Dilema Tata Kelola Pertembakauan di Jatim

Oleh : Umar Sholahudin
Dosen Sosiologi FISIP Universitas Wijaya Kusuma Surabaya

Saat ini DPRD bersama Gubernur Provinsi Jawa Timur sedang membahas Rancangan Peraturan Daerah tentang Pengembangan dan Pelindungan Pertembakauan di Jawa Timur. pengajuan ini didasarkan pada dua aspek yakni aspek yuridis dan sosiologis. Secara yuridis, Raperda tentang Pengembangan Dan Pelindungan Pertembakauan ini lebih didasarkan pada Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2019 tentang Sistem Budi Daya Pertanian, dan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2013 tentang Pelindungan dan Pemberdayaan Petani, termasuk di dalamnya petani tembakau. Pengembangan dan perlindungan masalah pertembkauan di Jawa Timur, tidak hanya pada masalah pertembakauannya saja, tetapi para pelaku usaha tembakau dan para petani.
Sementara secara sosiologis dan objektif, saat ini Jatim menjadi centra dan lumbung tembakau nasional, yang areal tanamnya tersebar di 27 wilayah Kabupaten di Jawa Timur. Daerah dengan lahan Tembakau terluas ada di Jember, Sumenep, Pamekasan, Blitar, Kediri, Situbondo, Bondowoso, Probolinggo, Pasuruan, Banyuwangi, Madiun, Gresik dan Bojonegoro. Dalam kurun waktu 11 tahun terakhir (2011-2021) rata-rata luas lahan tembakau di Jawa Timur seluas 112.245 Ha.
Data Kementerian Pertanian mencatat, produksi tembakau di Jatim mencapai 85 ribu ton pada 2020. Jumlah itu merupakan yang terbesar secara nasional sepanjang tahun lalu. Sedangkan data dari Dinas Perindustrian dan Perdagangan Jawa Timur, industri pengolahan tembakau di provinsi tersebut menghasilkan cukai sebesar Rp 104,56 triliun. Nilai itu setara dengan 63,42% dari total penerimaan cukai hasil tembakau nasional yang mencapai Rp164,87 triliun. Sehingga potensi ekonomi pertembakauan Jatim sangat besar.
Besarnya potensi ekonomi bagi perekonomian Jatim dan, terutama bagi peningkatan kesejahetraan masyarakat dan para pelaku usaha pertembakauan, perlu dilakukan pengaturan dan pengendalian yang lebih baik, mulai dari hulu sampai hilir, dalam bentuk regulasi daerah atau Perda. Dalam nota penjelasan Sdr. Gubernur, Pengaturan ini dilakukan untuk melakukan pembinaan dan pengawasan, dan merupakan kebutuhan bagi petani tembakau, petani cengkeh, Industri Hasil Tembakau (IHT), serta pelaku ekonomi lainnya untuk mendapatkan pelindungan dalam pengusahaan pertembakauan di Jawa Timur. Regulasi daerah ini diharapkan dapat memberikan jaminan pelindungan dan keberlangsungan usaha baik disektor on farm maupun off farm terkait pertembakauan di Jawa Timur ini dalam bentuk Peraturan Daerah.

Dilema Tata Kelola Pertembakauan
Penulis dapat memahami pengajuan Raperda tentang Pengembangan Dan Pelindungan Pertembakauan, karena memiliki nilai dan daya potensi ekonomi yang sangat besar bagi Jawa Timur. Namun demikian, pengaturan masalah pertembakauan ini juga harus memperhatikan dan mempertimbangkan secara seimbang dan proporsional masalah produktivitas rokok yang dikonsumsi masyarakat. Kita ketahui bahwa produktivitas tembakau berbanding lurus dengan tingkat konsumsi rokok di tengah masyarakat. Tingkat kosumsi rokok yang tinggi berbanding lurus dengan tingkat kesehatan masyarakat. Semakin tinggi tingkat konsumsi rokok masyarakat, semakin turun/rendah tingkat kesehatan masyarakat. Kondisi ini yang seringkali menjadi dilema kebijakan di sektor pertembakauan. Di satu sisi potensi dan income dari industri tembakau, khususnya rokok (baca: cukai), sangat besar, tetapi di sisi lain, ongkos yang harus dibayar untuk recovery (pemulihan) kesehatan masyarakat akibat terpapar rokok juga sangat besar. Bahkan ada problem yang cukup serius antara konsumsi rokok dengan kemiskinan.
Sebagai catatan, misalnya hasil seminar Asia Pasific Conference on Tobacco of Health (APACT) di Sydney, Australia pada 2010, menyebutkan bahwa konsumsi tembakau, terutama rokok, memperburuk kemiskinan. Kondisi ini tentu harus menjadi kekhawatiran, terutama negara-negara berkembang termasuk Indonesia, sebagai negara pengkonsumsi rokok ketiga terbesar di dunia setelah China dan India. Indikasi besarnya konsumsi rokok pada kelompok masyarakat miskin juga ditegaskan oleh hasil penelitian Rijo M. John, dari American Cancer Society AS, yang mengatakan, di India konsumsi tembako meningkatkan angka kemiskinan 1,6%di desa dan 0,8% di daerah perkotaan serta menambah sekitar 15 juta orang miskin di India.
Penelitian lain yang terkait, dari lembaga Demografi UI, menurut Abdilah Hasan; uang untuk rokok sembilan kali pengeluaran pendidikan dan 15 kali pengeluaran kesehatan. Data dan fakta ini semakin menguatkan, masyarakat miskin sebagai kelompok terbesar dalam konsumsi rokok. Dan konsumsi rokok di kalangan masyarakat miskin semakin memperburuk kemiskinan mereka.. Apalagi saat ini tingkat konsumsi rokok sudah mengendemik pada usia remaja dan anak-anak. Kondisi juga yang dikeluhkan BPS ; Konsumsi rokok yang tinggi di kalangan keluarga masyarakat Miskin, sulit untuk menurunkan angka kemiskinan di Indonesia. Data dan fakta ini, setidaknya dapat dijadikan bahan pertimbangan dalam penyusunan Raperda dimaskud. Jangan sampai, ketika kita akan menyelesaikan masalah, justru menimbulkan masalah baru.
Berdasarkan catatan Badan Pusat Statisik (BPS) 2020, saat ini jumlah penduduk miskin di Indonesia sebanyak 26,42 juta jiwa atau 9,78% (meningkat dibanding Maret 2019 : 24,79 juta jiwa) dari jumlah penduduk Indonesia, dengan menggunakan garis kemiskinan Rp 452.652/kapita. Jumlah ini diprediksi menigkat akibat pandemi Covid-19. Masih cukup banyak masyarakat yang hidup di bawah garis kemiskinan masih menghabiskan uangnya untuk membeli rokok setelah beras. Data BPS Maret 2020, menyebutkan dengan perkapita Rp 486.168,-/bulan/Gakin, komposisi garis kemiskinan didominasi 73,86% dari kelompok makan seperti besar sampao rokok kretek
Sementara itu, berdasarkan hasil survei Deputi Perlindungan Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan menyebutkan, 13,62 persen perokok di Indonesia mulai merokok sejak usia tujuh tahun. Adapun survei yang dilakukan Departemen Kesehatan, saat ini ada sekitar 141,44 juta jiwa perokok aktif. Dari jumlah itu, terdapat sekitar 1,92 juta anak usia 7-18 tahun yang menjadi perokok. Kategori yang digunakan Kementerian PP adalah anak atau remaja berusia kurang dari 18 tahun. Menurut Ketua Umum Forum Komunikasi Pembinaan dan Pengembangan Anak Indonesia (FKPPAI), dr Rachmat Sentika Sp.A menyatakan mereka rata-rata merokok delapan batang per hari. Ini sebuah angka yang cukup membahayakan.

Pertimbagan Komprehensif
Spirit dan kebutuhan hukum dalam bentuk Perda untuk menghadirkan dan menyelesaikan permasalahan pertembakauan di Jawa Timur haruslah dicermati dan difikirkan secara lebih mendalam dan prudent. Karena ada dampak atau akibat yang akan ditimbulkan dari lahirnya sebuah kebijakan. Dampak ekonomi dan Income yang akan kita terima dari usaha pertembakauan memang sangat besar, tetapi pada saat yang sama biaya pemulihan (cost recovery) untuk masyarakat yang terpapar rokok juga sangat besar, bahkan mungkin lebih besar dari income.
Karena itu, kebijakan pengembangan dan perlindungan pertembakauan di Jatim ini, sekali lagi jangan sampai menimbulkan masalah baru atau memperkeruh masalah yang sudah ada. Penulis berharap Raperda dimaksud justru didorong untuk meminimalisir dampak buruk dari masalah pertembakauan bagi masyarakat. Diperlukan kesadaran dan pemahaman yang komprehensif -baik secara yuridis mauun sosiologis- dengan mempertimbangkan dari berbagai segi atas lahirnya sebuah kebijakan atau regulasi terkait dengan pertembakauan di Jawa Timur.

———- *** ———–

Tags: