“Drama” Proses Pilpres

Proses pemilihan presiden (Pilpres) terlalu banyak “drama.” Terlalu banyak “sinetron.” Presiden Joko Widodo, memberi tamsil hiruk pikuk dalam tahapan Pilpres 2024, bagai sandiwara serial televisi. Biasa meng-aduk-aduk (bawa) perasaan. Padahal kompetisi dan demokrasi merupakan hal wajar. Seharusnya kompetisi berisi adu gagasan, dan ide-ide. Namun realitanya, proses Pemilu (dan Pilpres) 2024 dikritisi berbagai pihak, sebagai “tidak baik-baik saja.”

Bahkan belasan tokoh masyarakat, budayawan, dan agamawan lintas agama, berkumpul di pondok pesantren Roudlatut Thalibin, Rembang. Lokasi yang tenag, jauh di pedesaan Jawa Tengah. Konon berbincang “dengan keprihatinan” perihal Pemilu 2024. Seluruh tokoh merupakan pendukung Presiden Jokowi pada Pilpres tahun 2014, dan tahun 2019. Namun saat ini “prihatin.” Karena telah nampak gejala meninggalkan budaya (berpolitik) yang baik.

Budayawan, sekaligus wartawan senior, Gunawan Mohammad, merasa telah terjadi krisis kepercayaan. Karena sangat banyak kebohongan. Serta berbagai aspek moral yang merosot. Kesetiaan bisa dibeli, suara bisa dibeli. Hingga kedudukan bisa dibeli. Krisis, dimulai dari keputusan Mahkamah Konstitusi (MK), berkait gugatan UU Pemilu Nomor 7 Tahun 2017. Tertuju khusus pasal 169 huruf q, yang mengatur syarat usia calon presiden dan calon wakil presiden.

Putusan MK perkara nomor 90/PUU/XXI/2023, menjadi pembicaraan publik sangat luas. Berdasarkan amar putusan, redaksi ketentuan pasal 169 huruf q UU Pemilu berubah menjadi, “berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah.” Kriteria putusan MK, sangat persis dengan kondisi Walikota surakarta, Gibran Rakabuming Raka. Seolah memberi “karpet merah” kepada anak Presiden Joko Widodo.

Tidak lama, muncul deras tuduhan pelanggaran etik hakim konstitusi. Terutama dari berbagai pihak jajaran Hukum Tata Negara. Termasuk perorangan (guru besar hukum, dan praktisi advokat), dan beberapa organisasi masyarakat. Juga laporan dari, PBHI, Tim Advokasi Peduli Hukum Indonesia, LBH Barisan Relawan Jalan Perubahan. Serta jajaran guru besar dan pengajar hukum yang tergabung dalam Constitutional Administrative Law Society (CALS).

Maka digelar siding Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK). Hasilnya, seluruh (Sembilan orang) hakim MK dinyatakan melanggar etik saat memutuskan perkara nomor 90/PUU/XXI/2023. Seluruh hakim Mahkamah Konstitusi (MK), dinyatakan telah melanggar etika yang tercantum dalam “Sapta Karsa Hutama.” Bahkan Ketua MK dinyatakan telah melakukan pelanggaran berat. Sehingga dicopot dari jabatan sebagai Ketua MK.

Namun putusan MK yang mengubah syarat usia Capres dan Cawapres, tetap berlaku, mengikat, dan bersifat final. Walau bisa jadi, akan digelar kembali perkara dengan materi gugatan terhadap bunyi pasal yang telah berubah. Sidang telah mulai digelar, untuk permohonan yang diajukan mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia, Brahma Aryana.

Brahma Aryana dalam permohonannya berharap bahwa hanya kepala daerah selevel gubernur saja yang dapat maju sebagai calon presiden (capres) atau calon wakil presiden (cawapres) di bawah usia 40 tahun. Sedangkan kepala daerah di bawah level gubernur (Bupati dan Walikota) tidak bisa. Konon, andai gugatan dikabulkan, maka putusannya akan berlaku pada Pilpres tahun 2029. Juga akan menimbulkan pro dan kontra.

Kumpulan tokoh nasional yang “menggugat” proses Pemilu 2024 (terutama Pilpres) menuntut seluruh politisi kembali pada budaya nilai luhur. Tuan rumah, KH Musthofa Bisri (Gus Mus), meminta seluruh penyelenggara negara kembali pada tata-nilai luhur. Kembali pada nilai kepatuhan, etika dan moralitas publik. Walau diakui krisis nilai sedang dialami banyak pejabat, dan masyarakat luas.

——— 000 ———

Rate this article!
Tags: