Urgensi Pembangunan RS Khusus Penyakit Menular

Oleh :
Oryz Setiawan
Alumni Fakultas Kesehatan Masyarakat (Public Health) Unair Surabaya
Penyebaran virus corona (Covid-19) sudah menjadi darurat global dengan lebih dari 76.184 kasus di lebih dari 28 negara dengan jumlah kematian 2.244 orang, terlebih WHO telah menetapkan status Darurat Kesehatan Global atau Public Health Emergency of International Concern (PHIEC) dimana telah timbul kejadian luar biasa yang berisiko mengancam kesehatan masyarakat negara lain melalui penularan penyakit lintas batas negara. Kondisi ini tentu sangat mencemaskan pendudukan dunia termasuk Indonesia. Sebagai negara yang memiliki luas wilayah dan penduduk yang besar dan tersebar di gugusan pulau-pulau sangat rentan terhadap penyebaran virus mematikan tersebut. Berbagai kritik terhadap kebijakan untuk mengkarantina di Natuna yang pilih pemerintah karena dinilai paling visibel, memiliki SDM dan sarana prasarana kesehatan yang memadai, dekat dengan landasan pesawat serta di lingkungan komplek militer. Namun kejadian tersebut menunjukan bahwa belum efektifnya sosialisasi dan penyuluhan kesehatan masyarakat berupa kurangnya pemahaman atas penyakit menular (virus corona).
Sangat wajar kiranya masyarakat Natuna menolak akibat derasnya informasi terkait keganasan virus corona termasuk publikasi jumlah korban yang terus bertambah dalam waktu singkat. Sementara informasi atas bahaya virus corona, bagaimana pencegahan, cara penularan, penanggulangan kasus dan apa saja yang perlu dilakukan masyarakat belum sepenuhnya sampai pada pemahaman masyarakat secara utuh. Di sisi lain, arus informasi di media sosial berbagai hoax ancaman dan dramatisasi virus corona terus bermunculan sehingga dalam konteks ini masyarakat tak dapat disalahkan. Pendek kata, dalam kasus corona ini sosialisasi dan informasi atas bahaya virus corona kalah cepat dibandingan informasi hoax yang bertebaran di media sosial.
Di sisi lain dalam penanganan kasus penyebaran virus corona seakan pemerintah cenderung masih gagap dalam melakukan prosedur informasi dan keselamatan. Pemerintah dituntut memiliki semacam grand design atau cetak biru kebijakan mitigasi bencana kasus penyakit infeksi darurat global skala global. Paling tidak memiliki sistem yang mampu bekerja secara sistem dan menyeluruh dalam mencegah, mendeteksi, merespon dan sistem pelaporan yang cepat (rapid report system), termasuk upaya peningkatan kapasitas surveilans kesehatan yang mampu mengidentifikasi kejadian yang berpotensi menyebabkan kedaruratan kesehatan masyarakat, termasuk situasi di pintu keluar masuk negara
Momentum kasus corona ini telah menggugah pemerintah berencana membangun rumah sakit penyakit khusus penyakit menular di pulau kosong untuk meminimalisir dampak penularan, menekan gejolak masyarakat dan memiliki sistem layanan paripurna dan memiliki sumber daya kesehatan memadai serta berstandar WHO. Di Indonesia saat ini baru ada tiga rumah sakit khusus penyakit infeksi yakni RS Penyakit Infeksi Sulianti Saroso, RSPAD Gatot Soebroto dan RSUD Kariadi Semarang. Pembangunan sebuah rumah sakit khusus sebenarnya berangkat dari kebutuhan dan resiko ancaman penularan global suatu penyakit. Selain itu dalam konstelasi sistem kesehatan, kebutuhan layanan kesehatan termasuk pembangunan rumah sakit juga merupakan bagian dalam rangka upaya mengakselerasi derajat dan peningkatan status kesehatan masyarakat yang tak terpisahkan. Namun demikian bila dilihat dari struktur kesehatan penguatan layanan kesehatan lebih diarahkan pada sisi hilir.
Sedangkan aspek berbasis promotif, preventif dan antisipatif harus menjadi garda depan tetap dikedepankan. Di sisi lain karakteristik penyakit terutama sumber virus terus bermunculan dan bermutasi secara genetik menjadi ancaman serius bukan hanya Indonesia juga dunia internasional dimana sekat, mutasi dan mobilitas kian tak terbatas dan bergerak cepat. Sejumlah penyakit mulai dari SARS (Severe Acute Respiratory Syndrome) sebuah jenis penyakit pneumonia bersifat infeksi serius akibat virus yang menyerang sistem pernapasan yang muncul pada November 2002, kemudian MERS atau Middle East Respiratory Syndrome (sindrom pernapasan Timur Tengah) pertama kali terjadi di Arab Saudi pada 2012 hingga Virus Corona. Kondisi tersebut diperparah dengan faktor iklim dan cuaca yang unpredictable dimana beberapa virus memiliki “suhu kamar” untuk berkembangbiak secara optimal. Melihat tren bahwa penyakit menular yang cenderung sangat cepat meluas maka sangat urgen pemerintah membangun rumah sakit, namun harus mempertimbangkan segala aspek bukan sekedar medistis an sich.
Timbulnya ide pembangunan rumah sakit infeksi menular melalui Menko Polhukam Mahfud MD di sebuah pulau sebagai upaya karantina untuk mencegah potensi penularan di masyarakat luas perlu dikaji lebih lanjut terutama pada aspek psikologis penderita yang seakan-akan dikucilkan. Sebenarnya penanganan virus corona dapat berkaca pada awal penanganan pasien HIV/AIDS dimana pasien seakan dikucilkan namun seiring dengan waktu dan peningkatan pemahaman masyarakat terhadap HIV/AIDS perlahan-lahan “upaya pengasingan” pasien HIV/AIDS kian tereliminasi. Sedangkan upaya promotif, preventif dan konsultatif menjadi ujung tombak penanganan HIV/AIDS tanpa mengesampingkan penanganan berbasis medis. Memang agak berbeda karakteristik penyakit terutama aspek media penularan, HIV/AIDS ditularkan melalui perilaku seks bebas, narkoba dan tertular melalui sejumlah media penularan yang bersumber dari kontak cairan tubuh, suntikan, darah yang terinfeksi HIV . Sementara virus corona ditularkan melalui media kontak udara (air borne diasease) yang mengandung virus corona. Karakteristik virus corona diyakini lebih cepat meluas terhadap kondisi berresiko yakni mobilitas antar manusia, kepadatan (kerumunan) massa, infeksi nosokomial yakni infeksi yang didapat dari lingkungan rumah sakit dan lokasi yang menjadi sumber penularan.
———- *** ———–

Tags: