Memaksimalkan Empati di Bulan Filantropi

Oleh :
Jusrihamulyono A.HM
Trainer Pelatihan Pembentukan Kepribadian dan Kepemimpinan (P2KK) PUSDIKLAT Pengambangan SDM UMM

Sebagian besar umat Islam di bulan Ramadhan berlomba-lomba dalam mengoptimalkan diri untuk memberi apa yang dimilikinya. Tidak heran, dipinggir jalan sekelompok orang bagi-bagi takjil, sembako, ataupun sejenisnya makin marak ditemukan. Kegiatan ini berdasar dari sikap filantropi yang ditanam berdasar firman Allah SWT dan tuntunan Rasulullah Saw. Jika melihat pengertian filantropi, memiliki makna sebuah sikap saling mencintai antara yang lain dengan sumbangsih berupa materil maupun bantuan tenaga.

Dermawan dan momentum bulan Ramadhan sudah menjadi satu ikatan yang saling bersentuhan. Artinya, keinginan kuat untuk membagikan apa yang dimiliki menjadi ajang perlombaan di bulan tersebut. Banyak di antara kita lebih gemar dan termotivasi menjadi seorang dermawan di bulan Ramadhan saja. Tentu perihal ini tidak salah namun hemat penulis kurang tepat. Sebab dimanapun dan waktu kapan pun dapat menjadi seorang yang dermawan.

Pasalnya sikap filantropi ini sebagai bentuk hubungan dalam membangun rasa kepedulian antar sesama. Dengan hakikat membantu sesama, dapat ditunjukkan melalui berbagai cara yang telah diajarkan dalam syariat Islam, salah satunya menjadi sosok dermawan. Menjadi sosok dermawan (filantropi) membutuhkan kekuatan diri dalam memaknai keadaan orang lain.

Filantropi mengajarkan diri pada sikap empati. Dan inilah prinsip yang dibutuhkan di era sekarang. Dimana banyak orang merasa menutup diri (anti society) dari sebuah pergaulan dan tidak ingin melihat apa yang dirasakan oleh orang sekitar. Peluang menjadi sosok filantropi di bulan filantropi ini memiliki banyak jalur seperti sedekah, infak dan zakat. Sedekah dan infaq di bulan Ramadhan menjadi ajang perlombaan yang diinisiasi untuk membantu golongan dhuafa (tertekan secara ekonomi dan sosial).

Adapun zakat biasanya menjadi penyempurna amalan Ramadhan yang ditunaikan di akhir Ramadhan untuk membantu golongan-golongan yang berhak menerima zakat (Mustahik). Golongan ini sudah tercantum dalam Alquran dan hadits mengenai orang yang berhak menerima zakat, yaitu fakir, miskin, amil, mualaf, riqab, gharimin, fi sabilillah, dan ibnu sabil.

Kriteria orang yang berhak menerima zakat tersendiri dari tuntutan syariat Islam tidak lepas dari keinginan syariat (maqashid syariah) untuk melepaskan belenggu orang atau sekelompok agar tidak merasakan ketersiksaan secara finansial. Tidak sembarangan kata untuk identitas orang yang layak menerima bantuan. Artinya, seorang dermawan harus bijak menilai kelayakan orang-orang yang ingin diberi agar kemanfaatannya tidak salah sasaran.

Di sisi lain, persoalan besar yang menghantui pengelolaan dana filantropi. Banyaknya penyalahgunaan dana filantropi yang digunakan untuk menghidupi kehidupan pribadi. Kejadian ini sangat merusak image sosok filontropi yang sesungguhnya. Momentum bulan Ramadhan ini, diharapkan pilar filantropi tersebut membentuk jiwa empati agar tidak mati rasa melihat penderitaan orang disekitar apalagi mengambil hak orang lain. Kepekaan terhadap sesama sangat penting sebagai ciri khas makhluk sosial.

Semangat berbagi
Melalui bulan Ramadhan, kegiatan yang ditopang dengan kegiatan sosial semakin memberi efek kemanusiaan. Melihat kebahagiaan serta senyuman orang lain atas pemberian kita menjadi nilai plus tersendiri yang sulit untuk diuraikan. Banyak saudara kita yang memerlukan bantuan uluran tangan dari orang yang berlebihan secara materil maupun tenaga. Sangat disayangkan momentum bulan ramadhan ini tidak menjadikan diri sebagai penanaman sikap empati prososial.

Jika melihat salah satu pandangan dari arti Empati menurut Goleman (dalam Nugraha dkk, 2017: 31), empati merupakan kemampuan seseorang untuk memahami perasaan dan permasalahan orang lain. Semarak membagikan materi berupa sumbangan takjil, sumbangan pembangunan masjid, santunan kepada fakir miskin serta sumbangan ke kaum dhuafa di bulan Ramadhan sudah tidak dipertanyakan lagi.

Kedermawanan seseorang yang lebih dari cukup akan di uji di bulan Ramadhan. Bahkan orang yang secara ekonomi pas-pasan memiliki rasa optimisme yang tinggi untuk berbagi. Hal ini tidak lepas dari wadah menjadi filantropi selama sebulan. Instruksi Allah SWT sebagaimana firman-nya (QS Al Baqarah ayat 261), menjadi motivasi untuk mengeluarkan meski sedikit asal bermanfaat.

Cara demikian upaya dalam merefleksikan nilai filantropi yang bermartabat. Memaksimalkan hari-hari yang tersisa di akhir bulan Ramadhan diharapkan menjadi peluang besar dalam mendidik diri sebagai orang yang memiliki rasa empati terhadap sesama.

Bulan Kebersamaan
Selain bulan ampunan (maghfirah), bulan Al-Qur’an, bulan Ramadhan juga dikenal bulan kebersamaan. Secara harfiah bulan kebersamaan ini identik dengan berkumpulnya dengan sanak saudara serta keluarga besar. Bulan kebersamaan ini mampu memicu rasa empati saat pulang kampung atau mudik. Maka tidak heran keluarga yang merantau kemudian pulang ke rumah selalu mempersiapkan angpao (sejenis amplop hadiah) untuk dibagikan kepada ponakan, sepupu, hingga anak-anak yang berada di lingkungan sekitar.

Sikap demikian lahir dari rasa empati yang ingin merasakan bagaimana anak-anak bahagia. Atau ingin merasakan nostalgia mendapatkan hadiah yang pernah dirasakan saat kecil. Melalui bulan kebersamaan, zakat-zakat fitrah yang ditunaikan sebelum shalat idul Fitri bagian upaya untuk mengungkapkan perasaan empati terhadap orang-orang yang membutuhkan.

Tentu kewajiban zakat fitrah ini menjadi ilustrasi pembelajaran sebagai wadah dalam memposisikan diri sebagai dermawan. Maka dalam prakteknya, semua umat Islam berbondong-bondong mengeluarkan zakat untuk diberikan kepada golongan yang telah ditentukan. Meskipun nilai zakat yang diberikan tidak mampu mengubah secara signifikan orang yang memerlukan, namun manfaat untuk kebersamaan dalam merasakan apa yang dirasakan oleh mereka menjadi kunci silaturahmi.

Tradisi-tradisi tersebut, mengerahkan pelakunya untuk berbuat baik kepada sesama. Menjadikan pelakunya untuk memiliki rasa hibah terhadap apa yang dilihatnya. Bilamana rasa empati ini mampu tertanam secara maksimal dalam hati seseorang, maka sudah barang tentu sikap ta’awun atau tolong menolong menjadi rutinitas kehidupan dalam bersosial. Kedermawanan seseorang sebagai ujian untuk memperkokoh rasa empati. Pada akhirnya, menjadi sosok dermawan perlu latihan yang kuat serta konsisten.

———– *** ————-

Tags: