Buk Ita dan Anak Lelakinya yang Gagah

Oleh :
Puji Tyasari

INI kisah Buk Ita, perempuan paro baya yang selalu dibonceng anaknya yang gagah dan berkulit bersih. Lalu diturunkannya Buk Ita di sebuah pasar. Dan ditinggalkannya begitu saja untuk disuruh meminta-minta.

Berbalut kerudung ungu motif bunga-bunga kecil yang menutup uban di kepalanya, Buk Ita terlihat gontai. Dia menyeret langkahnya. Tertatih. Hidung dan mulutnya tertutup masker. Hanya terlihat matanya yang memicing menghalau terik matahari. Tampak letih.

Kepada orang yang ditemuinya, tangan Buk Ita menengadah. Meminta belas kasihan. Berharap uang seribu atau dua ribu rupiah mendarat di tangannya. Atau uang Rp 5000 dan Rp 10.000 kalau ia beruntung hari itu.

“Nyuwun sedekahe Bu, sak welase. Bojo kulo jek tas pejah. Kulo mboten gadah yatra, nyuwun sedekahe Bu,” kata Buk Ita memelas kepada seorang perempuan muda di jalan.

Saban pagi begitulah aktivitas Buk Ita. Menyusuri jalanan. Berharap mendapat uang dari orang-orang yang ditemuinya. Saat matahari sudah tinggi dan terasa menyengat di ubun-ubun, anaknya yang gagah menjemputnya. Kadang Buk Ita pulang sendirian dengan berjalan kaki. Lalu, sehabis magrib dia berangkat lagi. Menuju pasar malam.

Uang yang dihasilkan tampaknya lumayan. Setidaknya, cukuplah untuk memenuhi kebutuhan makan dan minum sehari. Tapi menjadi tidak cukup ketika anaknya yang gagah itu meminta jumlah uang yang lebih besar.

Setelah kematian suaminya, Buk Ita hidup berdua dengan anak lelakinya itu. Anaknya gagah. Kulitnya bersih. Bahkan cenderung berwajah lumayan untuk anak lulusan SMA. Tapi hingga di usianya saat ini, anaknya yang gagah itu hanya bermalas-malasan di rumah. Enggan bekerja.

Buk Ita lah yang bekerja mencari nafkah. Sebelum meminta-minta seperti sekarang, Buk Ita bekerja di warung. Ikut membantu cuci piring dan mengupas bumbu-bumbu.

Tapi dasar anaknya yang hanya ongkang-ongkang kaki dan tidak mau bersusah payah, jadilah Buk Ita yang membanting tulang. Penghasilan dari warung saat itu tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan anaknya yang besar. Tak jarang Buk Ita sering berhutang. Bukan hanya kepada si pemilik warung. Tapi juga kepada banyak orang. Gali lubang tutup lubang.

Suatu ketika menjelang isya, anak si pemilik warung tak sengaja melihat Buk Ita di sebuah pasar. Meminta uang pada setiap orang yang ditemuinya. Anak si pemilik warung pun mengabarkan peristiwa itu kepadanya emaknya. Sang emak yang notabene adalah pemilik warung pun entah kenapa menjadi malu. Lebih tepatnya, tak habis pikir mengapa dia meminta-minta. Jadilah si pemilik warung memberhentikan Buk Ita dari pekerjaannya beberapa hari kemudian.

Kini keseharian Buk Ita hanya meminta-minta. Uang yang dihasilkannya selalu diminta anaknya yang gagah namun pemarah itu. Kalau minta uang detik itu, maka detik itu juga harus ada. Sangat disayangkan kegagahan dan kesempurnaan fisiknya tidak digunakan untuk bekerja.

Pernah suatu ketika Buk Ita berhutang pada Mbok Sum sebesar Rp 100 ribu. Alasannya untuk persyaratan anaknya diterima bekerja. Mana ada diterima kerja dengan setor uang dahulu? Batin Mbok Sum. Kalaupun ada, pasti sudah tidak beres tempatnya bekerja itu. Ah, pasti itu akal-akalan Buk Ita agar mendapat uang.

Lantaran merasa iba, Mbok Sum memberinya sejumlah uang sesuai permintaan. Selang beberapa hari, Buk Ita membayar. Namun, beberapa hari berikutnya dia kembali berhutang dengan jumlah lebih besar. Mbok Sum meminjaminya lagi. Sebab, Mbok Sum yang berjualan sayur di pasar krempyeng itu seolah turut bisa merasakan betapa sulitnya mencari uang. Juga betapa berat rasanya saat tidak punya uang. Kata orang Jawa: uwong gak duwe dhuwit iku lara sewu.

Namun, tampaknya Mbok Sum keliru. Kata orang-orang, Buk Ita janganlah dipinjami uang. Sebab, uang itu digunakan untuk anaknya yang pemalas. Kasihan Buk Ita akan semakin terbeban hutang. Apalagi, banyak warga yang sudah menjadi korban. Benar saja. Buk Ita tidak membayar hutangnya kepada Mbok Sum sampai beberapa bulan ini. Daripada menjadi penyakit hati, uang itu pun diikhlaskan oleh Mbok Sum.

Pernah pula seorang penagih hutang datang berteriak-teriak di depan wajah Buk Ita. Suaranya lantang sambil menuding-nuding. Kali ini Mbak Darmi yang tak sengaja mendengar lalu mengintipnya dari dalam rumah. Para tetangga sepertinya juga mendengar. Tapi diam saja di rumah masing-masing tidak ikut campur.

Suatu siang, anak Buk Ita yang gagah juga pernah didatangi oleh sekelompok orang dengan wajah siap berkelahi. Di tangan mereka sudah tergenggam batang kayu yang siap dipukulkan. Urusan apalagi kalau bukan menagih hutang. Ah, sudahlah.

Saat Buk Ita datang ke rumah Mbak Darmi untuk meminjam uang, Mbak Darmi menyampaikan uneg-uneg kepadanya.

“Buk Ita, anaknya belum bekerja?” tanya Mbak Darmi.

“Sudah banyak melamar kerja. Tapi belum diterima,” jawabnya.

Sebenernya Mbak Darmi merasa iba pada kondisi Buk Ita. Mbak Darmi berpikir itu pasti karena anaknya. Karena itu, Mbak Darmi mengajak Buk Ita untuk selalu mendoakan anaknya agar bisa berubah menjadi lebih baik.

Tapi, anaknya Buk Ita memang terlalu pemarah. Dia tidak mau menerima masukan dan nasihat. Bahkan tidak segan memaki ibunya sendiri. Menghardik. Berteriak, bahkan memukulnya. Juga membanting piring di dapur. Buk Ita lah yang selalu menahan diri. Terus mempertebal rasa sabarnya.

Tak jarang terjadi adu mulut antara Buk Ita dan suaminya saat masih hidup. Suaminya bilang agar tidak menuruti keinginan anaknya. Tapi Buk Ita tidak berdaya menghadapi perangai anaknya. Dia tidak ada pilihan selain menuruti keinginannya. Jadilah dia mau saja dipekerjakan oleh anaknya itu. Naudzubillahimindzalik…

Mbak Darmi menghela napas. Mengelus dada. Berharap hal itu berhenti di situ saja. Supaya tidak ada orang lain lagi yang mengalami hal serupa.

Apa yang dialami Buk Ita dan anaknya itu memang sudah menjadi rahasia umum. Para warga menyesalkan sikap anaknya Buk Ita. Upaya “menyelamatkan” Buk Ita dan anaknya pernah pula digagas warga. Warga berinisiatif melaporkan kepada pihak berwenang agar ada efek jera bagi keduanya. Namun urung. Harapannya bisa ada solusi internal dari keluarga Buk Ita.

Yang disesalkan warga, uang yang dihasilkan hasil Buk Ita digunakan anaknya untuk berfoya-foya. Jajan sepuasnya, beli pulsa, cangkruk di warung kopi, bahkan untuk membeli obat-obat terlarang. Entah sudah berapa kali anaknya yang gagah itu keluar masuk bui. Tapi selalu berhasil keluar alias bisa ditebus.

***

Hari itu, pagi mulai beranjak siang. Di depan sebuah toko bangunan, seorang lelaki muda gagah telah menunggu Buk Ita. Mengenakan kaos hitam dengan celana jeans sebatas lutut. Rambutnya yang agak gondrong ditutup oleh topi merah. Lelaki itu masih duduk di atas motor saat Buk Ita menghampirinya. Setelah menerima uang dari Buk Ita, dia lalu menggeber motornya dengan kencang. Dialah anak lelaki Buk Ita yang gagah dan berwajah bersih itu.

Buk Ita hanya bisa memandang punggung anaknya. Ada gurat kecewa di wajah Buk Ita. Ada juga sedih yang melukis wajahnya. Ada penyesalan sekaligus ketabahan yang berkecamuk di benaknya. Ingatan Buk Ita melayang saat anak lelakinya itu masih ingusan. Memorinya juga merekam saat anaknya beranjak remaja. Anak itu kalau bermain memang suka lupa waktu. Ngeluyur lari-larian sama anak-anak lain di kampung. Siang hari, sore hari, bahkan malam hari.

Jika sudah begitu, Buk Ita seringkali menghardiknya. Saat bocah itu pulang setelah puas bermain, tak jarang pukulan mendarat di pantat, punggung, atau paha. Buk Ita juga tak segan menjundul kepala bocah itu sembari mengumpat-umpat.

Kata-kata yang keluar dari bibir Buk Ita terdengar kasar dan tak patut. Apalagi ditujukan pada bocah yang butuh kasih sayang. Kurang sanjungan, minim pujian. Mendapat perlakuan yang seperti itu, tak heran bocah itu memendam amarah. Kadang kemarahannya terlontar begitu saja dengan cara membantah atau membalas omongan ibunya. Begitulah bocah itu tumbuh. Di lingkungan yang keras, di tengah keterbatasan ekonomi, di sudut perkampungan padat penduduk di Kota Metropolitan.

Kini keadaan berbalik. Buk Ita tampaknya harus menanggung semua perbuatan yang pernah dilakukannya. Di usianya yang kian menua, Buk Ita lebih banyak hidup di jalan. Entah sampai kapan. Buk Ita menghela napas. Mengelus dada. Air mata menggenang di pelupuk matanya.

***

Siang itu matahari lebih garang dari biasanya. Aktivitas Buk Ita masih sama. Menyusuri jalanan mencari belas kasihan. Dari kejauhan, Cak Pardi, tetangga Buk Ita, yang saat itu berada di warung kopi pinggir jalan tak sengaja melihat Buk Ita hendak menyeberang. Tapi, naas. Buk Ita tertabrak motor. Kejadiannya begitu cepat. Pelaku kabur.

Cak Pardi kaget dan segera menuju lokasi kejadian. Buk Ita dikerubuti orang-orang. Cak Pardi segera menghubungi call center pertolongan kedaruratan. Lalu menelepon Cak Surip yang merupakan tetua di kampung. Kebetulan, Cak Surip dan Cak Miskan saat itu sedang berbincang di pos kamling. Mereka bergegas menuju lokasi kejadian.

Cak Surip, Cak Miskan, dan Cak Pardi tahu. Meski Buk Ita suka berhutang dan meminta-minta, tapi mereka yakin itu bukan atas kehendak Buk Ita. Buk Ita berlaku seperti itu karena terdesak. Kepepet oleh situasi. Karena itu, mereka tidak segan menolong dan segera melihat kondisi Buk Ita.

Ternyata kondisi Buk Ita mengkhawatirkan. Ada darah keluar dari hidung dan lengan tangannya. Buk Ita tak sadarkan diri. Beruntung, pertolongan segera datang. Buk Ita dilarikan ke rumah sakit untuk mendapat perawatan.

Sebagian petugas kepolisian segera melakukan olah tempat kejadian perkara. Petugas lainnya mengejar pelaku tabrak lari sesuai informasi dari warga. Tak berselang lama, petugas tersebut berhasil mengamankan pelaku. Saat itu, pelaku sedang diamuk oleh massa. Bogem mentah mendarat di wajahnya. Pelipisnya terluka.

Saat itu, kejar-kejaran menggunakan motor antara pelaku dan pengguna jalan memang tak terhindarkan. Warga tidak ingin pelaku kabur begitu saja. Tentu agar pelaku bisa mempertanggungjawabkan perbuatannya. Pelaku yang dikejar merasa panik. Dia menggeber motornya kencang. Sesekali dia menengok ke belakang untuk melihat kondisi para pengejarnya. Tapi tanpa dia sadari, motornya yang melaju terlalu kencang itu melenceng ke kanan. Dia juga tidak menyadari ada kendaraan lain di depannya. Bermaksud menghindari tabrakan, dia membanting setir terlalu kencang sehingga menabrak median jalan. Tubuhnya terpental.

Orang-orang pun mengerubuti dan menangkap pelaku. Lelaki yang setengah sadar itu terlihat berlumuran darah. Dia berusaha bangkit namun oleng. Hampir saja dia memberontak dan bermaksud kabur kalau tidak diamankan oleh petugas kepolisian. Ternyata polisi mencium gelagat lelaki gagah itu berada dalam pengaruh narkotika dan minuman keras.

Di kantor polisi, ada Cak Pardi dan Cak Surip yang dimintai keterangan. Sedangkan Cak Miskan mengawal Buk Ita di rumah sakit. Betapa terkejutnya Cak Pardi dan Cak Surip saat melihat lelaki yang digelandang oleh polisi. Mereka tak menyangka bahwa lelaki itu adalah anak Buk Ita yang tadi diamuk massa. Wajahnya lebam. Kakinya terpincang saat menuju ruang tahanan.

Cak Pardi dan Cak Surip masih sulit percaya. Mereka tidak habis pikir anaknya Buk Ita yang menabrak ibunya sendiri. Sesaat mereka seperti kehabisan kata-kata. Pikiran mereka seperti berada di dua sisi uang koin. Terlalu sedih, tapi juga senang. Sedih karena warganya terjerat kasus tabrak lari. Makin sedih mengetahui kenyataan bahwa korban tidak lain adalah ibunya sendiri. Namun di sisi lain, mereka merasa mendapat angin segar karena anak itu seolah telah mendapat pelajaran akibat perbuatannya.

Dari hasil olah TKP, terungkap bahwa pelaku membiarkan korban yang tergeletak di jalan dan berlumuran darah begitu saja. Saat itu, korban hendak menyeberang dan tertabrak oleh motor yang dikendarai pelaku. Pelaku panik. Setengah sadar dia seperti menabrak sesuatu. Tapi bukannya berhenti untuk melihat apa yang terjadi, dia justru melesatkan motornya makin kencang. Hingga dia menabrak median jalan dan berujung bogem mentah pada dirinya.

Sedangkan Buk Ita kini terbaring di rumah sakit. Dia dirawat oleh anak perempuannya, hasil dari pernikahannya yang pertama. Adapun anak lelakinya yang gagah dan berwajah bersih itu kini mendekam di hotel prodeo. Selain sebagai pelaku tabrak lari, polisi juga menangkapnya sebagai pengguna dan pengedar obat-obat terlarang. (*)

Tentang Penulis :
Puji Tyasari
Alumni Sosiologi Universitas Airlangga.

——- *** ——-

Rate this article!
Tags: