Pidana Mati terhadap Pelaku Pembunuhan Berencana

Oleh :
Moch. Choirul Rizal
Dosen Hukum Pidana Fakultas Syariah IAIN Kediri.

Di Indonesia, tindak pidana pembunuhan berencana diatur di dalam Pasal 340 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang mulai berlaku sejak tahun 1946. Sementara itu, di dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP 2023), kebijakan kriminalisasinya dapat dilihat pada Pasal 459. Keduanya masih mempertahankan pidana mati sebagai alternatif dari pidana penjara seumur hidup dan pidana penjara 20 tahun.

Padahal, dalam sejarahnya, ketika Wetboek van Strafrecht terbentuk pada tahun 1881 (yang kemudian menjadi Wetboek van Strafrecht voor Nederlandse Indie yang berlaku pada tanggal 1 Januari 1918 di Hindia Belanda) pidana mati telah dihapuskan sejak tanggal 17 September 1870. Alasannya, para terpidana mati hampir selalu mendapatkan pengampunan dari Raja. Hal ini menyimpang dari asas konkordansi (P.A.F. Lamintang, 1984: 49) ketika KUHP diterapkan di Indonesia sebagai negara jajahan Belanda ketika itu.

Menurut Wirjono Prodjojodikoro (2009: 176), pidana mati, yang termasuk sebagai pidana pokok, masih berlaku dalam KUHP 1946 dengan merujuk pada pendapat Menteri Kehakiman Belanda Modderman saat membahas RKUHP Belanda. Pada pokoknya, pendapat tersebut meneguhkan status quo negara yang mempunyai segala hak, termasuk mempertahankan tertib hukum, melalui penjatuhan pidana mati.

Pada perkembangannya kemudian, menurut KUHP 2023, pidana mati tidak lagi termasuk sebagai pidana pokok. Pidana mati termasuk sebagai pidana yang bersifat khusus yang selalu diancamkan secara alternatif sebagai upaya mencegah dilakukannya tindak pidana dan mengayomi masyarakat (lihat, Pasal 64 huruf c KUHP 2023 jo Pasal 67 KUHP 2023 jo Pasal 98 KUHP 2023).

Dalam praktik penjatuhan pidana mati ke depan, hakim menjatuhkan pidana mati dengan masa percobaan selama 10 (sepuluh) tahun dengan memperhatikan: (a) rasa penyesalan terdakwa dan ada harapan untuk memperbaiki diri; atau (b) peran terdakwa dalam tindak pidana yang harus dicantumkan dalam putusan pengadilan. Apabila terpidana selama masa percobaan menunjukkan sikap dan perbuatan yang terpuji, pidana mati dapat diubah menjadi pidana penjara seumur hidup (lihat, Pasal 100 ayat (1) dan ayat (4) KUHP 2023). Apabila yang terjadi sebaliknya, pidana mati dapat dilaksanakan.

Yang menarik, pidana mati dapat diubah menjadi pidana penjara seumur hidup. Selain karena terpidana selama masa percobaan menunjukkan sikap dan perbuatan yang terpuji, juga apabila permohonan grasi terpidana mati ditolak dan pidana mati tidak dilaksanakan selama sepuluh tahun sejak grasi ditolak bukan karena terpidana melarikan diri (lihat, Pasal 101 KUHP 2023).

Sementara itu, menurut International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) yang diratifikasi melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005, khususnya pada Pasal 6 ayat (1) ditegaskan, hak untuk hidup melekat pada diri manusia dan tidak dapat dirampas secara sewenang-wenang. Hanya saja, pada Pasal 6 ayat (2) ICCPR, pidana mati masih dapat dijatuhkan terhadap kejahatan yang paling serius dengan memperhatikan asas legalitas dan oleh pengadilan yang berwenang.

Menurut Komite HAM PBB dalam Komentar Umum Nomor 36 Tahun 2018 tentang Artikel 6 ICCPR, “kejahatan paling serius” harus dibaca secara terbatas dan hanya berlaku untuk kejahatan yang sangat berat yang mengakibatkan kematian secara langsung dan sengaja. Dengan demikian, dapat dimaknai, pelaku pembunuhan berencana dapat dijatuhi pidana mati, asalkan peradilannya dilakukan tidak sewenang-wenang oleh pengadilan yang berwenang dengan memperhatikan asas legalitas.

Beberapa Perdebatan

Bagi yang menolak, pidana mati dalam semua kasus, tanpa kecuali, sebagai pelanggaran hak untuk hidup dan hukuman yang paling kejam, tidak manusiawi, dan merendahkan martabat kemanusiaan (Amnesty International Indonesia, 2021: 4). Dalam beberapa kasus, pidana mati dijatuhkan meskipun prosesnya tidak memenuhi standar internasional persidangan yang adil, misalnya, pengakuan yang mungkin diperoleh melalui penyiksaan atau perlakuan buruk lainnya (Amnesty International Indonesia, 2020: 10 dan ICJR, 2022: 6).

Argumentasi yang lain, akses advokat (pembela) yang terbatas ke para terdakwa menimbulkan kekhawatiran tentang perlindungan hak atas persidangan yang adil, khususnya dalam sidang tuntutan pidana mati (Amnesty International Indonesia, 2021: 20 dan ICJR, 2021: 20). Pasalnya, setiap perampasan nyawa berdasarkan diskriminasi dalam hukum atau fakta secara nyata merupakan tindakan yang sewenang-wenang (Amnesty International Indonesia, 2021: 4). Di Indonesia, ditemukannya fenomena deret tunggu terhadap terpidana mati, yang termasuk ke dalam definisi penyiksaan, sehingga perlu ada komutasi terhadap pidana mati (ICJR, 2020: 30-31).

Bagi yang mendukung, misalnya Jimly Asshiddiqie (1995: 228-229), bagaimana mungkin alasan tidak berperikemanusiaan dapat diberikan bagi kepentingan pembunuh, sementara kejahatan pembunuhannya itu sendiri yang telah menelan korban secara tidak berperikemanusiaan tidak dipertimbangkan sama sekali? Barda Nawawi Arief (2011: 289) berpendapat, dipertahankannya pidana mati didasarkan pada ide “menghindari reaksi masyarakat yang bersifat balas dendam” atau bersifat “extralegal execution”. Oleh karena itu, penerapan oleh hakim berdasarkan undang-undang akan lebih selektif dan rasional.

Dalam sudut pandang KUHP 2023, pidana mati tidak terdapat dalam urutan jenis pidana pokok, tetapi bersifat khusus sebagai upaya terakhir untuk mengayomi masyarakat. Pidana mati harus selalu diancamkan secara alternatif dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling lama 20 tahun dengan adanya masa percobaan yang memberikan kesempatan terpidana memperbaiki diri, sehingga pidana mati tidak perlu dilaksanakan dan dapat diganti (komutasi) dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling lama 20 tahun.

Beberapa Diskusi

Pertama, pidana mati terhadap terpidana tindak pidana pembunuhan berencana hanya dapat dijatuhkan setelah melalui proses peradilan yang adil sesuai standar hukum dan HAM. Jangan sampai peradilan sesat yang menimpa Kemat, Devid, dan Sugik beberapa tahun lalu, di Jombang, terjadi kembali. Tak kuat menahan penyiksaan yang diterima, ketiganya harus pasrah mengakui telah melakukan pembunuhan berencana. Derita berlanjut ketika beragam tekanan lain dialami selama proses di pengadilan, walaupun tidak sampai divonis pidana mati.

Kedua, pidana mati tidak dapat dituntutkan, bahkan dijatuhkan, terhadap terdakwa tindak pidana pembunuhan berencana sebagai reaksinya atas perlakuan tertentu yang diskriminatif yang tidak direspon oleh aparatur negara yang berwenang sesuai standar hukum dan HAM. Menurut Amnesty International Indonesia (2021: 4), setiap perampasan nyawa berdasarkan diskriminasi dalam hukum atau fakta secara nyata merupakan tindakan yang sewenang-wenang.

Ketiga, merujuk pada Pasal 102 KUHP 2023, ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan pidana mati diatur dengan undang-undang. Menurut Pasal 621 KUHP 2023, peraturan pelaksanaan tersebut harus ditetapkan paling lama 2 (dua) tahun terhitung sejak KUHP 2023 diundangkan. Berarti, undang-undang yang dimaksud harus sudah ditetapkan paling lambat tanggal 2 Januari 2025.

Pembentukan undang-undang tersebut wajib menjamin partisipasi yang bermakna. Pertama, terjaminnya hak masyarakat untuk didengarkan pendapatnya. Kedua, terjaminnya hak masyarakat untuk dipertimbangkan pendapatnya. Ketiga, terjaminnya hak masyarakat untuk mendapatkan penjelasan atau jawaban atas pendapat yang diberikan.

———- *** ———–

Tags: