Utari

Oleh :
A.Junianto

Sampai menjelang pagi
aku masih mengenangmu sebagai Utari,
sebagai riak yang memanjang
hingga menabrak tepi dermaga lengang

aku pun masih mengingatmu
dalam jarak yang masih terjengkal
toh, ombak tak pergi kemana-mana
dan barque pun masih menopang angin samudra

dari ujung teluk ini, Utari
aku memandangmu tanpa alas kaki
tanpa epitaf yang gagal menuliskan sebuah nama

sebab semua nama
bagimu, Utari
tak lebih dari sekadar deretan luka

Jogja, 2020

Perkenalan

aku mengenalmu dari seutas tali panjang,
yang tergantung di dahan pohon kepal
di sebuah malam pejal.

lalu kulihat tubuhmu berayun,
mengikuti detak arloji di lengan kiri, anggun
sembari menghitung sisa butiran embun.

kutahu, diammu retak dan berkarat,
saat seekor kadarsih hinggap, kau tangkap
dan malam kembali senyap.

aku mengenalmu dari tenang riak sendang,
ketika ikan-ikan berbisik pada pukat berjaring jarang
kemudian saling hanyut di pekatnya lembang

“o, senja, kenapa ia selalu penuh dengan teka dan sederet angka-angka,”
begitu teriakmu, sambil coba kau biarkan manyar
terkapar, menggelepar di dalam sangkar.

Jogja, 2020

Di Titik Nol

Simpangempat itu,
mengepak rapi jejak ribuan ladam
saat kakikaki roda membiru.

Sungguh, waktu tak pernah lupa
menggunting habis lipatan jarak kita
dengan menara-menara tua.

Dan matahari menguncup,
mulai bercerita tentang kecup
dan luka yang selalu sama
saat senja beradu dengan surup

Cuma di matamu,
kumandang azan dan deru klakson,
saling bertemu

Punggung kota,
adalah saksi ketika kita,
bercermin ke cakrawala

Di mana heningmu,
yang menidurkan setiap kereta melaju,
kucari di setiap bulir debu,
saat waktu memilih untuk diam dan tetap merindu

Jogja, 2020

Sumpah Kabut Kota

keikhlasanmu,
ketulusan gedunggedung baru,
kelapangan becek jalanan bisu,
dan trotoar menyungai,
sungai menyeringai
adalah sumpahmu,
sumpah tentang kabut,
tentang doa
bagi lumutlumut
pada bekas benteng tua
tersampar di pusat kota

dari segala sisi,
aku bisa melihat api,
: pinggulmu yang melekuk rapi

Jogja, 2020

Di Lorong Stasiun

terjebak jadwal,
tubuhku pun rebah di hamparan agenda,
di huma kata-kata,
lalu ingatanku terpenggal
: ringkikringkih kereta besi, berkisah
perihal ia yang terlambat,
terhambat, lalu terhambat.

namun tetap saja,
ia akan pergi ke sebuah tempat,
sebelum bangku ini dingin berkarat,
meski nyaris seabad,
ia belum juga lewat

“ada apa,” pikirku sambil mengunyah nama-nama gedung tua
dan asap angkutan kota yang bersauh di ujung senja,
bukan namamu. serupa sajak tanpa baris,
mungkin namamu terlampau liris, terlalu miris,
sebab hidup ini toh juga tetap akan lesap

ah, kereta belum juga hinggap

Jogja, 2020

Perempuan Kayu

ada perempuan lahir dari sepatah kayu,
saat mantra pertama diracau:
kemarau berdesau.

lalu kuperah bisa paling murni,
dari mata yang merenik. api
meletik dari tasbih nama kota. sepi
mulai terlihat mengakar
pada ingatanku, belukar

membakar segala sisa batang
lengkap dengan takikan parang,
sungguh, kelahiranmu
adalah kelahiran kayukayu
yang runduk, lalu tunduk

Jogja, 2020

Mantra 3 Kota

(Surabaya, 20:15)
petang garang,
terkenang jalanan lengang,
saat kami tengah sibuk belajar mengeja
angka, membaca berapa,
luka laba yang ada,
dan sepanjang apa cerita,
tentang kaki yang melangkah,
Entah kemana

(Jogja, 14:15)
pada keruh Code,
ada wajahmu menyore
terlihat senja, usang, lempang,
kerikil saling berkisah,
orang-orang modern saling bertukar
lelah
dan pintupintu kaca mulai saling menyesatkan
para pejalan
sibuk merangkai potongan peta
demi kematian mereka
Entah dimana

(Malang, 18:15)
mendadak senja terhenti
detik melamban
ditelan
bisu debu roda angkutan pedesaan,
sebab di ujung itu jalan,
aku menyaksikan, engkau menyangsikan
tubuhku menderum,
memohon selembar dewandaru melayang ranum,
kemudian mengharum,
seraya berdoa:
akankah puisi ini bisa terbaca
olehnya, meski tak ada senja
Entah siapa

Jogja, 2020

Biodata
A.Junianto, lahir di Surabaya, 4 Juni 1984 dengan nama lengkap Arief Junianto.
Hingga kini karya-karyanya banyak terdapat di beberapa antologi bersama, seperti Monolog Kelahiran (Sasindo Unair, 2003), Senjakala (Lima, 2005), dan Ruang Hitam (Lima, 2006), Mozaik Ingatan (CdR, 2010), Menggapai Asmara (Mafaza, 2014), dan Di Balik Hitam Putih Kata (Poetry Praire Publishing, 2014).

Rate this article!
Utari,5 / 5 ( 1votes )
Tags: