Budaya Baca dan Masa Depan Industri Buku

Oleh :
Drs Abimanyu Poncoatmojo Iswinarno, MM
Pustakawan Ahli Utama di Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Jawa Timur.

“Buku adalah jendela dunia”. Demikian ungkapan yang sudah sering kita baca dan dengarkan. Namun bisa jadi, ungkapan itu mulai diragukan kebenarannya, Mengapa? Karena ternyata untuk melihat dunia kini banyak pintu dan jendela – jendela lain.
Bagi generasi jaman sekarang ini, dunia sudah ada dalam genggaman melalui fasilitas gadget miliknya. Berbagai informasi tentang dunia termasuk buku buku baru dengan mudah bisa diakses melalui gadget ditangannya. Lantas ketika dunia sudah berada di genggaman, apa juga masih perlu melihat dunia lewat buku?
Dalam beberapa tahun belakangan ini, industri perbukuan di Tanah Air menunjukkan kelesuan. Situasi semakin berat bagi industri buku ketika dihantam pandemi Covid-19. Lesunya, dunia perbukuan bisa dibaca dari beberapa indikator, sepertinya kian sepinya keterlibatan penerbit buku di berbagai acara pameran buku. Jika sebelumnya muncul penerbit-penerbit baru saat pameran, sekarang mulai jarang kita temukan. Sebelumnya, ketika akan ada pameran buku, sebuah penerbit bisa memesan lima hingga enam stan. Namun, sekarang bisa memesan stan saja sudah patut disyukuri, artinya masih ada gairah untuk menghidupkan industri buku.
Indikator lain lesunya industri industri buku cetak adalah semakin turunnya jumlah produksi buku. Beberapa penerbit yang memeproduksi sebanyak 3.000 eksemplar per tahun misalnya, dalam satu tahun jumlah tersebut belum tentu habis terjual. Hal itu membuat rata-rata penerbit kini lebih selektif dalam menerbitkan buku untuk menghindari kerugian di pasaran. Apalagi, melemahnya ekonomi di Indonesia membuat masyarakat cenderung menahan pengeluaran, terutama untuk barang-barang yang bisa ditunda konsumsinya seperti buku.

Budaya Baca
Bahwa selain faktor-faktor di atas, masih ada lagi faktor yang bisa menyebabkan lesunya industri perbukuan di Tanah Air yakni, budaya baca di tengah masyarakat juga tidak tumbuh dengan baik. Sementara pada sisi lain, faktor berkembangnya teknologi informasi juga ikut mempengaruhi lesunya industri perbukuan konvensional.
Menurunnya penjualan buku cetak beberapa tahun belakangan tentu disebabkan juga oleh minat baca masyarakat yang rendah. Orang lebih suka menghabiskan waktu berlama-lama memegang ponsel pintar yang menyediakan hiburan berupa beragam permainan dan tontonan daripada membaca buku. Kalaupun membaca, yang tampaknya diprioritaskan adalah berita-berita terkini, dengan tujuan agar tidak ketinggalan informasi.
Keadaan ini jauh berbeda dengan sepuluh tahun hingga dua puluh tahun lalu. Saat-saat itu, buku banyak peminatnya. Orang membaca buku bukan karena semata-mata mencari informasi, mencari rujukan, atau meluaskan wacana berpikir, tapi juga mencari hiburan. Yah, hari ini, buku juga dapat menjadi sumber hiburan. Dan karena seluruh dunia membuka tangan lebar-lebar pada kemajuan teknologi informasi, nasib buku pun makin tergilas.
Begitulah, minat baca masyarakat yang rendah, tersedianya berbagai alternatif hiburan dan kemudahan akses terhadap informasi akibat kecanggihan teknologi informasi, serta mudahnya mendapatkan e-book bajakan yang notabene gratis, membuat buku cetak makin tersisih.
Banyak pihak yang mengatakan, bahwa seiring perkembangan zaman buku digital akan menyingkirkan buku konvensional, mengapa demikian? Hal ini dikarenakan gerakan ramah lingkungan, pesatnya perkembangan dan meningkatnya pengguna internet, serta maraknya penggunaan tablet dan kebutuhan toko buku untuk memasuki pasar on-line.
Di sisi lain, banyak orang berpendapat apapun yang terjadi buku konvensional tidak mungkin disingkirkan. Ini dikarenakan adanya faktor kenyamanan dan kemudahan yang digunakan oleh berbagai kalangan serta banyaknya nilai sejarah yang dikandungnya
Bermunculannya e-book membuat masyarakat tampaknya telah berpindah ke lain hati. Kemungkinannya saat ini sudah banyak para pembaca buku cetak, terutama dari kalangan muda, beralih ke buku-buku digital. Kini, seiring dengan kemajuan teknologi informasi, penerbit konvensional dituntut melakukan perubahan jika tak ingin tergerus oleh zaman.

Membangun Optimisme
Menghadapi berbagai tantangan yang ada, maka perlu dibangun sikap optimis bahwa industri perbukuan di masa depan akan terus berkembang, sama halnya dengan profesi penulis yang akan semakin menjanjikan. Alih-alih mati, penerbit konvensional akan terus hidup dengan syarat harus mengikuti perubahan zaman dengan cara terus berinovasi.
Bahwa penerbit konvensional memang mau tidak mau harus mengikuti arus digital yang ada saat ini. Meskipun keuntungan yang diperoleh saat ini belum sebesar jika menerbitkan buku-buku cetak, tapi ke depan ia yakin buku digital akan terus tumbuh. Memang tidak ada cara lain lagi jika (penerbit konvensional) tidak ingin ketinggalan.
Kasus di Indonesia berbeda dengan di Amerika Serikat yang penjualan buku-buku cetaknya terus menurun seiring dengan tumbuhnya bisnis buku digital. Di Indonesia, buku print dengan buku digital itu sifatnya bukan substitusi, tapi komplementer. Makanya dua-duanya bisa hidup berdampingan.
Kasus buku cetak di Indonesia juga berbeda dengan kasus media cetak, seperti koran dan tabloid yang mulai tergerus karena kemunculan media-media daring. Buku masih berfungsi sebagai aktivitas memanfaatkan waktu luang (leisure activity) yang belum bisa tergantikan dengan membaca e-book lewat perangkat elektronik.
Hasil studi dari American Educational Research tahun 2014 lalu menyimpulkan tingkat pemahaman bacaan anak lebih tinggi dengan membaca buku konvensional daripada membaca e-book. Hal itulah yang membuat kita meyakini industri buku cetak pada masa depan akan tetap bertahan meskipun jumlah konsumennya diprediksi akan semakin sedikit. Dalam proses pengembangan dan peningkatan minat budaya baca, sangat dianjurkan bagi anak-anak membaca buku cetak.
Hemat penulis, keberadaan buku digital tidak akan dapat menggantikan peran buku cetak. Ada nilai-nilai manusiawi yang dimiliki oleh buku cetak yang tidak dimiliki buku-buku digital, misalnya buku cetak dapat dipegang, disentuh, dibolak-balik halamannya sehingga memudahkan untuk dibaca. Sementara itu, buku digital meskipun mengaksesnya mudah, murah, praktis, dalam pemanfaatannya orang mudah lelah karena matanya tersinari oleh cahaya perangkat elektronik.
Kasus di berbagai negara terkait perkembangan buku digital menunjukkan tren yang berbeda. Di Amerika Serikat penjualan e-book memang meningkat terus hingga melampau penjualan buku-buku cetak. Total penjualan buku digital di Amerika Serikat hingga tahun ini mencapai angka 90,3 juta dolar AS (Rp 1,2 triliun)
Akan tetapi di Jerman, berkat gencarnya pameran buku berskala dunia Frankfurt Book Fair yang telah berusia lebih dari 500 tahun, buku-buku cetak masih mendapatkan tempat tersendiri dan belum terkalahkan. Hingga kini, buku konvensional di Jerman menguasai 95 persen pasar buku, sedangkan buku digital hanya menguasai lima persen.
Berdasarkan kasus di Amerika dan Jerman, dapat dikatakan bahwa antara buku cetak dan buku digital memiliki segmen pengguna sendiri-sendiri sehingga keberadaannya bersifat saling mendukung, bukan untuk saling meniadakan.

Langkah Kolaborasi
Saat ini adalah masa yang penting bagi para penerbit, dan stakeholder perbukuan lainnya untuk berkolaborasi. Pandemi Covid-19 sendiri telah mendisrupsi industri buku dalam tiga faktor: hilangnya pendapatan, perubahan pola pengeluaran uang, dan terganggunya pasokan. Isu-isu tersebut juga terjadi di banyak negara. Ratusan juta orang bisa jadi tak lagi mampu membeli buku. Sebab, mereka lebih mengutamakan kebutuhan pokok. Kondisi ini berpengaruh pada makin suburnya pembajakan buku, karena harga buku-buku bajakan yang lebih terjangkau.
Indonesia adalah rumah bagi keragaman terbesar di dunia, dengan seribu tiga ratus etnis dan lebih dari tujuh ratus bahasa daerah. Sebagaimana disrupsi teknologi, hal ini menghadirkan tantangan sekaligus peluang. Tidak mudah bagi Indonesia menjaga keharmonisan dengan begitu banyak perbedaan. Namun, di sinilah terdapat peluang, yakni mengeksplorasi keragaman budaya sebagai sumber kekayaan tak terbatas bagi buku-buku yang diterbitkan.
Kita berada di perahu yang sama dalam mengurangi angka buta huruf. Inilah saatnya menguatkan kerjasama dan koordinasi multilateral untuk bertahan menstabilkan industri buku. Sebab, berjalan bersama lebih efektif dibanding berjalan sendiri. Kolaborasi telah menjadi syarat utama untuk menguatkan pembangunan ekonomi dan inklusivitas dalam industri buku. Kita harus lebih banyak bertemu dan memperluas jaringan.

———– *** ————

Tags: