Berkearifan Lokal Menghadapi Era Global

Oleh:
Rio F Rachman
Dosen Institut Agama Islam Syarifuddin Lumajang, aktif di TikTok @riofrachman membahas budaya populer dan kearifan lokal.

Pada Maret 2023, sebuah film Korea Selatan berjudul Kill Bok-Soon tayang di Netflix. Salah satu karakternya, seorang gadis yang sedang magang menjadi pembunuh bayaran bernama Kim Yeong-Ji, diperankan oleh Lee Yeon. Terlepas dari pekerjaannya yang jahat, gesture yang dilakukannya kala bertemu orang yang lebih tua menunjukkan rasa hormat. Dia kerap menyapa atau mengucapkan salam sambil membungkuk. Di banyak variety show, tak terkecuali Running Man yang sempat mengambil setting di Kereta Gantung, Pantai Timang, Gunung Kidul, Yogyakarta, para pemeran atau host juga terlihat kerap membungkuk, bahkan berulang-ulang, saat bintang tamunya adalah aktor atau aktris senior. Showbiz negeri ginseng tampak ingin memperlihatkan kearifan lokal negara semifinalis Piala Dunia 2002 tersebut ke dunia luar.
Para K-Popers maupun pecinta drama Korea di Indonesia harus terinspirasi dari tradisi penghormatan semacam itu. Bukan untuk mengimitasi cara mereka memberi hormat, melainkan meyakinkan diri bahwa orang Indonesia juga punya kearifan lokal yang tak kalah luhur. Budaya bangsa itu semestinya tidak dilupakan atau dianggap kolot saat diterapkan di masa kini. Kalau orang Korea tidak malu menyuguhkan kebiasaan mereka di ruang publik dan tetap bisa eksis di jagat internasional, orang Indonesia pun tetap bisa mempertahankan bahkan mempromosikan kultur beradabnya yang sarat nilai universal.

Tradisi adiluhung
Leluhur di bumi pertiwi ini mengajarkan untuk selalu hormat pada orang yang lebih tua, bergotong royong membersihkan lingkungan secara rutin, mengimplementasikan siskamling dengan kentongannya yang iconic, dan masih banyak hal lagi. Kaitannya dengan wujud persaudaraan, kebersamaan, serta toleransi dan saling bantu menciptakan lingkungan yang kekeluargaan. Oleh sebab itu, pelajaran dari sejumlah sekolah di Jazirah Arab, misalnya, tentang tudingan bahwa sejumlah bentuk selametan di pulau Jawa atau di daerah lain di nusantara adalah melenceng dari ajaran agama, sepantasnya dipikirkan ulang.
Selametan atau berdoa bersama membaca ayat-ayat dalam kitab suci saat seorang warga punya hajatan tidak bisa secara serta merta disebut sebagai ibadah vertikal yang mesti ada doktrinnya. Sehingga karena di masa awal kemunculan agama itu tidak diajarkan, di masa kini pun dianggap sesat. Harus dipahami bahwa aktifitas ini merupakan ibadah horizontal, memupuk kebersamaan, menguatkan persaudaraan, dengan tetap mengingat dasar-dasar ketuhanan. Di semenanjung Arab, kegiatan ini mungkin tak tergolong bentuk kearifan lokal. Namun di Indonesia, momen seperti ini telah menjadi tradisi dalam tatanan sosial.
Diskusi ini bukan upaya membenturkan ajaran agama dengan budaya. Justru membuat batasan tentang mana ibadah tauhid yang dasarnya telah digariskan dalam kitab suci, dan mana ibadah sosial yang fleksibel sesuai dengan kondisi di lapangan. Dengan kata lain, jangan sampai nilai-nilai dari luar negeri secara mentah-mentah ditelan oleh pembelajar asal Indonesia. Kemudian disebarkan dengan berbagai dalih dan dalil di tanah kelahirannya ini. Seolah-olah, kearifan lokal yang mengakar lama di tanah air dinilai tak punya muatan adiluhung sehingga perlu diberangus karena tidak sesuai ajaran agama.

Kebebasan informasi
Tidak hanya soal adat dan tradisi, pandangan yang tidak lumrah dan bertentangan dengan nilai-nilai di bawah naungan bendera merah putih seharusnya tidak perlu dipaksakan masuk ke otak penduduk. Sebagai contoh, adanya upaya melegalkan atau paling tidak melazimkan aktifitas LGBT. Segala argumentasi dilontarkan, padahal jelas-jelas yang jadi kiblat adalah negara-negara Eropa, Amerika, bahkan Asia yang mendaku lebih modern.
Kampanye yang dijalankan oleh mereka memang terbilang revolusioner. Sekadar catatan, dalam film peraih Oscar 2023 berjudul Everything Everywhere All at Once yang mengantarkan Michelle Yeoh dari Malaysia sebagai aktris terbaik, tokoh Joy Wang atau Jobu Tupaki disebut sebagai Lesbi. Lantas, ada upaya untuk memberi pemakluman pada hal itu. Upaya yang sama dilakukan di film peraih Oscar 2018 The Shape of Water melalui tokoh Giles yang gay dan film pemenang Academy Awards di tahun setelahnya Green Book melalui tokoh Don Shirley yang digambarkan penyuka sesama. Secara umum, tiga film tersebut mempromosikan keberagaman dalam kehidupan, termasuk, soal penghormatan sekaligus pembiaran pada perbedaan orientasi seksual.
Di film Korea Selatan yang disebutkan di awal pun, karakter Gil Jae Young mengaku seorang lesbi pada Ibunya. Sang Ibu, Gil Bok-Soon, pada awalnya terguncang. Meski demikian, dia berusaha memahami kondisi anaknya dan bilang kalau tidak perlu rendah diri karena kondisi itu bukan sebuah kesalahan. Ini bukan tentang benar dan salah. Namun, soal muatan dalam produk budaya populer yang bertebaran di media massa. Pertanyaannya, apakah ide LGBT semacam itu kompatibel dengan kearifan lokal maupun nilai moral serta religiositas di Indonesia?
Para generasi penerus mesti selektif dan bisa memilah gagasan. Para pendidik, termasuk orang tua, harus cakap dengan perubahan dan tidak terlena dengan kemajuan teknologi. Pembinaan mesti dijalankan secara simultan. Jangan sampai, para pemuda dibimbing dan diarahkan paham-paham yang berseliweran dalam tweet, caption, status, film, lagu, atau konten di media internet. Di era globalisasi, tiap orang merdeka atau bebas memburu informasi. Masing-masing harus punya prinsip sehingga tidak larut dalam gelombang badai informasi.

————— *** —————–

Tags: