Jejak Literasi pasca Bulan Suci

Oleh :
Mukhlis Mustofa
Dosen FKIP Universitas Slamet Riyadi Surakarta Program Studi PGSD dan Konsultan Pendidikan Yayasan Pendidikan Jama’atul Ikhwan Surakarta

Perspektif Ramadhan bulan penuh berkah diakui segenap ummat islam senantiasa merindukan kehadirannya. Tanpa terasa usainya ulan Ramadhan ummat islam seluruh penjuru dunia memasuki euphoria luar biasa. Dibalik Syukur usai menjalani ibadah di bulan suci terdapat permasalahan konkriit berkaitan ummat sebagai warga belajar. Menyikapi ekses Ramadhan dengan sisi material, tulisan ini mencoba menguak sisi spiritual dari sisi literasi, sebuah esensi terkadang luput dari intuisi. Nuansa berbeda tidak bisa dipungkiri hadir melanda bulan ini dengan beragam dinamikanya. Keterkaitan Ramadhan dengan literasi tidak bisa dipungkiri menjangkiti seluruh negeri tidak lepas dari misi bulan ini sebgaia bulan literasi. Turunnya kitab suci Al qur’an menjadi sebuah legacy mahasuci bahwa panduan pelaksanaan keagaman ini sudah sedemikian komplit tersaji sebagai kalam illahi. habitus illahi sebenarnya sudah terjadi dibulan suci ini dimana ummat dengan sedemikian sadarnya membuka kitab suci ini.

Membaca Al Qur’an secara sendiri – sendiri maupun mengelompok Bersama jamaah lain menjadi budaya elok dipandang dan didengar hingga memunculkan rasa tidak nyaman manakala kebiasaan itu hilang setiap harinya. euphoria pembacaan al qur’an secara Bersama ini Nampak dengan nyaringnya pelantang masjid manakala malam menjelang seakan tiada terbendung hingga memunculkan persepsi beragam. hiruk pikuk penggunaan pelantang baik durasi maupun volume berapa yang harus disetting merupakan dinamika bulan puasa ini dan manakala bulan ini berlalu hiruk pikuk pun perlahan hilang menunggu datangnya bulan mulia tahun depan.

Ramadhan pun pada akhirnya penuh dengan energi literasi illahi, dibalik energi tersendiri tersebut memunculkan sebuah pertanyakah bagaimanakah jejak literasi illahi ini dalam mewarnai dinamika keumatan agar bertahan terutama pasca Ramadhan? Apakah euphoria literasi illahi ini berkorelasi dengan konteks kekinian sang ummat dalam meniti hidupnya untuk lebih agamis dengan dinamis?. Pertanyaan besar tersebut paut menjadi kerisauan mengingat pembangunan persepsi selama ini Ramadhan sekadar rutinitas sehingga manakala bulan berlalu kebiasaan baru pun mulai menderu.

Rentan Pendangkalan
Maraknya tadarus Al Qur’an selayaknya membuka pintu-pintu keberkahan bagi pembacanya namun pada kenyatannya masih jauh panggang dari api. Jangalah membaca kitab suci hanya sampai tenggorokan, janganlah menargetkan secara kuantitatif berapa banyak khatam yang dihasilkan namun bagaimanakah kualitasnya, diksi ini terus digaungkan banyak kalangan menyikapi massifnya pembacaan Al Qur’an di bulan Ramadhan. Kuatnya gaung diksi tersebut seakan membully para pembaca kuantitas bacaan ini seakan tanpa daya upaya melaksanakan perlawanan.

Saya tidak memposisikan membela maupun menghujat salah satu pendapat tadarus namun mengajak berpikir realistis dengan fenomena keterbacaan ummat dalam pencerdasan berkepanjangan. Bagi kaum penghamba kuantitas dengan muara besaraan khataman memang tidak memberikan implikasi berkelanjutan implikasi ini tidak sepenuhnya menghujat namun bisa ditarik dari sisi edukatif. seperti diketahui dalam ikhitar pencerdasan yang dikembangkan hingga memunculkan habitus baru pembelajara tidak sesederhana dan sepragmatis kehidupan. semua pihak pastilah menyadari bahwa dalam sebuah pembelajaran memerlukan proses sedemikian Panjang.

Fase penghamba kuantitas inilah yang memposisikan dalam proses Panjang tersebut. Untuk mencintai harus berawal dari kenyamanan dalam pembiasaan. penghamba khataman teramat layak diposisikan sebagai awal kecintaan tersebut, manakala proses ini sudah dikonstruksikan dalam khalayak betapa indahnya, mereka akan memahami bahwa fase awal ini memerlukan beragam bimbingan layak dihadirkan, dengan mekanisme ini teramat naif jika kaum penghamba khatam ini diintimidasi dalam beragam bentuk, Lousdpeaker teramat keras, mengaji hanya sampai leher tidak merasuk kedalam hati teramat tidak layak dihadirkan.

Justru diperlukan sumbang saran bagi eleganitas program ini, bagaimanakah tingkat suara yang dihasilkan, kenyamanan lingkungan dapat menjadi rujukan meyikapi kondusivitas suasana. Fase lanjutan yang harus dikembangkan adalah pencerdasan ummat, teramat naif jika ummat lebih disibukkan dengan kapankah puasa dimulai dan kapankah lebaran terjadi karena terdapat permasalahan lebih besar yang selama ini luput dari perhatian ummat. Betapa banyak penyimpangan berbasis koruptif hingga sakitnya kaum muda yang miskin identitas haruslah dihadirkan dan selama ini belum sepenuhnya tergarap dengan optimal. Hakikat bulan suci memberikan peningkatan ketaqwaan bagi orang beriman berkonsekuensi peningkatan peran ketaqwaan bagi pelakunya dalam beragam aspek termasuk peran keberagaman dan kemasyarakatan. Galibnya implikasi pembelajaranpun hadir seiring bergantinya bulan Ramadhan ke bulan syawal.

Implementasi Kemenangan
Kalangan umum lebih banyak menarasikan manakala usainya Ramadhan dengan “kemenangan” terutama melawan hawa nafsu, perspektif ini kurang pas dan menafikan keberadaan lingkungan sosial dimana sang ummat berada. Seiring peran Bulan Ramadhan sebagai bulan turunnya kitab Al qur’an narasi berbasis literasi pasca bulan suci selayaknya lebih dikembangkan dengan beragam aspek penyerta diantaranya

Reaktualisasi evaluasi peran, mendesak diberlakukan dengan ikhtiar pencerdasan ummat sebagai esensi diri pasca bulan suci. Maraknya kuliah tujuh menit (kultum ) seiring pelaksaaan sholat tarawih ataupun usai sholat shubuh di beberapa kesempatan merupakan sebuah komunikasi edukatif proporsional dalam menjalankan peran tersebut. Euphoria pelaksanaan kultum ini dapat diberlakukan dengan sharing petugas sebelum pelaksanaan kultum ini.

Layaknya rapat awal tahun ajaran baru di sebuah sekolah untuk menentukan rencana pembelajaran teramat cerdas manakala panitia Ramadhan mengumpulkan para penceramah ini untuk menentukan “kurikulum” selama satu bulan. peran ini sedemikian strategis mengingat muncul asumsi pengumpulan massa secara massif di bulan Ramadhan belum dapat disaingi dengan bulan lainnya. Ikhtiar ini diharapkan bisa merubah mindset beragama dengan penuh dinamika dan permasalahan riil sehingga misi edukasi berlangsung optimal.

Optimalisasi semua lini media sosial menjadi Langkah langjutan manakala perubahan peran ini sudah dihadirkan. tidak bisa dipungkiri habitus media sosial saat ini memaksa semua indera mengecap pesan yang datang. ranah media soisial dengan pokok pembahasan “enteng-entengan” teramat cerdas jika diberikan dengan proporsi mencerdaskan bukan menyalahkan. Ketokohan KH AR Fahruddin pada Gerakan Muhammadiyah maupun KH Abdurrahman Wahid pada Gerakan Nahdatul Ulama dengan menyampaikan sedemikian sederhana pada akhirnya memyentuh esensi dengan penuh kedalaman arti. Secara teknis para influencer layak untuk mengutip statement kedua tokoh luar biasa tersebut sehingga gizi media sosial di bulan suci ini terjaga optimal.

Perspektif publik menyikapi Ramadhan sebagai bulan suci selayaknya menumbuhkan semangat pencerdasan berkelanjutan bagi pelaku yang ada didalamnya. teramat naif manakala usai Ramadhan definisi taqwa hanyalah artefak-artefak berserak tanpa makna dan kondisi penuh kebebalan terus terulang. Visi utama Ramadhan menciptakan insan bertaqwa patut diimplementasikan menciptakan alumninya sebagai kaum cerdas tidak culas namun tuntas membahas dinamika ummat sehingga tidak menumbuhkan ketaatan buta yang menumpulkan asa beragama.

———– *** ————

Rate this article!
Tags: