Filsafat Kebudayaan dalam Pelestarian Seni Reyog Ponorogo

Oleh :
Fahyuni Baharuddin
Mahasiswa Doktoral Sosiologi UMM

“Siapa yang tidak tahu Reyog Ponorogo? Atraksi pada kesenian ini memang mengundang banyak decak kagum, sepeerti yang saya alami. Dadak merak yang dipakai menutupi kepala sang “Singa Barong” ini unik, karena tergantung pada kekuatan gigi yang menggigit sebatang kayu didalam topeng megah itu. Kemudian juga tergantung pada kekuatan leher dan bahu serta suara magic gamelan yang diiringi dengan kekompakan nada tinggi / teriakan semangat para pemain gamelan..”

Kesenian Reyog Ponorogo memiliki karakteristik yang dilakukan secara komunal. Perpaduan unsur tari, olah kanuragan, permainan musik, puisi atau mantra yang sangat kental menggunakan magis. Reyog Ponorogo merupakan seni budaya yang berasal dari bagian barat laut Jawa Timur. Kota Ponorogo dianggap sebagai kota kelahtran Reyog yang sebenarnya. Pada kota Ponorogo ada pintu gerbang yang dihiasi oleh tokoh Reyog yaitu warok dan gemblak. Kedua tokoh ini menjadi sosok yang tampil dan menjadi ciri khas selama pertunjukan Reyog.

Reyog merupakan budaya daerah di Indonesia yang masih sangat kuat baik mistisisme dan kuatnya ilmu kebatinan yang tercermin dari aktifitas tariannya. Masyarakat Ponorogo hingga saat ini hanya mengikuti apa yang diwarisi dari leluhur mereka yang merupakan perwujudan budaya yang sangat kaya. Seni Reyog ini dalam perjalanannya merupakan ciptaan manusia yang dibentuk oleh aliran kepercayaan yang terbentuk selama beberapa generasi dan dipertahankan. Bagi keturunan yang tidak jelas, maka upacara bisa menjadi kondisi yang tidak mudah bagi orang awam untuk memahaminya. Para pemaian Reyog ini mematuhi garis keturunan parental dan hukum adat yang masih berlaku.

Reyog Ponorogo merupakan kesenian yang terdiri dari beberapa rangkaian yaitu dua hingga tiga tarian pembuka. Pada awalnya ada enam hingga sembilan pria pemberani mengenakan pakaian hitam. Kemudian wajah mereka yang dipoles warna merah. Mereka dijelaskan sebagai penari singa pemberani. Setelah itu, tampil enam sampai sembilan gadis menunggang kuda untuk melanjutkan tarian Reyog. Dalam Reyog tradisional, biasanya penari ini dimainkan oleh penari laki-laki yang berpakaian seperti perempuan. Lalu sebagai tarian pembuka, akan ditampilkan sejumlah anak kecil yang melakukan tarian dengan adegan-adegan yang sangat lucu. Tarian dengan penampilan yang dilakukan oleh anak-anak ini kemudian dikenal sebagai Bujang Ganong.

Pada sesi setelah tarian pembukaan selesai, kemudian seni Reyog Ponorogo menampilkan inti tarian yang disesuaikan dengan permohonan pembuat acara. Misalnya, jika pembuat acara melakukan pernikahan, maka biasanya dalam adegan inti Reyog Ponorogo menampilkan tarian dengan tema adegan cinta. Atau misalnya, pembuat acara melakukan sunatan, maka tema tarian biasanya menceritakan tentang seorang pejuang dimedan perang. Supaya acara meriah, maka dalan seni tari Reyog menampilakan interaksi antara penari dan dalang atau tak jarang juga melibatkan hadirin yang hadir saat pertunjukan. Bila seorang pemain Reyog kehabisan tenaga, maka biasanya digantikan oleh pemain lain. Dari seluruh pertunjukan ini, yang paling penting adalah kepuasan yang bisa dirasakan oleh penonton yang hadir. Penampilan seni ini berakhir ketika ada pertunjukan Singa Barong. Para pemain Reyog menggunakan topeng berbentuk singa yang dihiasi dengan mahkota besar yang terbuat dari bulu burung merak. Berat topeng Singa Barong ini bisa mencapai 50-60 kg. Hal yang unik adalah dimana penari mengambil topeng dengan menggunakan gigi mereka. Pertujukan ini sebenarnya berada di luar logika nalar. Penari Singa Barong bisa melakukan itu dengan melalui latihan yang rutin dan berat untuk kekuatan fisik mereka. Tetapi pada kenyataannya mereka tetap melibatkan beberapa praktik spiritual seperti melaksanakan puasa dan bertapa.

Budaya adalah hasil dari proses hidup bersama. Manusia sebagai anggota masyarakat selalu berubah. Pergerakan asosiasi atau perubahan gelombang budaya suatu masyarakat dalam periode tertentu disebut dinamika budaya. Dalam proses perkembangan, kreativitas dan tingkat peradaban masyarakat sebagai pemilik, kemajuan kebudayaan dalam suatu masyarakat pada hakekatnya merupakan cerminan kemajuan peradaban dalam masyarakat tersebut. Perbedaan mendasar yang menjadikan manusia sebagai makhluk tertinggi adalah manusia itu rasional atau rasional, sehingga manusia adalah satu-satunya makhluk hidup yang mampu menciptakan hal-hal yang berguna bagi keberadaannya (makhluk berbudaya).

Filsafat adalah cara berpikir dan merasakan secara mendalam semua apa pun inti masalahnya. Filsafat berasal dari kata Philo yang berarti cinta dan kata Sophos yang berarti pengetahuan atau kebijaksanaan. Singkatnya, filsafat berarti cinta pengetahuan atau kebijaksanaan. Poerwantara mengartikan filsafat sebagai alam pikiran atau alam pikiran. Namun, tidak setiap pemikiran memiliki makna filosofis. Karena filsafat adalah berpikir secara mendalam dan serius. Filsafat adalah induk dari semua ilmu yang memiliki objek material dan objek formal, dan objek material adalah akal. Sedangkan objek resmi filsafat adalah kebenaran, kebaikan dan keindahan secara dialektis.

Hubungan antara filsafat dan budaya

Dalam hubungan antara definisi budaya dan definisi filosofis, keduanya bertemu secara ideologis. Filsafat adalah cara atau cara berpikir yang sistematis dan universal, bermuara pada setiap jiwa, sedangkan kebudayaan adalah salah satu hasil filosofis yang terwujud dalam pembuatan, cita rasa dan karsa sikap dan visi tentang kehidupan. Dengan demikian, jelaslah bahwa filsafat mengendalikan cara kita berpikir tentang budaya. Dibalik budaya ada filosofi.

Filsafat budaya itu unik karena unsur-unsur yang dibahas relevan dengan bidang studi lain, seperti filsafat sejarah, antropologi, sosiologi, dan psikologi. Masing-masing bidang kajian tersebut menjadi pilar dalam penafsiran filsafat budaya. Salah satu faktor yang membuat filsafat budaya semakin diminati adalah karena banyaknya peristiwa besar yang terjadi di dunia ini, yang mempengaruhi evolusi cara hidup manusia. Filsafat budaya berusaha untuk menganalisis unsur-unsur budaya dan aturan, struktur, derajat dan nilai-nilai di dalamnya. Meskipun filosofi budaya ini berasal dari abad ke-20, akarnya kembali ke zaman Socrates dan bahkan sebelum itu. Salah satu cabang penting dari filsafat budaya adalah pembahasan bahwa filsafat antarbudaya berakar pada budaya yang berbeda. Sehingga ada pengakuan tentang realitas keragaman budaya tersebut sebagai cara membangun proses kerjasama juga dialog-dialog untuk kesepemahaman pemikiran.

Dalam dunia filsafat, Reyog Ponorogo mengandung pemikiran tentang nilai aksiologi seperti yang dilahirkan oleh Max Scheler, Walter G. Everett, dan lain sebagainya. Teori nilai yang dirasa paling cocok adalah teori nilai dari Max Scheler. Teori nilai Max Scheler, ketika digunakan untuk menganalisis seni Reyog Ponorogo, menemukan beberapa nilai, yaitu: (1) Nilai-nilai kerohanian, perayaan hari raya umat Islam menggunakan banyak kesenian Reyog untuk menciptakan keramaian dan menyatukan orang secara efektif. Nilai dakwah juga terlihat pada kalung merjan (tasbih) yang ditambahkan pada paruh burung merak yang melambangkan ajaran Islam. (2). Nilai-nilai spiritual, hal ini menunjukkan bahwa seni reyog mengandung nilai-nilai luhur Jawa, seperti tontonan dan tuntunan. (3). Nilai-nilai moral yang terungkap antara lain semangat kebersamaan, mengikat kerukunan, mencapai gotong royong seperti yang diajarkan oleh Reyog: ojo dumeh, ojo gumun, ojo pangling, menghindari molimo (alkohol, bermain dengan wanita, suka makan, bermain dan mencuri). (4). Nilai-nilai yang hidup, seperti tokoh warok, orang yang dianggap sebagai tokoh masyarakat yang memiliki kepentingan, seperti memiliki banyak ilmu, ilmu kesaktian/ilmu pengetahuan, rela berkorban, pelindung dan pekerja yang rela berkorban. (5). Nilai material, kesenian Reyog dapat memunculkan kesenangan apabila dimainkan sebaliknya apabila tidak dimainkan tidak memunculkan kesenangan. Beberapa pihak yang disenangkan kesenian Reyog adalah penonton, pengrajin, pelatih atau pengajar, pejual souvenir, penjual makanan dan minuman

Pelestarian budaya, yang menjadi fokus penting dari tulisan/opini ini, tentang bagaimana Reyog Ponorogo sebagai satu kearifan lokal akan berjuang dan tetap hidup di masyarakat Indonesia. Reyog sebagai magnet dalam pengumpulan massa. Minat masyarakat terhadap Reyog memang sangat tinggi, seperti yang terjadi pada tahun 2019, sebelum pandemi covid berlangsung. Hal ini sesuai dengan persentase pengunjung Festival Reog Ponorogo yang menunjukkan peningkatan jumlah penonton pada festival setiap tahun. Festival Reog Mini diadakan untuk menyambut hari jadi Kabupaten Ponorogo, sedangkan Festival Reog Nasional diadakan untuk menyambut tanggal 1 Muharam. Selain itu masih ada festival lainnya yang data pengunjungnya secara keseluruhan tidak terdata dari Dinas Kebudayaan, Pariwisata, Pemuda, dan Olah Raga Kabupaten Ponorogo. Namun setiap tahunnya jumlah pengunjung selalu meningkat.

———- *** ————

Tags: