibumbui kesedihan memiliki suami gendeng seperti ini.

“Lah, ko si kepriwe dadi wong wadon. Bisa-bisane stok panganan ora digatekna!” Gentak Darso tanpa rasa melas kepadaku.

Aku hanya diam dan meratapi nasibku yang begitu malang seperti ini. Kalau saja dulu aku lebih memilih Tugiman-Pria pilihanku yang sekarang sudah jadi juragan sembako pasti nasibku berubah tigaratus enampuluh derajat. Semua ini karena perjodohan orang tuaku. Tapi, aku juga tidak bisa menyalahkan orang tuaku. Mereka menjodohkanku di usia 16 tahun dengan Darso yang saat itu hampir berkepala tiga karena terlilit hutang dengan keluarga Darso dan akulah gadis satu-satunya pengharapan mereka untuk melunasi hutang sebesar 100 juta. Jadi beginilah nasibnya. Sebenarnya dua tahun yang lalu Aku dan Darso masih bisa bepergian mengendarai mobil bak terbuka, rumah kami gedung. Jika aku boleh mengatakan, kami termasuk orang kaya di desa Sindurasa. Tapi apa? Sekarang semua berubah drastis karena Darso gunanya membuang hartanya untuk judi. Terakhir rumah kami melayang karena Ia kalah judi dengan Juragan Wasman. Aku menangis tersedu-sedu mengingat semua yang telah terjadi.

Aku tak boleh menyalahkan siapapun. Ini salahku, aku harus bekerja lagi untuk anak kecilku yang tengah sekolah. Jangan sampai anaku merasakan pahitnya kehidupan ini. Cukup aku saja dan si Pemalas itu. Dengan terpaksa aku berjalan dengan penuh perasaan malu ke warung Yu Ning untuk menghutang setengah kg beras, kopi, gula, dan garam. Agar dapurku tetap menyala.

“Yu, aku njiot beras setengah kilo, kopi jawa karo gula pasir 2 plastik bae, terus uyaeh, Yu” Pintaku dengan muka berantakan sehabis menangis.

“Jiot bae, Jah. Gampang dibayar pas ko lagi ana bae” Jawab Yu Ning dengan senyum menyeringai. Seakan dia tahu apa yang tengah aku alami ini.

“Temenan kie, Yu?” Aku bertanya karena tak yakin dengan perlakuan Yu Ning yang terlewat baik kepadaku. Padahal utang-utangku sebelumnya hampir setengah juta. Tapi dia mau dihutangi lagi, Ya Tuhan.

“Temenan, Jah, nek butuh apa-apa gari mrene bae. Bakal tek bantu insya Allah” Jawab perempuan separuh baya dengan krudung putih yang selalu menutupi kepala yang sudah ditutupi uban.

“Ya Gustu, Maturnuwun, Yu Ning” Jawabku diiringi isak haru, diriku tidak percaya di zaman ini masih ada orang yang mau membantu dengan sepenuh hati.

Aku beranjak pulang dari warung Yu Ning yang berjarak 2 rumah dengan gubuku. Saat sampai, aku tertegun melihat ada dua orang yang tengah asyik dengan jagonya masing-masing. Sudah bisa kutebak, mereka teman Darso yang biasa totoan adu ayam. “Ya Tuhan Si Pemalas inii” gerutuku dalam hati. Aku melanjutkan langkah kakiku menuju ke dalam rumah dengan acuh tanpa memedulikan keberadaan mereka.

“Hee bojo gemblung. Ndi kopine!” Bentak Darso dengan kata kasar.

Ya Tuhan, Dasar Pemalas yang hanya bisa mengata-ngatai, mencaci-maki istri yang telah kuru aking seperti ini oleh perbuatannya dasar lelaki bajingan! Mataku kembali menitikan air penghabisan. Aku telah putus asa. Harus bagaimana lagi menghadapi si Pengangguran malas ini. Dia memang kerja, tapi kerjaanya hanya memeras kebahagiaan istrinya yang selalu memberi pelayanan terhadapnya. Aku sudah berusaha bertanggungjawab sebagai istri sesuai syariat agama. Tapi, lelaki bajingan ini hanya nganggur, tidak bekerja sama sekali. Agar bisa menutupi makan tiga kepala, ia hanya mengandalkan tarung jago dan nomer togel. Aku tidak tahu harus melakukan apa saja. Omongan tokoh masyarakat yang pernah kumintai pertolongan untuk menyadarkanya tidak mempan. Bahkan omongan istrinya yang dulu dipuja-puja dianggap sampah yang berserakan dan mengganggu hatinya.

Aku bergegas ke dapur menyeduh kopi hutangan dari Yu Ning untuk dua orang teman lelaki tengik itu. Langsung kusodorkan dengan muka acuh ke mereka bertiga.

“Kerja o, Mas. Melasi Dikin wis meh lulus SD. Wis meh mlebu SMP butuh biaya akeh banget. Apa ora mikir tekan ngonoh, Mas?” Kalimat itu sontak ke luar dari hatiku yang telah muak dengan perilaku Darso.

Tanpa banyak bicara Darso langsung mengambil kopi yang kubuat dengan penuh kasih sayang dan disemprotkannya tepat ke mukaku. Padahal ada dua orang yang hendak mengadukan jagonya. Mereka pura-pura tak melihat peristiwa itu dan pergi secara perlahan dari mataku.

“Bajingan koe. Ngerti apa koe tentang aku. Aku ngode esuk, awan, wengi ya nggo koe karo Dikun!” Dia tersinggung dengan omonganku tadi.

“Ngodemu kue dilarang Agama, Mas, sadar o” Suaraku melirih berusaha menenangkan lelaki keras kepala ini.

“Agama apalah. Ora susah nggawa-nggawa Agama nang uripku. Aku urip-urip dewek be teyeng nggolet duit” Jawabnya angkuh seperti orang yang lupa akan tanggung jawab.

“Plakk” Suara tangan Darso begitu keras menyambar kepalaku tepat di bagian mata. Aku langsung tergelepak. Seluruh pandanganku buram dan sayup. Sayup, damai seperti yang kuinginkan dalam kehidupanku bersama Darso. Tapi, apalah dayaku. Omonganku sudah tak pernah digugu. Aku bagai buih di tengah lautan, kecil dan tidak terlihat di mata hatinya.

Burung pleci hinggap di pohon asam depan rumahku. Mereka bercericau seperti mengobrolkan sesuatu yang tengah panas-panasnya dan enak dijadikan bahan obrolan. Gerombolan bangau terbang memotong langit ke arah utara menuju ke sawah. Mereka hendak mencari makan. Begitu bertanggungjawabnya sang Bangau dengan diri dan keluarganya sendiri. Begitu damai perasaan luarku tapi tidak dengan pedalamanku. Ketika awan tengah memunculkan rona jingga semu gelap aku mengemasi baju-bajuku dan Dikun. Ini sudah sebuah keputusan bulat. Aku akan berpisah dengan si Bajingan yang tak bertanggung jawab dan kerjaanya hanya menyiksa diriku saja. Aku berjalan cepat diikuti Dikun yang menangisi Bapaknya. Dia tahu kami berdua akan becerai. Saat aku hendak ke luar, Darso tengah memandikan ayam-ayam yang dijadikan anak oleh dirinya. Matanya tak melirik sama sekali. Dia tidak peduli dengan kepergianku. Tambah yakin aku harus pergi dari rumah yang dihuni oleh iblis neraka ini! Mataku terus menitikan air permata yang tak ada habisnya. Mungkin badanku kering karena terkikis oleh air mata yang terus dipaksa mengalir setiap hari. Aku takan peduli dia mau hidup bagaimana. Yang penting aku harus pergi jauh dari sini. Aku terus berjalan tanpa tujuan.

24 Januari 2022, Gunungkarang

Tentang Penulis :
Muhammad Aziz Rizaldi. Ia terlahir pada 7 April 2001. Ia tinggal di Desa Gunungkarang, Kecamatan Bobotsari, Kabupaten Purbalingga. Ia tengah menempuh studi sarjana pada Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Muhammadiyah Purwokerto. Ia merupakan pegiat isu dan kritik sosial. Karyanya yang sudah dimuat dalam media massa berupa esai berjudul Kriminalitas Jalan Pintas Keterdesakan dalam rubrik Opini Redaksi Metafor.id (2021), esai berjudul Degradasi Moral di Indonesia diterbitkan Kumparan.com (2022), esai Negara Hukum yang Bobrok diterbitkan Kumparan.com (2022),cerpen berjudul Lelaki Tua yang Tabah yang diterbitkan tiga kali antara lain: rubrik sastra Redaksi Marewai (2022), Redaksi Bhirawa online (2022), dan Redaksi Mbludus (2022).

————– *** —————

Rate this article!
Tiada yang Bakal Dirindu,5 / 5 ( 1votes )
Tags: