Dua Resolusi

Oleh :
Ratna Ning

Dia menatapku sekilat. Lantas berlari kalang kabut. Ia oleng oleh berat tubuhnya sendiri. Menyelusup ke bawah pintu. Perempuan itu terlongong. Masih kaget dengan kehadiran si Songong yang selalu menyelinap setiap malam. Mengobrak-abrik kantung sampah dapur.
Biasanya, pemandangan semrawut itu baru diketahui jika bangun pagi. Tapi tengah malam ini, saat Ia terbangun oleh desakan di bawah rahimnya, si Songong tertangkap basah lalu lari pontang-panting.
Diperiksanya lemari makanan, tak ada bekas Si songong mengacak-acak simpanan makanan. Semua rapi di tempat masing-masing. Mie instand, telur, cue bandeng, begitupun sayur-sayuran. Si Songong itu hanya mengorek kantung sampah saja. Memburaikan isinya sampai berserakan menjijikkan di lantai dan menguak berupa bau.
“Kau umpani saja biar dia mati. Pake racun dari toko pupuk itu. . .” Emak memberi ide saat Ia mengadu.
Ia duduk di bangku depan rumah. Selalu jika sudah terbangun, sering susah untuk memejamkan mata kembali. Udara yang tak sedingin pada masa sebelumnya, saat ia kecil. Dalam lampu tempel yang redup, dengan rumah semi permanen, setiap malam selalu disergap gigil. Suasana sepi yang syahdu. Hingga tiap malam ia selalu terlelap, meski tidur berhimpitan di antara Bapak, Emak dan kakaknya.
Beberapa purnama hanya gerah yang merongrong setiap malam. Bulan-bulan yang panjang dengan musim yang tak berganti. Matahari semakin gagah di usia tuanya.
Ia menatap rumah mewah di depannya. Rumah yang setiap malam selalu ramai dengan tamu laki-laki. Rumah dengan pagar melebihi kepala itu, hampir rapat dari pandangan. Seakan tak memberi celah untuk sekedar mengintip.
Tapi Ia sudah terbiasa mendengar bunyi tawa, teriakan sumpah serapah atau bunyi plak plek seperti benda ringan yang di banting pada meja – meja kayu.
“Tariikkk…habiskan saja!” teriakan seperti itu sudah seperti jargon iklan yang diputar berulang-ulang. Ia jadi terbiasa mendengar kata itu. Teriakan dan tertawa serta sumpah serapah yang terus terdengar sampai hampir subuh. Setelah itu sunyi, saat satu persatu atau bergerombol, orang laki-laki itu keluar dengan kendaraan masing-masing.

——– *** ——–

Ia hanya menatap saja benda berupa serbuk berwarna coklat muda itu. Didekatkan ke penciumannya. Tidak berbau. Firasat kematian yang tidak tercium. Cara sulap yang sangat sederhana tapi bahaya. Bisa menghilangkan makhluk lewat siasat yang tak terbaca. Seperti dalam novel-novel misteri saja.
“Si Songong itu membawa penyakit setiap kali datang. Mungkin bukan sesuatu yang berarti yang Ia korek dari dari kantung sampah itu. Tidak begitu merugikannya. Toh sekalipun Ia berhasil mengambil apa yang Ia butuhkan, itu cuma sisa-sisa sampah yang dibuang. Tapi yang membuatnya geram itu karena ulah si Songong itu selalu membuat ruang dapur amburadul.
“Belikan dia makanan kesukaannya. Kau harus hati-hati ketika mencampurkan bubuk penyedap itu!” Emak kembali memberi masukan.
Sore itu Ia keluar rumah, menyirami kembang. Ia melihat rumah besar itu dipenuhi orang-orang. Sebagian tetangga tetangga, yang datang lainnya hampir tak Ia kenal.
“Para gambler ulung dikepung. Tertangkap basah tengah pesta kartu…” kata salah seorang.
Sejurus kemudian, Ia melihat laki-laki yang dibariskan. Diborgol, keluar dan dikawal ketat petugas. Semua mata tertuju, dengan berbagai desas desus yang sekilat saja menyebar dari bisikan pertama ke bisikan lain yang disampaikan rapat-rapat ke kuping.
Ia terpaku di tempatnya berdiri. Baru tahu jika di sebalik tembok yang tinggi itu, sarang judi.
“Semua tertangkap. Kecuali bandarnya yang kabur lewat pintu belakang…”
Mata perempuan itu menyipit. Wajahnya terlihat geram. Bandar judi itu tuan rumah yang berpagar beton itu. Pagi tadi, Perempuan itu pergi diam – diam ke kantor polisi. Memberi laporan untuk diadakan penggerebekan ke rumah yang tak pernah sepi dari tamu tamu laki-laki.

—— *** ——

“Kucing Mak Nuri mati. Dari mulutnya mengeluarkan buih seperti busa.” |
“Di samping rumah Mak Iyah, seekor kucing liar…tergeletak tak bernyawa…”
Di sana sini, ada kucing mati. Sudah lima kucing ditemukan mati. Pagi harinya, kabar kematian kucing-kucing itu terdengar kembali. Beberapa kucing liar yang dibuang karena ketahuan sudah tak bernyawa bahkan kucing-kucing piaraan yang kerap mencari makan di luar.
“Sepertinya, kucing-kucing itu memakan makanan beracun. Atau sengaja ditarohkan racun oleh manusia yang tak menyukainya” kata seorang tetangga yang kemudian sibuk membuat kuburan-kuburan kucing. Tetangga itu menemukan dua kucing sekaligus, yang mati di tempat yang berdekatan.
“Siapa orangnya yang tega meracun kucing-kucing itu. Kejam sekali. Padahal ada di antaranya kucing piaraan yang disayang oleh tuannya. Sesalah-salahnya Kucing, cuma hewan. Pantas kalau suka maling. Mereka cuma tahu lapar dan harus mendapat makanan. Tanpa tahu norma dan hukum. Manusia itu yang berdosa karena telah membunuh kucing-kucing” Ada yang merutuk, suaranya keras bercampur emosi.
Sehari itu, topik berganti membicarakan kucing-kucing yang mati. Sementara di suatu rumah, ada jantung yang berdebar dab berdetak lebih kuat dari biasanya. Ia, perempuan muda itu, mondar-mandir dengan serbuk coklat muda di tangannya. Masih utuh. Siapa yang telah mengumpan makanan dengan dibubuhi racun? Padahal Ia urung membuat racikan umpan itu karena telah ada dalam pikirannya, umpan itu akan salah sasaran. Dan benar saja. Tapi siapa yang mengumpankan racun tikus itu?

——- *** ——-

Beberapa lama, malam terasa hening. Meski panasnya masih mendatangkan kegerahan, tapi tak ada suara-suara umpatan, teriakan dan gelak tawa para lelaki di rumah seberang jalan itu. Si Songong seperti mencium gelagat buruk. Mungkin ia membaca firasat juga. Sampah dapur selalu utuh pada pagi harinya.
Tapi, beberapa bulan, ketika polisi tak ada yang mendatangi rumah bertembok tinggi itu, penghuninya pulang meski diam-diam. Bertenang di dalam. Hanya sesekali saja dia terlihat, membeli serenceng kopi dan rokok pada malam hari. Dengan wajah yang tak ada kesan cemas atau rasa bersalah. Seakan kekuatan justru Ia dapatkan, dan orang-orang judi yang masuk bui itu diibaratkan tumbal pesugihan. Perempuan itu kembali menatap tembok tinggi rumah itu dengan perasaan geram.
Pagi hari, Ia mendapatkan sampah-sampah itu kembali berserakan. Ia menggeleng. Tertawa. Tiba-tiba Ia ingin memergoki tikus got besar yang bulunya sudah botak botak tipis bersemu merah menjijikkan itu, berlari lintang pukang. Memamerkan pantatnya yang besar oleng saat kakinya terpeleset pada lantai keramik licin. Lalu kepalanya terbentur pada ujung pintu ketika menyelusupkan tubuh gempalnya ke celah-celah antara ujung pintu dan lantai dapur.
Dua pemandangan itu kini membuka babak baru dengan cerita yang sama. Atau malah membuat episode baru. Tikus got itu sudah berani menggusur tomat yang ditaruh di lemari makanan. Dan bandar judi itu, pergi mendatangi rumah rumah dengan beberapa lembar kertas. Lalu orang ramai-ramai membeli angka. Dan menunggu dibuka pada jam sebelas malam. Tikus got dan bandar judi itu naik peringkat setelah melalui sebuah fase. Mereka membuat resolusi baru.

——– *** ——–

Penulis : Ratna Ning, lahir di Subang. Mulai menulis tahun 1994. Tulisan pertamanya dimuat di Media Massa remaja “Kawanku”. Karya berupa cerpen dimuat di Ceria Remaja, Tabloid Wanita Indonesia, FantasiTeen, Annida, Puteri, Muslimah dan beberapa Media Instansi. Buku kumpulan cerpen dan puisi terbit indie bersama delapan penulis perempuan di facebook. Satu buku kumpulan carpon & sajak Sunda “Gerentes” bersama tiga penulis perempuan turut meramaikan khazanah literasi daaerah.

Rate this article!
Dua Resolusi,5 / 5 ( 1votes )
Tags: