Bebek dan Kisah Pilu yang Patut Disesali

Judul : Retakan Kisah
Penulis : Puthut EA
Penerbit : Shira Media
Cetakan : III, 2020
Tebal : xvi + 180 halaman
ISBN : 978-602-5868-93-1
Peresensi : Fathorrozi
Lulusan Magister Manajemen Pendidikan Islam UINKHAS Jember, tinggal di Ledokombo Jember.

Dengan membaca 16 cerita yang termuat dalam buku Retakan Kisah ini, mengingatkan kita bahwa terdapat ruang imajinasi yang masih hidup, tempat di mana kita secara kolektif mampu membayangkan dunia di luar distorsi, di mana pula imajinasi anak-anak berkelana mengaitkan bebek di kali dengan ketakutan, serta mengorelasikan doa tulus di masjid dengan ketidakadilan yang tak berkesudahan.

Maka, sebagaimana Sylvia Tiwon tegaskan, cerpen-cerpen Puthut EA tidak hanya mengingatkan kita kepada bahaya lupa, yaitu bahwa distorsi wacana semakin melestarikan dan melegitimasi distorsi-distorsi turunan atas keadilan.

Pada cerpen pertama yang bertajuk Seekor Bebek yang Mati di Pinggir Kali membawa para pembaca untuk membongkar luka lama, bahkan mengorek-ngorek luka itu sambil memamerkannya.

Di paragraf pertama, luka itu serta merta dibeberkan tanpa tedeng. Berikut kutipannya:

“Saat aku kecil, ada kejadian yang seakan menjadi awal bagi seluruh nasib burukku. Aku melihat seekor bebek mati, tersangkut di rerimbunan semak, di pinggir kali.” (hal. 1).

Lalu, menampakkan dengan ketakutan:
“Aku takut sekali. Orang-orang menuduh aku yang membunuh bebek itu, hanya gara-gara mereka melihatku habis bermain di kali, dengan ketapel mengalung di leher.”

Tetakutan mulai terlukis jelas di dinding benak si anak. Sesampainya di rumah, ia ceritakan tragedi pilu itu kepada bapak dan buliknya, sebab ia berdua yang percaya bahwa bukan anak itu yang membunuh bebek nahas tersebut. Sejak kejadian itu, ia selalu menolak setiap diajak makan bebek goreng di warung yang biasa disinggahi.

Bangkai bebek itu seperti horor baginya. Hingga sekarang, bebek itu tetap sering hadir dalam mimpi-mimpi si anak. Bahkan, selang beberapa hari sejak kejadian bebek mati itu, bapaknya hilang mendadak dari rumahnya.

Kemudian, ia tinggal bersama bulik. Itu pun tidak lama. Suatu malam, buliknya pamit hendak mencari si bapak, namun tak pernah kembali. Kabar yang beredar, buliknya gila. Ada pula kabar yang menyatakan buliknya mati.

Di alam yang dibangun Puthut dalam cerpen ini, bebek tidak benar-benar berbicara seperti kancil, gajah, kera, singa dan burung nuri dalam cerita-cerita fabel. Tetapi, melalui makhluk tak berdosa itu penulis ingin mengingatkan bahwa hukum alam terus mengintai, sekadar mencari kesempatan untuk melancarkan ancaman dan melunasi hutang-hutang nyawanya.

Cerpen ini diakhiri dengan pengakuan si anak kala duduk di bangku SMA dan sudah mulai mandiri dengan mendirikan usaha toko.

Ia katakan, “Aku membunuh bebek itu. Aku mengetapel tepat di kepala bebek itu. Aku melihatnya menggelepar. Aku mendengar suara rintihannya… Bebek itu nasib burukku.” (hal. 12).

Pesan tersirat dari kisah ini, pertama, sebagai makhluk yang dibekali dengan akal dan naluri kasih sayang, sebaiknya kita menjaga alam termasuk binatang dengan tidak membunuhnya dengan cara yang dilarang agama. Kedua, kita harus ingat sekecil apapun perbuatan buruk kita, pasti ada yang mencatat dan ada pula balasannya. Ketiga, jangan terlalu larut dalam lorong gelap dan genangan dosa masa lalu. Terpenting, taubat, betul-betul menjauhi dan berjanji tak akan lagi mengulangi. (*)

———- *** ———–

Tags: