Ketika Guru Dihargai Seperti Pekerja Biasa

Lumiyati

Kajian Kritis Terhadap RUU Sisdiknas Baru

Oleh :
Lumiyati
Founder Lembaga PAUD AN-NAJA Surabaya.

Hari-hari ini dan selanjutnya bisa jadi waktu dimana nasib guru seluruh Indonesia menjadi tidak pasti. Pasalnya dimana sekarang di gedung Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sedang digodok Rancangan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) yang baru, dimana nantinya akan menggantikan UU Sisdiknas yang lama.
Sumber ketidak pastian itu adalah tidak dicantumkannya klausul tunjangan guru dalam RUU Sisdiknas tersebut. Sebagaimana banyak kabar beredar RUU Sisdiknas dianggap telah menghilangkan aturan tentang tunjangan profesi guru.
Sebagaimana terdapat dalam pasala 105 huruf a-h yang memuat hak guru atau pendidik. Tidak satupun ditemukan klausul terkait hak guru mendapatkan tunjangan profesi. Pasal ini hanya memuat klausul tentang pengahsilan penghasilan/ pemgupahan dan jaminan sosial guru.
Pasal 105 tertulis, dalam menjalankan tugas keprofesian, pendidik berhak memperoleh penghasilan /pengupahan dan jaminan sosial dengan ketentuan perundang-undangan. Dimana tunjangan atau penghasilan layak diatur dalam undang-undang ASN dan Ketenagakerjaan (detik.com, 29/8/22).

Guru Turun Kasta?
Selama ini diketahui Pemerintah memberikan berbagai apresiasi bagi para guru dan dosen atas pengabdiannya. Salah satunya melalui Tunjangan Profesi Guru (TPG), namun dalam RUU Sisdiknas justru TPG diklaim dihilangkan.
Padahal dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, jelas diamanahkan bahwa guru dan dosen berhak mendapatkan kesejahteraan berupa penghasilan diatas kebutuhan hidup minimum dan jaminan kesejahteraan sosial dari pemerintah dan pemerintah daerah.
Sehingga dengan adanya RUU Sisdiknas baru ini apabila jadi diundangkan tanpa perubahan apapun, terlebih lagi dalam memasukan pasal tentang adanya tunjangan profesi guru, maka nasib guru bisa jadi dipandang dan dihargai seperti pekerja biasa.
Guru tidak dianggap sebagai profesi adiluhung untuk mencerdaskan putra-putri bangsa yang berguna bagi masyarakat, tapi dianggap sebagai pekerja dalam “kolam” dunia pendidikan semata.
Padahal guru adalah satu-satunya profesi yang menurut ajaran agama adalah profesi yang bisa mengantarkan pelakunya mendapatkan pahala yang mengalir terus-menerus ketika sang pelaku meninggal. Karena sudah mengajarkan ilmu dan kepribadian kepada muridnya sebagai bekal hidupnya. Sehingga ketika sang anak didiknya tersebut berhasil dalam hidupnya, maka sang guru tadi memperoleh pahala yang terus mengalir. Bayangkan seandainya sang guru sudah mengajar puluhan tahun maka berapa banyak pahala yang bisa didapatnya ketika dirinya meninggal.
Itulah salah satu kelebihan dari profesi guru yang tidak dimiliki oleh profesi lain yang tidak sejenis dengannya. Misalnya seorang pekerja kantoran pahalanya bagi dirinya sendiri karena berhasil menghidupi keluarganya, yang merupakan hak keluarga. Setelah pekerja kantor tersebut meninggal maka pahalanya akan terputus.
Menurut saya apabila RUU Sisdiknas ini nantinya benar diundangkan tanpa perubahan apapun, utamanya tentang tunjangan profesi guru, maka guru boleh dibilang “turun kasta” yang tidak ada bedanya dengan profesi ASN biasa (birokrat), pekerja kantor atau bahkan dengan pekerja pabrik. Dengan demikian, idealnya memang ada aturan atau pasal khusus yang mengatur penghargaan terhadap profesi guru sebagaimana aturan tentang punjangan profesi guru (TPG) yang terdapat dalam UU lama atau sejenisnya, sehingga guru memang mempunyai kekhususan dalam profesinya.

Nasib Guru dan Sekolah Swasta Kecil
Dengan adanya RUU Sisdiknas baru ini maka mungkin nantinya tidak jadi persoalan kepada guru-guru negeri karena payung hukumnya sudah jelas. Tetapi untuk guru yang mengajar di sekolah swasta kecil dengan jumlah murid sedikit dan sekolah yang tidak berkembang maka menjadi persoalan besar.
Dimana secara normatif tujuan ditiadakannya tunjangan profesi guru adalah agar guru yang sudah tersertifikasi bisa mendapatkan penghasilan yang layak. Dimana sekarang seorang guru yang ingin mendapatkan tambahan penghasilan harus melalui Pendidikan profesi Guru (PPG) dan sertifikasi. Tapi dengan adanya RUU Sisdiknas tersebut dikembalikan kepada UU ASN dan UU ketenagakerjaan.
Sehingga nantinya guru-guru yang belum sertifikasi bisa mendapatkan tambahan penghasilan dibanding sebelumnya, karena ditiadakannya syarat sertifikasi. Jadi hal ini seperti affirmatif action pemerintah terhadap guru, dimana guru diperlakukan sama antara yang sudah sertifikasi dan yang belum tersertifikasi.
Tampaknya tujuan yang sekilas baik, belum tentu bisa dilaksanakan. Terutama kepada sekolah swasta kecil yang dalam hal kesulitan untuk mencari murid ditengah persaingan sekolah dalam mencari murid yang semakin ketat. Dimana sekolah kesulitan dalam memperoleh siswa, masih ditambah dengan kewajiban untuk membayar guru secara layak.
Maka guru yang bekerja di sekolah yang kecil akan kesulitan untuk mendapatkan pendapatan yang layak, karena dari yayasan sekolah tidak mampu membayar dengan upah yang layak, walaupun dalam berbagai kesempatan katanya akan ada bantuan dari pemerintah kepada sekolah atau yayasan swasta, terutama sekolah swasta kecil untuk bisa menggaji guru secara lebih layak, sehingga ada tambahan pendapatan bagi guru.
Tapi secara logika dan aturan formal kadang sesuatu yang ideal bisa jadi kenyataannya yang terjadi bisa kebalikannya. Dalam artian pemerintah belum tentu bisa membantu secara penuh kepada sekolah swasta kecil untuk bisa mengggaji guru secara lebih layak. Apalagi dimasa pandemi sekarang ini yang banyak memukul ekonomi suatu negara.

Sertifikasi adalah Tugas Pemerintah
Sebenarnya perubahan UU Sisdiknas menurut saya tidak terlalu mendesak. Yang mendesak adalah kewajiban pemerintah untuk segera mengadakan sertifikasi kepada para guru yang belum sertifikasi. Pengalaman saya yang beruntung karena waktu mengikuti proses pelatihan sertifikasi yang masih dibiayai oleh negara sehingga saya sudah bisa sertifikasi sebagai pendidik, hingga menguranggi beban biaya saya untuk mengikuti sertifikasi.
Sekarang memang nasib guru agak kurang beruntung karena untuk sertifikasi harus dengan biaya sendiri dengan proses yang jauh lebih sulit. Sehingga untuk lulus sertifikasi diperlukan usaha yang sangat besar.
Dengan jumlah guru yang berjumlah sekitar 1,6 juta yang belum sertifikasi (detik,com 29/8/2022) memang diperlukan dana besar yang dikeluarkan oleh pemerintah apabila ingin menjamin para guru untuk sertifikasi semua.
Tapi daripada membuat peraturan baru yang dimana bisa menimbulkan rasa ketidak pastian dan kekhawatiran bagi para guru untuk nasibnya akan peningkatan penghasilan. Maka membuat RUU baru sebaiknya ditunda,atau ditiadakan.
Program yang lebih mendesak adalah diselenggarakan program sertifikasi yang gratis bagi para guru untuk jaminan masa depan mereka. Sehingga pengakuan profesi mereka yang adiluhung dan khas dibanding profesi lainnya maka akan terjaga.

———- *** ———–

Tags: