Dorong Terbentuknya Pendidikan Inklusif

Saat ini layanan sekolah inklusif masih menghadapi tantangan dalam lingkungan sekolah. Fakta terbuktikan dari masih adanya penolakan dari sebagian orang tua/masyarakat, pelecehan terhadap penyandang disabilitas, dan terbatasnya Guru Pembimbing Khusus (GPK) yang berkompeten, kemampuan dalam adaptasi kurikulum dan pembelajaran yang masih rendah serta tersedianya media pembelajaran yang aksesibel belum maksimal.

Selain itu masih minimnya sistem dukungan, ketersediaan dan akurasi data Anak Berkebutuhan Khusus (ABK), Pusat Layanan Identifikasi dan Asesmen dan Kebijakan yang Afirmatif yang belum menjangkau seluruh daerah. Kendala-kendala tersebut mesti bisa diminimalisir seiring dengan adanya Peraturan Menteri Pendidikan, Riset, dan Teknologi (Permendikbudristek) Nomor 48 Tahun 2023 Tentang Akomodasi yang Layak untuk Peserta Didik Penyandang Disabilitas pada Satuan Pendidikan Anak Usia Dini, Pendidikan Dasar, dan Pendidikan Menengah yang selebihnya untuk melaksanakan ketentuan pasal 6, 17, 25, 31, dan pasal 41 ayat (2) dari PP Nomor 13 Tahun 2020 tentang Akomodasi yang Layak untuk Peserta Didik Penyandang Disabilitas. Diikuti kebebasan fundamental penyandang disabilitas berdasarkan kesetaraan yang selaras Permendiknas Nomor 70 Tahun 2009.

Namun sayang jika terperhatikan regulasi tersebut belum berjalan maksimal. Menurut data statistik Kemendikburistek, angka kisaran disabilitas anak usia 5-19 tahun adalah 3,3%. Jumlah penduduk pada usia tersebut (2021) adalah 66,6 juta jiwa dan jumlah anak usia 5-19 tahun penyandang disabilitas berkisar 2.197.833 jiwa. Sedangkan Peserta didik pada jalur Sekolah Luar Biasa (SLB) dan inklusif adalah 269.398 anak. Dengan demikian presentase anak penyandang disabilitas yang menempuh pendidikan formal baru sebesar 12.26%,(Kompas,11/11/2023)

Itu artinya layanan sekolah inklusif masih sangat sedikit dari yang seharusnya dilayani. Karena itu, komitmen pemerintah baik pusat ataupun daerah untuk pembudayaan pendidikan inklusif pada seluruh lapisan masyarakat baik lingkup pengambil kebijakan, lingkup sekolah, masyarakat dan keluarga, pemenuhan tersedianya GPK di SLB. Termasuk terpenuhinya media pembelajaran yang aksesibel, penguatan identifikasi dan asesmen ABK, penyediaan Unit Layanan Disabilitas (ULD) di Propinsi dan Kabupaten/Kota perlu ditingkatkan, serta termasuk dukungan penerbitan regulasi untuk penyelenggaraan pendidikan inklusif pada pemerintah daerah.

Masyhud
Dosen FKIP Universitas Muhammadiyah Malang.

Tags: