12 Cerita Pelajaran Hidup Tentang Kemiskinan

Judul : Kita Susah Tidur Sejak Dilahirkan
Penulis : Aksan Taqwin Embe
Penerbit : Rua Aksara
Cetakan : Pertama, Mei 2023
Jumlah Halaman : 142 halaman
ISBN : 978-623-435-085-2
Peresensi : Alfa Anisa
Alumni mahasiswa ilmu komunikasi Universitas Islam Balitar (UNISBA) dan alumni santri di Pondok Pesantren Mabhajatul ‘Ubbad, Sehari-hari berkegiatan di Komunitas Sastra Hangudi

“Baru kali ini merasa bahwa rumah sudah bukan menjadi ruang yang baik bagi mereka. Rumah yang sudah tidak sehat. Sebab, mereka merasa terancam di tanah sendiri. Iya tanah sendiri.!” (Hal 1)

Ketidakberdayaan orang miskin dituliskan sejak cerita pertama yang berjudul ‘Hari Muram’ membuat orang-orang tak punya harus terima dengan nasibnya. Sepasang lansia miskin diceritakan mulai tak menemukan rasa nyaman di rumah sendiri, rumah bukan lagi tempat pulang, tetapi tempat yang terancam.

Membaca buku ‘Kita Susah Tidur Sejak Dilahirkan’ seperti membuka sudut pandang baru dari orang-orang yang jauh dari kata mampu. Sebagian besar menceritakan tentang suara dan rintihan masyarakat yang kehidupannya makin tertindas, terancam, hingga dipaksa mengubur harapan masa depan karena keserakahan dan keegoisan penguasa.

Tak hanya soal kehidupan rakyat miskin yang disorot pada setiap cerita, ada juga suara hati pengarang yang kurang mendapat dukungan dari semua pihak. Para pengarang di negeri ini tak hanya memikirkan soal kata-kata yang disusun agar menjadi cerita yang mendapat ruang di hati pembaca, tapi juga harus berpikir bagaimana harus menjual dan mencetaknya sebagai salah satu sumber penghasilan agar dapur tetap ‘mengepul’.

“Betapa sedihnya di negeri ini. Pengarang tidak banyak diminati. Pengarang kini lebih banyak yang berjuang mengabadikan karyanya sendiri kemudian dicetak dan dijual sendiri. ” (Hal 52)

Buku ini dikemas secara ringan dengan gaya bahasa yang sederhana, meskipun secara keseluruhan tak ada kegembiraan, yang ada hanyalah kesedihan, ketidakberdayaan, hingga ketidakberuntungan menjadi seorang yang miskin. Kritik sosial terhadap pemerintahan dituliskan secara halus dengan alurnya yang rapi, sehingga klimaks dari setiap cerita jadi tak dapat ditebak.

Ada berbagai topik cerita, mulai dari isu lingkungan, nasib menjadi orang miskin, hingga soal virus mematikan yang barangkali terinspirasi dari virus covid-19 pada beberapa tahun lalu. Seperti dalam cerita pasangan lansia yang melakukan perjalanan demi mencari kesembuhan untuk anaknya di kota.

“Rumah sakit riuh orang-orang menanggung duka, merasai luka. Orang-orang keluar masuk menderaskan airmata. Jenazah keluar berkali-kali sampai susah menghitung dengan jemari,” (Hal 113)

Potret kehidupan rumah sakit saat adanya virus mematikan diceritakan secara halus yang membuat pembaca ikut terhanyut dalam setiap kata. Suasana mencekam dan kesedihan menggelitik kenangan pembaca mengingat masa di mana tempat terbaik terhindar dari penyakit adalah di rumah saja.

Keseluruhan cerita dalam buku ini memiliki pesan dan makna yang mendalam bagi pembaca. Melihat sudut pandang lain orang-orang miskin yang ingin didengarkan nasibnya, serta potret perjuangan dan kerja keras agar tetap mendapat keberuntungan dalam menjalani kehidupan di dunia. Selain itu, judul bukunya membuat penasaran, meskipun ketika membaca keseluruhan dari buku ini hal yang membuat tertarik justru soal tokoh sepasang lansia yang kehidupan di masa tuanya harus dijalani dengan tak adanya kebahagiaan.

Buku ini mengingatkan kepada pembaca bahwa masih ada orang-orang miskin yang harus bekerja keras dalam memenuhi kebutuhan, masih ada orang-orang yang berjuang demi mempertahankkan tanah kelahiran karena dipaksa diusir oleh penguasa tanah. Mengingatkan untuk selalu bersyukur apapun yang terjadi, karena ada banyak pasangan lansia yang harus berebut paksa dengan rumah yang dulu jadi tempat ternyaman untuk pulang.

———— *** ————–

Tags: