Lawatan dalam Proses Penciptaan Puisi

Judul : Teruntuk Kamu yang Kusebut Perempuan
Penulis : Akhmad Idris
Penerbit : Noken Studio Nusantara
Terbit : 2023
Tebal : 80 Halaman
ISBN : 978-623-09-2351-7
Peresensi : Wahid Kurniawan
Penikmat buku, mahasiswa Sastra Inggris di Universitas Teknokrat Indonesia.

Apa yang dilakukan seorang penulis saat melawati suatu tempat? Kita bisa menyebut sejumlah kegiatan yang mereka lakukan, dari sekadar pelesir biasa sampai menjadikannya bagian dari proses riset menulisnya. Sebab penulis, kita tahu, kerap menangkap objek yang kerap dilewatkan oleh mata umum. Mata penulis terlatih mengamati sekitar, merekam kejadian, dan merenungkannya. Hal itu pulalah yang kiranya bisa lihat dalam diri Akhmad Idris apabila kita mencermati sejumlah puisi dalam buku terbarunya, Teruntuk Kamu yang Kusebut Perempuan (Noken Studio Nusantara, 2023).

Memang, buku ini tak menghadirkan secara khusus puisi perjalanan atau puisi yang lahir dari sebuah proses kelana ke suatu tempat. Lokus penciptaan puisi Akhmad cukup beragam, sebab ia merentangkan lokus itu berkisar pada ihwal cinta, agama, sampai ihwal amatan keseharian dan perjalanan. Namun, lokus itu tak berputar membentuk puisi gugatan atau kritik atas situasi sosio-kultural tertentu, mengingat apa yang dibicarakan puisi Akhmad hampir melulu perkara cinta, baik yang bersifat antarmanusia ataupun manusia dengan tuhannya. Hanya sejumlah puisi yang tampak keluar dari barisan utama, bahwa mereka berbicara mengenai kemerdekaan, pengagungan atas kota, dan ihwal pendidikan.

Lalu, bagaimana dengan puisi hasil lawatannya ke suatu tempat tadi? Kita bisa melihat jenis puisi seperti ini dalam dua puisinya yang berbicara soal candi: Lelaki, Candi, dan Mentari dan Kamu di Candi Guru. Dua puisi ini dapat kita duga dihasilkan saat si penulis melakukan kunjungan ke sebuah pelataran candi. Si narator anggaplah berada satu posisi dengan si aku-penulis, maka kita seperti tengah meminjam mata si aku-penulis dalam melihat, menilai, dan mengobrolkan hal-hal di sekitar. Misalya, dalam puisi Lelaki, Candi, dan Mentari, kesan kasih yang tak sampai bisa kita raba dalam keseluruhan puisi. Pembaca agak samar buat mencari alasan cinta yang bertepuk sebelah tangan itu, tapi kesan itu tak bisa dihindarkan manakala kita mencermati larik pertama hingga larik terakhir.

Kita cerap dua larik pertama puisi ini: Katamu, batu-batu itu sayu dan aku adalah/ awan kelabu yang membuatnya padu.// Batu dalam puisi ini ditunjukkan pada bangunan candi yang melatari dua sejoli ini. Pada larik kedua, kita bisa membayangkan awan mendung yang diasosiasikan sebagai kesan sendu yang dirasakan si narator. Kita menduga, situasi sejoli ini sedang mengalami keadaan hubungan yang tak baik-baik saja. Anggapan itu pun diperkuat dengan adanya larik-larik berikutnya. Pungkusan lantas diberikan dalam tiga larik terakhir puisi: Lalu, apa yang bisa diharapkan dari seorang/ lelaki yang menggurat garis-garis namamu di/ sela batu yang mengabadi?//

Tiga larik terakhir itu tampak yang paling kuat dan menegaskan keadaan cinta sejati si narator. Larik pertama mengafirmasi dugaan cinta tak terbalas yang sudah terbaca di larik awal puisi. Ada ketidakpercayaan diri yang tinggi, bahkan si narator sudah tiba di titik putus asa terkait eksistensinya. Bisa jadi, perjuangannya sudah terlampau jauh dan besar, tetapi ia tak mendapat respons yang layak sebab adanya rasa cinta yang tak berimbang. Usaha itu digambarkan dari kalimat dua larik terakhir yang menjelaskan upaya menggurat nama si gadis di antara relief candi. Si narator ingin mengekalkan perasaan cintanya.

Adapun dalam puisi kedua, Kamu di Candi Guru, latar candi masih menjadi latar belakang dari situasi sejoli yang dikisahkan di dalam puisi. Namun, tak ada kesan cinta satu arah dalam puisi ini. Justru, pembaca bisa meraba situasi menjelang pertemuan yang mereka lakukan. Pada tiga larik pertama, tercerap: Yang ada awan,/ Yang terbentuk pola senyum-mu,/ Yang berhembus angin,/ yang menggambarkan detail suasana kala situasi dalam puisi berlangsung. Bahwa awan mengangkasa, bahwa senyum tergurat di bibir si perempuan, dan bahwa angin berembus. Pada larik ketiga ini, pembaca belum bisa menangkap isi puisi secara utuh: apa yang terjadi terhadap sejoli ini?

Jawaban atas dugaan pembaca lantas ditunjukkan dalam empat larik terakhir: Yang terlihat siluet tubuh dan garis/ rambut-mu./ Sial!/ Aku berlari,/ Dan Kau sudah di sini.// Rupanya, terdapat janji pertemuan yang mereka rencanakan. Si perempuan sudah mempersiapkan diri dengan baik, terbukti dengan kecantikannya yang memancar dari siluet tubuh dan guratan senyumnya. Namun, si narator malah terlambat menemui perempuan tersebut. Dari sini, jelaslah makna yang ingin dikejar puisi ini berkisar pada pertemuan yang direncakan tapi tak berjalan sesuai rencana. Terdapat rasa penyesalan yang dirasakan si narator. Apakah si perempuan akan marah? Pembaca hanya bisa menduga-duga.

Seperti apa pun dugaan pembaca atas akhir dua puisi ini, yang pasti, keduanya jelas lahir dari sebuah lawatan. Dugaan ini diperkuat dengan titingmasa di akhir puisi yang menyebut tempat: Candi Guru Penanggungan dan Penanggungan. Pelataran candi itu bukanlah tempat imajiner, sebab candi Guru memang nyata, ia berada di lereng Penanggungan, Mojokerto, Jawa Timur. Dengan begitu, besar kemungkinan bahwa puisi ini lahir saat penulis melawat ke tempat candi itu berada. Hanya saja, yang masih menimbulkan tanya adalah, apakah situasi yang diterakan dalam kedua puisi ini dialami sendiri oleh penulis? Ataukah, itu hanya hasil pengamatannya saja? Apa pun itu, setidaknya puisi ini menjadi bukti bahwa proses lawatan bisa memantik inspirasi dan melatih kejelian mata penulis dalam menangkap apa-apa yang ada di sekitar.

———– *** ————-

Rate this article!
Tags: