Bahan Pangan Naik

Nilai belanja rumahtangga terasa makin melilit, karena harga bahan pangan naik bersamaan. Terutama harga cabai yang makin pedas, telur ayam, dan kebutuhan pokok non-beras. Kelompok volatile food tetap menjadi pemicu inflasi bulan Mei. Masa peralihan musim (bulan April – Mei) semakin rutin menjadi periode kenaikan harga bahan pangan. Sehingga pemerintah perlu antisipasi sistemik mencegah ke-liar-an harga pada periode ekstremitas iklim. Terutama proses tanam komoditas pangan.

Serasa tidak percaya, harga cabai sebanding dengan harga daging sapi. Sudah melebihi Rp 100 ribu per-kilogram (di Kawasan Jabodetabek). Sedangkan harga di daerah lain bervariasi. Di Semarang, dan Surabaya mencapai Rp 90 ribu per-kilogram. Selain cabai, harga bawang merah juga melejit naik 25%, semula Rp 30 ribu menjadi Rp 40 ribu. Disusul harga telur ayam, naik Rp 6 ribu (25%) menjadi Rp 28 ribu per-kilogram.

Cuaca ekstrem diduga menyebabkan gagal panen cabai, dan berbagai tanaman hortikultura lainnya. Cabe, sangat rentan terhadap guyuran hujan. Kembang dan cabe ranum bisa membusuk. Bahkan akar pohon cabe juga membusuk, diikuti daun layu. Suasana yang sama juga menerpa aneka tanaman sayur. Juga buah sayur (tomat, dan jeruk purut). Dampak makin parah manakala areal pangan terendam banjir bandang. Umbi-umbian membusuk di dalam tanah.

Begitu pula harga ikan akan naik, seiring cuaca gelombang tinggi di laut. Banyak nelayan tidak melaut, menyebabkan ikan langka, harga merambat naik. Tak lama, niscaya akan diikuti kenaikan harga seluruh “bahan dapur.” Mobilitas seluruh moda transportasi terhambat, mempengaruhi prinsip dagang supply and demand. Inflasi melaju terhindarkan. Namun pemerintah wajib mengendalikan harga tidak “melilit” menekan perekonomian rumahtangga.

Komponen pangan bergejolak (volatile food) bukan hanya kelompok hortikultura (cabai, sayur, dan buah). Melainkan juga meliputi sembilan bahan pokok (Sembako), terutama telur ayam, dan susu. Kelangkaan menjadi penyebab kenaikan harga. Sebagian komoditas Sembako yang langka, biasa dipasok dengan impor. Karena keterbatasan ketersediaan dalam negeri yang selalu tekor. Misalnya, susu segar, kedelai, dan bawang putih. Bawang, dan cabai, sering mengguncang perekonomian.

Realitanya, cabai juga masih rutin di-impor. Walau ribuan hektar areal di Jawa Timur, dan Jawa Tengah, cocok untuk menanam cabai. Bahkan volume impor makin melejit pada tahun 2021 dibanding 2020. Selama semester I tahun (2021) lalu, volume impor cabai sebanyak 27,852 juta kilogram. Nilainya mencapai US$ 59,47 juta (setara Rp 869,151 milyar). Berarti harga cabai impor senilai Rp 31.200,- per-kilogram (termasuk ongkos kirim).

Bulan Oktober menjadi puncak impor, seiring musim hujan. Biasanya cabai lokal gagal panen, harga di pasar melejit. Importir sudah untung besar. Walau konon, cabai impor bukan untuk memasok konsumsi harian, melainkan di-prioritas-kan untuk industri. Tetapi ke-langka-an cabai akibat cuaca ekstrem “memaksa” cabai impor masuk pasar secara alamiah. Tak terkecuali cabai kering, dan bubuk.

Dibutuhkan campur tangan pemerintah melindungi perekonomian rumah tangga, sesuai mandat UU (undang-undang). Terutama melaksanakan UU Nomor 18 Tahun 2012 Tentang Pangan. Pada pasal 13, dinyatakan, “Pemerintah berkewajiban mengelola stabilitas pasokan dan harga Pangan Pokok, mengelola cadangan Pangan Pokok Pemerintah, dan distribusi Pangan Pokok untuk mewujudkan kecukupan Pangan Pokok yang aman dan bergizi bagi masyarakat.”

Nyata-nyata terdapat frasa kata “stabilitas pasokan dan harga Pangan Pokok.” Pemerintah patut menjaga kenaikan harga yang “wajar.” Spekulasi kenaikan harga, biasanya hanya dinikmati pedagang besar. Sedangkan petani masih menerima harga tanpa bonus kenaikan.

——— 000 ———

Rate this article!
Bahan Pangan Naik,5 / 5 ( 1votes )
Tags: