Ide Kartini Merentang Ruang dan Waktu

Oleh
Frida Kusumastuti
Dosen Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Muhammadiyah Malang

Banyak tokoh perempuan di masa kolonial yang melakukan perjuangan untuk kemajuan kaum perempuan, khususnya di bidang Pendidikan. Tidak hanya RA. Kartini dari Jepara, Jawa Tengah melainkan juga ada Raden Dewi Sartika di Cilengka, Jawa Barat ataupun Rahmah El Yunusiah dari Padang Panjang, Sumbar. Bahkan ada satu perempuan tokoh intelektual yang lebih senior dari ketiganya, yaitu RA. Lasminingrat atau Soehara dari Sumedang, Jawa Barat. Namun, kita selalu memperingati Hari Lahir RA. Kartini lebih dari yang lain secara nasional.

Peringatan Hari Kartini setiap tanggal 21 April, disahkan oleh Presiden Sekarno pada tahun 1964. Suatu sore saat Hari Kartini 21 April 2024, seorang sahabat saya mempertanyakan itu sehingga mendorong saya menuliskan intepretasi saya tentang Kartini dalam artikel ini.

Keputusan Kartini Muda Menjadi Pembicaraan Luar Negeri

RA Kartini lahir pada tahun 1879. Lebih muda daripada RA. Lasminingrat (1843), Namun Kartini lebih tua dibandingkan Raden Dewi Sartika (1884) dan Rahmah El Yunusiah (1900). Kartini wafat pada usia 25 tahun atau tepatnya 17 September 1904. Dimana tahun 1904 itu Raden Dewi Sartika mendirikan “Sekolah Isteri” tepatnya 16 Januari 1904.

Bisa dibayangkan bahwa pergulatan pemikiran Kartini memang dimulai di usia yang relatif masih muda sebelum usianya 25 tahun. Tepatnya pada usia 20 tahun jika dilihat dari surat-surat Kartini yang terdokumentasikan, yaitu sejak tahun 1898. Pada tahun 1911, surat-surat Kartini kepada para sahabatnya di Belanda dan Eropa disusun menjadi buku oleh sahabatnya, JH Abendanon yang juga menjabat sebagai Menteri kebudayaan, agama, dan kerajinan Hindia Belanda.

Sementara itu secara aksi tercatat bersama dua saudaranya yaitu Kardinah dan Rukmini, Kartini mendirikan Sekolah Kartini yang mengajari membaca, menulis, menggambar, sopan santun tata krama, memasak dan kerajinan tangan. Kiprah ini membuktikan Kartini tidak hanya berjuang dalam ide-ide, namun juga praktik.

Sekolah Kartini didirikan saat Kartini berusia 23 tahun. Setelah dia memutuskan tidak jadi menerima beasiswa sekolah di Belanda atas pemberian pemerintahan Belanda saat itu (1902). Keputusan Kartini tidak mengambil beasiswa yang diperolehnya dan mengalihkannya kepada Agus Salim, pemuda Mingkabau yang cerdas- menarik perhatian pemerintahan Belanda. Berita tentang hal itu menjadipembicaraan di Hindia Belanda dan Belanda. Terutama saat kunjungan anggota parlemen Belanda, Van Kolk e Jepara yang diberitakan oleh surat kabar De Locomotief (25/4/1902.)

Kekuatan Kartini adalah kekuatan tulisan. Gagasan yang dituliskan, merentang ruang dan waktu.

Sosok RA.Kartini setelah wafat mencuat kembali karena surat-suratnya yang dikirim kepada sahabat-sahabatnya di Belanda dan Eropa diterbitkan dalam sebuah buku dengan judul “Door Duisternis Tot Licht” pada tahun 1911. Buku pertama ini berisikan 106 surat RA. Kartini kepada para sahabatnya, yakni Estelle H Zeehandelaar atau Stella (14), Ny Ovink-Soer (8), Prof dr GK Anton di Jena dan istrinya (3), Dr N Andriani (4), Ny HG de Booy-Boisevain (5), Ir HH van Kol (3), Ny N van Kol (3), Ny RM Abendanon-Mandri (49), Mr JH Abendanon (5), EC Abendanon (6), sepucuk surat tidak jelas ditujukan kepada siapa dan sepucuk lagi merupakan surat gabungan kepada suami-istri Abendanon

Kemudian Balai Pustaka menerjemahkan kedalam Bahasa Melayu pada tahun 1922 dengan judul Habis Gelap Terbitlah Terang; Boeah Pikiran. Tahun 1938 kembali diterbitkan dan diterjemahkan oleh Armijn Pane dan juga diterjemahkan oleh Sulastin Sutrisno pada tahun 1979 dengan judul “Surat-surat Kartini, Renungan Tentang dan Untuk Bangsanya.” Saat Sulastin mengambil studi sastra di Belanda.

Selain Agnes L. Symmers yang menerjemahkan surat-surat Kartini dalam Bahasa Inggris, surat-surat Kartini juga diedit dan diterjemahkan oleh Joost Coste, seorang periset senior Ilmu Sejarah dari Mosnash University dengan judul “Kartini: the Complete Writings 1898-1904” Coste memuat 108 surat-surat Kartini kepada Nyonya Rosa Manuela Abendanon- Mandri dan suaminya JH Abendanon, serta 46 surat yang dibuat Rukmini, Kardinah, Kartinah, dan Soematrie. Dengan demikian selain berbahasa Belanda, surat-surat Kartini juga diterjemahkan ke Bahasa Inggris, Bahasa Melayu, Bahasa Indonesia, dan juga pernah diterjemahkan ke dalam bahasa Jawa dan Sunda.

Setelah itu tentu saja kajian-kajian tentang surat Kartini sangat banyak di Indonesia. Berbagai skripsi, tesis dan disertasi bersumber pada surat-surat Kartini. Sebut salah satu adalah Celoteh RA.Kartini: 232 ujaran Bijak Sang Pejuang Emansipasi oleh Ahmad Nurcholish (2018)

Apa yang bisa kita garis bawahi dari RA.Kartini? Pada usia yang relatif muda, dengan segala privilege Kartini sebagai bangsawan sekaligus keterbatasannya sebagai perempuan priyayi Jawa, Kartini secara praktis melakukan aktivitas nyata dalam memberi kesempatan kepada Boemi Poetra untuk mengenyam Pendidikan di luar negeri dan juga mengajari para perempuan dengan membaca, menulis, tata krama, sopan santun, menggambar dan membuat kerajinan tangan melalui Sekolah Karttini di rumahnya.

Kartini muda juga berjuang melalui ide-ide yang dituliskan dan dibagikan, sehingga ide-ide itu menjadi “abadi” dan banyak dikaji oleh orang lain. Spirit Kartini melaMelintasi negara (ruang) dan waktu (dari generasi ke generasi.

Waahai Kartini-Kartini muda di era kini, tuliskanlah ide-idemu dan sebarkan walau mungkin hanya kepada sahabat-sahabatmu. Terlebih jika diunggah di akun sosial mediamu atau dikirim ke media massa, maupun dalam sebuah penerbitan buku. Melalui tulisan yang baik, kita beramal karena mungkin akan ada orang lain yang mendapatkan hikmah dan pelajaran dari tulisan kita.

———- *** ————

Rate this article!
Tags: