Komisi A DPRD Jatim Setuju Pilkada Tak Langsung

foto ilustrasi

DPRD Jatim, Bhirawa
Wacana Pilkada tidak langsung untuk menekan ongkos politik menjadi usulan yang masuk akal. Hal itu disampaikan anggota Komisi A DPRD Jatim, Freddy Poernomo.
Menurutnya, pelaksanaan pilkada langsung tak hanya besar dari biaya pemenangan melainkan juga besar dari sisi penyelenggaraan. “Makanya saya setuju untuk dievaluasi,” kata Freddy, Rabu (12/10) kemarin.
Dalam pandangan Freddy, pelaksanaan Pilkada secara langsung memang butuh dicermati ulang. Bukan hanya perkara besarnya beban pembiayaan, termasuk juga efek di masyarakat sendiri. Sehingga, pihaknya mendukung jika pelaksanaan pilkada dilakukan evaluasi.
Evaluasi pelaksanaan Pilkada langsung juga pernah dia utarakan. Tepatnya saat menjadi Ketua Komisi A DPRD Jatim beberapa tahun lalu. Bahkan, Komisi yang membidangi pemerintahan tersebut saat itu pernah menyampaikan sejumlah rekomendasi.
Dari hasil sejumlah pembahasan, diantara opsinya memang pertimbangan untuk dilakukannya pilkada tidak langsung atau melalui DPRD. Politisi senior Partai Golkar itu menyatakan sudah tepat jika wacana pilkada tidak langsung bergulir dengan alasan menekan political high cost.
Lebih lanjut, Freddy mengatakan kalaupun dipilih melalui legislatif, pelaksanaan pemilihan tetap demokratis. Sebab, lembaga legislatif merupakan representasi wakil rakyat yang dipilih oleh rakyat. “Sudah sangat tepat, menurut saya. Karena ongkos politik itu memang mahal,” jelas Freddy.
Sebelumnya, Ketua MPR RI Bambang Soesatyo atau Bamsoet mempertimbangkan agar pemilihan kepala daerah (pilkada) yang diterapkan di Indonesia agar bisa dievaluasi. Akan tetapi, dia menegaskan, pembahasan mengenai evaluasi ini tidak merembet ke pemilihan presiden ataupun pemilihan legislatif.
“Jadi bukan pilpres atau pilegnya, tapi kita lebih kepada pilkada, pemilu pilkadanya,” ujar Bamsoet dalam jumpa pers di Gedung MPR, Senayan, Jakarta Pusat, Senin (10/10).
Bamsoet menjelaskan, pihaknya sudah melihat persoalan dalam pelaksanaan pilkada langsung. Dari identifikasi masalah, barulah MPR menemukan urgensi untuk mengevaluasi Pilkada. Diantara yang mendasari evaluasi pilkada adalah banyaknya kepala daerah yang tersandung korupsi. Menurut Bamsoet, dalam kontestasi pilkada kebobrokan sudah bisa terlihat.
Misalnya, saat pilkada digelar calon kepala daerah kerap meminta sumbangan kepada pengusaha. Hal itu disebut berdasar dari laporan para pengusaha kepada dirinya. Dikatakan banyak yang mengeluh.
Sebab itu, Bamsoet hendak mengevaluasi seberapa parah pilkada yang berlangsung di Indonesia. Disamping ingin melihat seberapa banyak manfaat dan mudarat yang timbul dari pilkada. Dia menegaskan, wacana evaluasi pilkada masih dalam tahap brainstorming. Bamsoet meminta sejumlah pihak mengkaji evaluasi pilkada. Termasuk pandangan dari akademisi.
“Jadi kita persilakan nanti DPR untuk mengkajinya kembali. Apakah sistem pemilu yang hari ini kita jalankan, lebih banyak manfaatnya atau justru lebih banyak mudaratnya,” imbuhnya. [geh.wwn]

Tags: