Memaknai Pro-Kontra Haji Saat Pandemi Covid-19

Oleh:
Susanto
Jamaah Haji 2019, Guru dan kini mengajar di SMAN 3 Bojonegoro.

Pemberitaan tentang pelaksanaan haji tahun ini sangat menarik dicermati. Memunculkan pro dan kontra di kalangan masyarakat. Ada efouria masyarakat Indonesia bahwa Kerajaan Arab Saudi telah membuka dan mengizinkan Calon Jamaah Haji (CJH) asal Indonesia setelah dua tahun tidak ada haji karena pandemi covid-19. Sedangkan yang kontra, ada keresahan dimasyarakat Indonesia hanya mendapat kouta 100.051 kursi. Artinya, dibanding sebelum pandemi tahun 2019 tahun ini hanya 50 persen yang akan berangkat. Lebih detail lagi ada kebijakan dari Kerajaan Arab Saudi yang berangkat haji tahun ini harus berusia di bawah 65 tahun. Bahkan ada pasangan suami istri yang tidak bisa berangkat karena faktor usia. (Kolom Jati Diri, JP 28 April 2022).

Pertanyaannya kenapa permasalahan haji dan tata kelolanya selalu menimbulkan permasalahan tersendiri? Apa yang harus dilakukan oleh pemerintah? Dan bagaimana memaknai fenomena haji di era pandemi Covid-19?

Persoalan haji sangat menarik dan magnit tersendiri bila dibicarakan. Bukan soal ritual merupakan kewajiban yang harus dilaksanakan sekali saja dalam hidup akan tetapi setiap muslim harus menunaikan dengan sebaik-baiknya.Dalam pemahaman itu seseorang yang ingin berangkat haji sangat diperlukan motivasi yang lurus dan benar. Motivasi ibadah haji sebagaimana ibadah-ibadah lainnya dalam Islam adalah ikhlas karena Allah dan dalam rangka memperoleh ridha-Nya.

Dalam Shahih Al-Bukhari dan Muslim dari shahabat Abdullah bin Umar diriwayatkan bahwa Nabi SAW bersabda: “Agama Islam dibangun di atas lima perkara: bersyahadat bahwa tidak ada yang berhak diibadahi kecuali Allah dan Nabi Muhammad itu utusan Allah mendirikan shalat menunaikan zakat dam shaum di bulan Ramadhan dan berhaji ke Baitullah.”

Begitu pula diriwayatkan oleh Al-Imam Sa’id bin Manshur dalam Sunan- dari shahabat Umar bin Al-Khaththab beliau berkata: “Sungguh aku bertekad mengirim pasukan ke penjuru dunia untuk memantau orang-orang mempunyai kelapangan harta namun tidak mau berhaji dan menarik upeti dari mereka. Mereka bukan orang Islam mereka bukan orang Islam.”

Tentunya pergi haji memberikan dampak psikologis tersendiri. Bukan soal ritual semata tapi juga persoalan “gelar” atau “status sosial”. Fenomena itu bukan hanya isapan jempol semata. Masyarakat kita masih bangga apabila di depannya ada tambahan huruf H atau Hj. Begitu juga masyarakat kita masih “gila” kalau bisa naik haji lebih dari satu kali padahal yang diwajibkan hanya sekali dalam seumur hidup. Hal inilah yang menjadi salah satu masalah bagaimana peliknya tata kelola hari dari tahun ke tahun seakan seperti mengurai benang kusut. Bahkan kalau daftar tahun 2022 sudah daftar tunggu sudah sampai 35-40 tahun.

Menata Hati

Menyikapi antian panjang pemberangkatan haji dari tahun ke tahun paling tidak ada beberapa hal yang harus dilakukan. Pertama, pemerintah harus bisa memberi rasa aman kepada masyarakat yang menunaikan ibadah haji khususnya di saat pandemi covid-19. Maksudnya, karena hampir 2 tahun Indonesia tidak memberangkatkan haji adanya pandemi maka CJH harus memproteksi diri dari segi kesehatan baik vaksin 1, 2 dan juga booster. Langkah ini, dapat memberikan kepastian bahwa CJH Indonesia mendapatkan layanan kesehatan sehingga saat menjalankan ibadah tidak terbayangi terkait sehatan. Pengelolaan haji pada masa mendatang, peran pemerintahan harus bisa memberi jaminan lebih baik yang menyangkut administrasi dan juga pelayanan selama dan sesudah menunaikan ibadah haji.

Kedua, memberikan batasan kepada CJH untuk melaksanakan ibadah haji satu kali dalam seumur hidup. Langkah ini akan memberikan dampak psikologis tersendiri kepada masyarakat khususnya untuk solusi agar antian panjang CJH tidak semakin parah. Memang orang berangkat haji merupakan hak setiap umat muslim karena mampu membayar ONH akan tetapi harus tetap melihat urgensi dan kondisi real dimasyarakat. Dengan demikian, orang yang ekonomi atau hartanya pas-pasan “ngoyo” untuk bisa naik haji dapat bisa menjalankan ibadah haji dengan khusyuk tidak selalu terpikir antian bertahun-tahun seperti saat ini.

Ketiga, pemerintah Indonesia melaui Kemenag RI harus selalu melakukan pendekatan dan langkah konkrit kepada Kerajaan Arab Saudi agar Indonesia bisa mendapatkan kebijakan khusus dalam pemberangkatan haji. Mengapa demikian? Karena CJH asal Indonesia paling banyak di dunia sekaligus komunitas muslimnya terbesar. Disamping itu, Kemenag RI harus bisa melakukan diplomasi bahwa CHJ Indonesia telah memiliki semangat dan kedisiplinan yang tinggi saat melakukan prosesi haji. Dengan demikian, pada masa yang akan datang tidak ada antrian yang panjang dan masyarakat dapat mudah untuk berangkat ke Baitullah.

Persoalan pengelolaan haji di era pandemi covid-19 harus menjadi bagian terpenting dalam merevolusi mental bangsa. Tata kelola haji harus mendapat skala prioritas bagi pemerintah pada umumnya dan Kemenag pada khususnya. Kalau pengelolaan haji ini dapat secara maksimal dibenahi tentunya berdampak pada spiritual masyarakat kita yang mau berangkat ke Baitullah. Spiritual tata kelola masalah haji harus bisa memberikan kepastian kepada masyarakat sehingga dapat meminimalkan pro dan kontra yang berkelanjutan khususnya antrian panjang terkait dengan pemberangkatan. Keberangkatan CJH asal Indonesia di saat pandemi ini secara tidak langsung akan berdampak pada kepercayaan dunia bahwa CJH sehat dan aman karena tertib dalam melakukan prokes. Oleh karena itu, sinergi yang baik dari semua pihak baik pengelola haji dan CJH dalam melaksanakan prosesi akan berdampak bagi kesalehan sosial dan kemabruran haji.

———- *** ———–

Tags: