Seragam Gratis Gagal

Beban perekonomian rumahtangga setiap tahun ajaran baru, coba didukung pemerintah daerah. Terutama pembelian seragam sekolah sebagai pakaian wajib setiap murid tingkat SD (Sekolah Dasar) hingga SLTA (Sekolah Lanjutan Tingkat Atas). Sebagian Pemerintah Kabupaten (Pemkab) dan Pemkot, berani men-janji-kan seragam gratis. Begitu pula pemerintah propinsi Jawa Timur, berkomitmen memberi seragam gratis untuk SMA (dan sederajat), serta SMK.
Realitanya, tidak mudah merealisasi program populis. Kendala terbesar, masih pada urusan birokratisi, termasuk proses lelang. Banyak OPD (Organisasi Perangkat Daerah) terlibat program seragam sekolah gratis. Diantaranya, Dinas Pendidikan, dan Biro Administrasi Pembangunan. Tenggat waktu pekerjaan selama 120 hari, tidak dapat dipenuhi, karena penggunaan seragam sekolah harus dimulai pada pertengahan bulan Juli.
Kendala lain kegagalan seragam SMTA gratis, adalah kemampuan keuangan rekanan peserta tender pekerjaan. Hal ini berkait pengadaan barang bernilai lebih Rp 52 milyar, diperlukan ekuitas (kekayaan bersih) sebesar 12% (sekitar Rp 6,25 milyar). Begitu pula proyek pengadaan kain seragam SMK Negeri dan swasta senilai Rp 78 milyar, memerlukan syarat kemampuan sangat besar (sampai 50% nilai proyek).
Ternyata, tidak banyak pengusaha kategori UMK (Usaha Mikro dan Kecil) bisa memenuhi persyaratan ekuitas. Sehingga janji seragam sekolah gratis SMTA tidak dapat direalisasi tahun (2019) ini. Sesuai kewenangan, pemerintah propinsi memiliki tanggungjawab terhadap penyelenggaraan pendidikan tingkat SLTA. Yakni, SMA, MA (Madrasah Aliyah), SMK (Sekolah Menengah Kejuruan).
Jumlah siswa SLTA di Jawa Timur ditaksir sekitar 672 ribu anak, atau sekitar 84% dari 800 ribu anak usia 16-18 tahun. Walau jumlah ini tidak sebanding dengan jumlah murid tingkat SMP (dan Madrasah Tsanawiyah) tahun ajaran 2016/2017, yang sebanyak 4,1 juta anak. Berdasar angka lama sekolah, Jawa Timur masih pada rata-rata angka 8 tahun. Artinya, putus sekolah pada kelas VIII (kelas 2 SMP). Pemerintah propinsi coba “mengejar” anak usia 16-18 agar bisa masuk SLTA.
Telah dibentuk relawan mengejar tingkat kependidikan sampai SLTA, melalui program “tis-tas” (gratis berkualitas). Bukan sekadar upaya menyekolahkan, melainkan menanggung biaya sekolah (SPP) setiap bulan. Sehingga mulai tahun ajaran 2019-2020, seluruh SMA, SMK, dan MA, negeri maupun swasta tidak dipungut biaya. Seragam sekolah juga disubsidi pemerintah propinsi.
Andai seluruh pemerintah daerah (propinsi, serta kabupaten dan kota) mematuhi amanat konstitusi, seluruh kepeluan kependidikan bisa ditunaikan melalui APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah). Termasuk sepatu, kaos kaki, dan transportasi antar-jemput.
UUD pasal 31 ayat (4) menyatakan, “Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional.” Masih banyak daerah “meng-kalkulasi” anggaran pendidikan secara sepihak. Misalnya, kalkulasi “netto” APBD, setelah dikurangi belanja rutin (gaji pegawai).
Kalkulasi sepihak, akan menyebabkan anggaran pendidikan terasa sangat pelit, manakala ditimbang setara 20% PAD (Pendapatan Asli Daerah). Padahal pemerintah pusat telah benar-benar meng-alokasikan anggaran pendidikan sebesar Rp 492,5 trilyun dalam APBN 2019 (20% lebih). Sebesar Rp 308,4 trilyun (62,61%) ditransfer ke daerah sebagai penyokong pendidikan di daerah.
Konstitusi (UU 1945) menempatkan urusan pendidikan sebagai pilar utama pembangunan bangsa. Tercantum dalam pembukaan UUD alenia ke-empat, serta dikukuhkan lagi dalam pasal 28C ayat (1) sebagai hak asasi. Serta UUD pasal 31 diurai dalam 5 ayat. Kependidikan menjadi urusan wajib. Maka wajar anggaran pendidikan menjadi alokasi utama belanja daerah.

——— 000 ———

Rate this article!
Seragam Gratis Gagal,5 / 5 ( 1votes )
Tags: