Ekonomi (Kian) Melilit

Perekonomian (belanja ) tingkat rumahtangga terasa makin melilit, karena harga bahan pangan, dan energi naik bersamaan. Terutama harga kebutuhan yang tergolong administered price (ditentukan pemerintah) naik cukup tajam. Begitu pula harga bahan pangan, terutama cabai yang makin pedas, bawang merah, dan daging. Kelompok volatile food tetap menjadi pemicu inflasi bulan Juni (dan Juli). Cuaca ekstrem menjadi penyebab kenaikan harga bahan pangan. Ditambah ekses perang Rusia – Ukraina.

Komponen pangan bergejolak (volatile food) bukan hanya basis tanaman hortikultura (cabai, dan bawang merah). Melainkan juga minyak goreng (migor), hingga kini masih mahal. Migor kemasan sederhana sebagai pengganti migor curah sudah di-iming-iming, tetapi belum beredar di pasar. Migor bermerek tunggal nasional “MINYAKITA” rencananya dipasok sebanyak 3 juta ton per-tahun. Tetapi belum terealisasi. Menyebabkan harga migor “sama bandel” dengan harga cabai.

Cabai dan migor masih menjadi penggerak inflasi bulan Juni. Berdasar catatan BPS (Badan Pusat Statistik), pada Juni 2022 terjadi inflasi sebesar 0,61% dengan Indeks Harga Konsumen (IHK) sebesar 111,09. Artinya, telah terjadi harga kemahalan sebesar 11,09%. Selama 6 bulan tahun 2022 BPS mencatat inflasi sebesar 3,19%. Secara tahunan (Juni 2021 dibanding Juni 2022) tercatat 4,35%. Angka-angka yang sudah tergolong tinggi, dan patut waspada. Karena tren inflasi semakin membubung.

Kenaikan bahan kebutuhan yang tergolong administered price baru terjadi bulan Juli. Antaralain BBM Pertamax Turbo (RON 98) naik menjadi Rp 16.200,- per-liter. BBM jenis solar Pertamina Dex naik menjadi Rp 16.500,- per-liter. Serta Dexlite naik menjadi Rp 15 ribu per-liter. Begitu pula harga gas LPG non-subsidi, malah naik dua kali selama tahun (2022) ini. Harga per-10 Juli 2022, Bright gas ukuran 5,5 Kg menjadi Rp 100 ribu, dan Bright gas ukuran 12 Kg seharga Rp 213 ribu.

Kenaikan harga gas LPG menyebabkan migrasi konsumen. Yang semula menggunakan tabung 5,5 Kg (dan 12 Kg) beralih ke tabung “melon.” Terutama kalangan pelaku usaha mikro dan ultra-mikro bidang kuliner. Penjual makanan gorengan sampai warung nasi akan berebut gas tabung “melon” (dengan harga jual eceran Rp 17.500,- per-tabung). Bisa terjadi kelangkaan gas LPG tabung 3 Kg. Sedangkan komoditas lain naik diam-diam, bersamaan kenaikan PPN 11%.

Kenaikan harga BBM non-subsidi, dan gas ukuran tabung di atas 3 kilogram, dilakukan sebagai penyesuaian. Harga minyak dunia sedang melejit di atas US$ 100 per-barel. Diharapkan harga minyak segera turun, seiring Bank Sentral Amerika Serikat (AS) sampai sebesar 1%. Amerika Serikat pada bulan Juni 2022 ini juga dilanda inflasi sebesar 9,1%, paling kritis selama 40 tahun terakhir. Sehingga seluruh warga AS harus berhemat, dan lebih banyak menabung.

Penghematan belanja rakyat Amerika berdampak langsung dengan uang (dolar) beredar. Efeknya terasa di Indonesia, rupiah melemah pada kisaran kurs Rp 15 ribu per-US$. Sehingga harga barang impor terasa makin mahal. Antara lain susu, buah, dan daging. Lebih lagi ketersediaan susu dalam negeri sedang terdampak wabah PMK (Penyakit Mulut dan Kuku). Sebanyak 75% kebutuhan susu nasional dipasok dari impor.

Berdasar UU Nomor 18 Tahun 2012 Tentang Pangan, pemerintah berkewajiban mengelola stabilitas pasokan dan harga pangan pokok. Diperlukan pengendalian sistemik harga pangan dan energi. Dengan sistem pertanian yang handal, pemerintah bisa menambah areal food estate. Termasuk tanaman cabai di setiap rumah tangga. Serta me-masif-kan program energi terbarukan berbasis nabati, dan non-fosil.

——— 000 ———

Rate this article!
Ekonomi (Kian) Melilit,5 / 5 ( 1votes )
Tags: