Kelanjutan Kisah Pembual yang Cerewet

Judul : Anwar Tohari Mencari Mati
Penulis : Mahfud Ikhwan
Penerbit : Marjin Kiri
Terbit : Februari 2021
Tebal : i – vi + 207 Halaman
ISBN : 978-602-0788-12-8
Peresensi : Wahid Kurniawan
Mahasiswa Sastra Inggris di Universitas Teknokrat Indonesia.

Bagi yang mengikuti novelnya terdahulu, Dawuk: Kisah Kelabu dari Rumbuk Randu, maka novel ini-Anwar Tohari Mencari Mati-patut ditunggu-tunggu. Si penulis dalam penutupnya, menuturkan kalau kisah Warto Kemplung alias Anwar Tohari ini perlu dikembangkan, ditulis kelanjutan atau sekuelnya. Dan benar, setelah melewati fase penulisan selama tiga tahun lebih, lahirlah novel ini. Sebuah kelanjutan dari kisah pembual kita, Warto Kemplung alias Anwar Tohari.

Namun, kendati sebagai sekuel, novel ini tampak memberi jarak dengan penduhulunya. Fokus dan sekian hal yang diselipkan novel pun agak berbeda. Kalau pada Dawuk: Kisah Kelabu dari Rumbuk Randu, Warto Kemplung memposisikan dirinya sebagi pengisah dari cerita Mat Dawuk dan Inayatun, beserta kaitan keduanya dengan tragedi berdarah di Rumbuk Randu, lalu ditutup dengaan sekian hal yang membingungkan pembaca tentang akhir tragedi; maka di novel ini, pembaca bakal dikenalkan lebih mendalam dengan jati diri dan identitas Warto Kemplung atau Anwar Tohari. Pembaca akan menemukan hal lain yang selama ini tak dijelaskan penulis menyoal Anwar Tohari.

Dan tetap, penulis menunjukkan keunikan dan kepiawaiannya dalam mengolah narasi dan sudut pandang. Di novel, sudut pandang pertama ada pada dalam diri wartawan yang memuat kisah Mat Dawuk dan Inayatun yang sebelumnya dituturkan Warto Kemplung, lalu diceritakan lagi dan dijadikan kisah bersambung di koran tempatnya bekerja. Sementara itu, sudut pandang kedua, yang juga memakan hampir keseluruhan cerita, diambil dari surat pembaca dari orang bernama Imam Widjaja yang mengaku mengenal baik sosok Anwar Tohari alias Warto Kemplung ini. Ia melayangkan surat pembaca sebab menemukan kejanggalan di dalam cerita bersambung yang ditulis oleh si wartawan, Mustofa.

Dari surat-surat itu, pembaca kemudian dikenalkan pada semesta Anwar Tohari yang lain, yang selama ini berbeda sebab kita tahu, penulis hanya menggambarkannya sebagai pembual di warung kopi, tak lebih. Melalui cerita Imam Widjaja, yang mengaku berkawan dengannya Anwar Tohari, novel berjalan mengisahkan fragmen demi fragmen dari sang pembual itu. Ia menyingkap masa lalu dan perjalanan hidupnya, keterpurukan dan ketangguhannya, kesedihan dan keriangannya. Dan tentu, semua itu tetap berhubungan dengan Rumbuk Randu dengan konflik blandong antar sinder harjo yang telah berlangsung bertahun-tahun.

Konflik itu pula yang mengekori perjalanan Anwar Tohari. Masa lalu yang datang dari kalangan blandong, membuatnya mewarisi sisa konflik leluhurnya. Hidupnya tak selalu aman. Urusan pribadi dengan sinder harjo seolah tak tertuntaskan. Luka dan dendam itu terus mengalir bak aliran air. Lewat penggambaran konflik inilah, penulis juga menyindir sekian peristiwa dan tragedi yang mewarnai perjalanan negeri ini. Dalam salah satu adegan saat pertaruangan. Ada satu tokoh berujar: “Semua adalah urusan pribadi, Anwar Tohari! Betul itu namamu, ‘kan? Semua. Proklamasi itu urusan dua orang. Cuma dua orang! Madiun juga urusan pribadi. ’65 itu pangkalnnya Sukarno dan Nasution, urusan pribadi lagi. Suharto naik Nasution ditahan, urusan pribadi lagi. Cekcok Mitro dan Murtopo jadilah Malari, pribadi lagi. Koji dan Woyla, hanya Djono dan Benny yang bisa jelaskan. Pribadi lagi. (Hal. 110)

Dari soal pribadi, novel lantas mempersoalkan hal lain, ia menggugat sekian hal. Novel tipis ini tampil cukup cerewet mengomentari dunia kesusastraan tanah air. Ia melayangkan kritik kepada sentralitas, penyimpitan dunia “Sastra Indonesia”, dan peremehan tribut yang dianggap liar dan pasaran. Itu misalnya, digambarkan dengan bernas saat mengomentari warisan pembagian sastra yang dilakukan Jassin. Itu berbunyi: “Maka yang kita dapati tak lebih dan tak kurang adalah sebuah kesusastraan yang kecil mungil, bahkan kerdil, yang hanya melibatkan beberapa puluh orang yang saling kenal dan satu sama lain berteman, dan nyaris cuma mencangkup buku-buku yang terbit di penerbitan Jakarta, dengan sedikit sisa-sisanya dari Jogja dan Bandung, dan di masa lalu barangkali Medan dan Bukittinggi.” (Hal. 69)

Apakah sudah selesai? Belum. Semakin ke belakang, kritik itu terus dilayangkan. Dipadukan dengan pengisahan cerita yang turut mengingatkan kita akan kisah-kisah silat terdahulu. Bagian pertarungan ini juga yang agaknya dimaksudkan penulis sebagai kritik. Ia menggambarkan, baik melalui adegan cerita itu sendiri maupun komentar narator di bagian tertentu, bahwa kisah-kisah liar dan pasaran seperti kisah silat, patut mendapat perhatian lebih. Ia mengkritik kurangnya apresiasi yang layak terhadap karya-karya semacam itu.

Lebih jauh lagi, penulis juga mengkritik kondisi kesusastraan dewasa ini. Itu ditunjukkan kepada melimpahnya kisah-kisah yang melulu berprioritaskan pasar dan kapitalisme, sehingga terenggut nilai kepedulian penulis atas estika cerita itu sendiri. Katanya, “Kalau cuma nulis macam pengarang-pengarang zaman sekarang, tiap pekan aku bisa terbitkan buku. Bayangkan, cerita asal jadi macam ‘Rumbuk Randu’-nya si wartawan goblok ini saja bisa terbit di koran! Dan sepertinya banyak yang suka!” (hal. 152)

Keberlimpahan kritik mungkin memberatkan siapa pun yang ingin melirik novel ini. Namun, kritik-kritik tersebut tampak presisi, tak menjengahkan seperti ceracau seorang pengkhotbah. Semua itu tampil secukupnya, seimbang dengan jalinan cerita utama. Itu yang membuat novel tipis ini cerewet di satu sisi, tapi anteng dan menyenangkan untuk dibaca di kesampatan lain. Sebuah gabungan yang membuat pengalaman membaca yang kompleks.

———- *** ———-

Rate this article!
Tags: