Lora di Antara Gelar Bangsawan Nusantara

Oleh :
Sihabuddin
Penulis, Dosen Prodi Ilmu Komunikasi Universitas Slamet Riyadi (Unisri) Surakarta

Beberapa tahun lalu nama Lora Fadil mencuri perhatian masyarakat Indonesia setelah ditetapkan sebagai anggota DPR dan membawa tiga istrinya ke senayan pada waktu pelantikan. Uniknya ketiga istrinya akur dan kompak tidak seperti keluarga poligami pada umumnya. Keharmonisan dalam keluarga poligami memang jarang terjadi, karena di Indonesia poligami bukan suatu yang lumrah, rata-rata laki-laki di Indonesia beristri satu. Jika ada yang poligami, biasanya dilakukan secara diam-diam tanpa sepengetahuan istri pertama. Memiliki tiga istri, sosok Lora Fadil tentunya bukan dari kalangan masyarakat biasa. Pria yang bernama lengkap Fadil Muzakki Syah ini berasal dari keluarga Kiai di tengah-tengah suku Madura Jember. Nama Lora bukan nama lahir, tapi gelar yang dibawa sejak lahir khusus untuk keturunan Kiai suku Madura di seluruh Indonesia. Bagi suku Madura anak laki-laki yang lahir dari keluarga Kiai otomatis akan mendapatkan gelar Lora.

Nasab merupakan faktor yang sangat penting untuk mendapatkan gelar Lora. Sebab, di Madura tidak semua orang yang memiliki lembaga pendidikan Islam mendapatkan gelar Kiai. Gelar Kiai dan Lora hanya didapatkan dari garis keturunan Kiai baik dari pihak bapak atau ibu yang nasabnya nyambung pada sunan-sunan dan raja-raja di Madura dan Jawa. Maka jangan heran, banyak orang yang memiliki lembaga pendidikan Islam di Madura tapi tidak dipanggil Kiai dan anaknya tidak dipanggil Lora, biasanya dipanggil ustad atau haji. Sedangkan banyak orang yang tidak memiliki lembaga pendidikan Islam mendapat panggilan Kiai dan Lora karena nasabnya jelas dan tinggal di daerah yang masih dekat dengan keluarga yang memiliki lembaga pendidikan Islam meskipun hanya surau untuk anak-anak mengaji.

Kiai di Madura tidak hanya berperan sebagai tokoh agama tapi juga ada yang berperan di dunia pemerintahan bahkan pernah semua kabupaten di Pulau Madura bupatinya bergelar Kiai semua. Maka dari itu orang yang bergelar Kiai atau Lora terdiri dari berbagai profesi, mulai bupati, DPR, dosen, guru, pedagang, bidang kesehatan, sampai petani. Begitu pula dengan non Kiai juga terdiri dari berbagai profesi bahkan juga tokoh agama seperti ustad tapi biasanya tidak mendapatkan gelar Kiai. Karena gelar Kiai dan Lora hanya diperoleh dari keturunan. Bahkan sampai ada istilah menikah dengan orang dalam atau luar. Menikah dengan orang dalam adalah pernikahan yang terjadi jika sama-sama dari keluarga Kiai atau masih ada ikatan saudara, nikah dengan orang dalam masih sangat dianjurkan dari keluarga Kiai untuk memurnikan keturunan Kiainya. Namun, pernikahan ini sudah tidak begitu ketat, banyak putra-putri Kiai yang menikah dengan keluarga non Kiai terutama di perkotaan dan sudah tidak begitu memperdulikan gelar Lora untuk anak laki-lakinya.

Maka dari itu, gelar Lora salah satu diantara beberapa gelar kehormatan suatu budaya yang ada di Indonesia yang menjadi identitas suku-suku tertentu. Namun, gelar Lora kalah populer dibandingkan dengan gelar-gelar kehormatan budaya lainnya meski suku Madura dengan populasi besar di Indonesia. Seperti Cut dan Tengku yang identik dengan suku Aceh, Andi dan Daeng yang Identik dengan suku Bugis, Laode dan Waode yang identik dengan suku Buton, Tubagus yang identik dengan suku Banten, Raden dan Gus yang identik dengan suku Jawa, I Gusti yang identik dengan suku Bali, Datuk yang identik dengan suku Minang dan Melayu, dan gelar lainnya. Ketidakpopuleran gelar Lora dikancah nasional salah satunya karena gelar Lora tidak ditulis di akta kelahiran, KTP, dan Ijazah orang-orang yang menyandang gelarnya. Sehingga gelar ini tidak dikenal oleh suku-suku lain. Berbeda dengan Cut, Tengku, Laode, Waode, Andi, I Gusti, dan lainnya yang ditulis di dokumen-dokumen penting sehingga jika penyandang gelar tersebut pergi kemana pun orang akan mengenalnya meski awalnya disangka nama lahir. Seperti Tengku Wisnu, Cut Nyak Dien, Andi Malarangeng, dan lainnya.

Meski tidak ditulis pada dokumen penting, gelar Lora masih ditulis di undangan-undangan di acara-acara adat sebagai bentuk penghormatan. Selain itu, gelar Lora sangat berarti dalam ucapan. Orang Madura yang masih sangat taat pada Kiai akan meminta maaf jika tidak memanggil kata Lora pada putera Kiai yang tidak diketahui sebelumnya. Selain gelar Lora ada juga gelar adat di Indonesia yang tidak ditulis di Ijazah dan dokumen penting lainnya tapi cukup populer di Indonesia seperti gelar Gus di Jawa dan Datuk di Sumatera Barat. Sama seperti Lora, penyandang gelar Gus dan Datuk juga keturunan sunan-sunan dan raja-raja sehingga tidak sembarang orang mendapatkan gelar tersebut. Kepopuleran gelar Gus salah satunya karena gelar ini selalu disandingkan dengan nama tokoh terkenal penyandangnya oleh media massa seperti Gus Dur, Gus Sholah dan lainnya. Sedangkan kepopuleran gelar Datuk salah satunya karena gelar ini dijadikan tokoh dalam kesusastraan Indonesia seperti Datuk Maringgih dalam novel Siti Nurbaya.

Maka dari itu, bagi suku Madura yang kaya akan budaya tidak salah jika berterimakasih pada Lora Fadil yang mampu mempopulerkan gelar Lora di seluruh Indonesia. Sebab meski banyak pejabat pemerintah yang bergelar Lora dan sering tampil atau diberitakan di berbagai media massa, bahkan, pernah semua Kabupaten yang ada di pulau Madura dipimpin oleh Lora tapi gelar mereka tidak disebut di depan namanya pada pemberitaan di media massa. Sehingga gelar Lora tidak populer di Indonesia. Padahal gelar ini hanya dimiliki suku Madura.

———— *** ————-

Tags: