Perempuan dalam Jerat Lembah Nista

Judul : Re: dan peRempuan
Pengarang : Maman Suherman
Penerbit : Pop (Imprint KPG)
Cetakan : Kesembilan, Maret 2023
Tebal : vi + 330 halaman
ISBN : 978-602-481-561-5
Peresensi : Thomas Utomo, Guru SD Negeri 1 Karangbanjar, Purbalingga

Kehadiran prostitusi, konon, sama rentanya dengan eksistensi manusia di dunia. Prostitusi tidak akan pernah muncul, jika tidak ada permintaan pasar. Maka sesungguhnya, prostitusi bukan masalah seksualitas perempuan, melainkan ‘dunia’ yang sengaja diciptakan laki-laki. Jika tidak ada laki-laki yang meminta seks berbayar, tentu tidak akan ada upaya sadar dan terencana untuk menyudutkan, menundukkan, bahkan menghancurkan perempuan dalam lingkaran setan ini.

Menurut Lydia Cacho dalam buku Bisnis Perbudakan Seksual (halaman 3), setiap tahun, 1,39 juta orang di seluruh dunia, sebagian besar perempuan, diperjualbelikan sebagai bahan baku industri ‘hiburan’, limbah sosial, piala, dan persembahan. Fakta berikutnya, bisnis ini sangat menguntungkan dan tak pernah berdiri sendiri; ia juga berkait-kelindan dengan bisnis wisata dan hiburan malam, penyelundupan narkoba dan perdagangan organ tubuh, pencucian uang, serta terorisme.

Novel Re: dan peRempuan, karya jurnalis Maman Suherman berusaha menyoroti fenomena tersebut, lebih mengerucut lagi ikhwal premanisme dan pemerasan dalam pelacuran lesbian. Adalah Re: perempuan belia korban broken home yang terjerat tipu daya Mami Lani, muncikari yang menyaru bisnis perdagangan barang antik. Oleh Mami Lani, Re: dipaksa menjadi pemuas nafsu perempuan muda hingga paruh baya.

Perjumpaan tanpa sengaja dengan Herman, jurnalis cum mahasiswa jurusan Kriminologi yang tengah mencari objek penelitian skripsi, menyeret keduanya dalam pusaran dendam, darah, dan air mata. Herman kemudian menjadi ‘perpanjangan tangan’ Re: dengan melindungi Melur, anak Re:, dari kubangan prostitusi. Tapi, nasib tragis yang mendadak menyergap Re: membuat keadaan semakin rumit.

Novel ini dijahit dari kisah nyata, hasil penelusuran pengarangnya sendiri di lembah lendir prostitusi. Sebagai peringatan, di sampul muka tersemat tanda ’18+’. Sebab novel ini bukan jenis bacaan yang nyaman disusuri. Di banyak bagian, tersuguh fragmen gelap, pedih, menjijikkan, dan mencekam perasaan. Beberapa potongan dialog yang cukup emosional, misalnya tatkala Re: menitipkan Melur kepada Herman,

“Gue ini pelacur … Jangan sampai di tubuhnya melekat keringat pelacur. Peluk dia untukku.” (halaman 117).

“Doa saya tak putus untuknya, meski saya tidak yakin doa seorang pelacur didengar oleh Tuhan. Tapi setidaknya Tuhan tahu ini doa seorang ibu kepada anaknya.” (halaman 175).

Kendati mengganggu, novel ini layak dibaca untuk meluaskan perspektif sekaligus membuka kesadaran: tidak sepantasnya memandang dosa dari puncak bukit penuh cahaya. Bukan berarti membenarkan, namun coba melihat lebih cermat, memahami sebab musabab, kemudian mencari jalan keluarnya.

Salah satu pertanyaan menohok dalam novel ini adalah gugatan Re:, “Apa gunanya feminisme kalau nasib perempuan masih lebih rentan dibandingkan ranting pohon lapuk sekalipun.” (halaman 176).

*Thomas Utomo adalah guru SD Negeri 1 Karangbanjar. Menulis cerpen, novel, resensi, catatan perjalanan, dan sebagainya. Bermukim di Jalan Letnan Kusni nomor 10 RT 2 RW 6 Bancar Badhog Centre, Purbalingga, Jawa Tengah.

Rate this article!
Tags: