Membijakkan Warganet

Pengguna media sosial (warganet) Indonesia dinilai paling tidak sopan di seantero Asia Tenggara. Berita bohong (hoax) dan penipuan di media sosial makin “booming” pada pandemi. Begitu pula posting, dan ujaran kebencian, makin meningkat. Ini ironis, karena pada saat bersamaan UU Informasi dan Transaksi Elektronik, diminta direvisi. Maka diperlukan kinerja lebih berkeringat Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN), serta Kepolisian.

Perusahaan jasa perangkat lunak teknologi informasi, Microsoft, menyelenggarakan survei tahunan tentang perilaku individu pengguna internet. Survei ke-5 tahun 2020, melibatkan netizen di 32 negara, dengan 1. 600 responden. Hasilnya, Indonesia berada pada peringkat ke-29. Artinya, “ke-sopan-an” pengguna internet Indonesia berada pada posisi terendah ketiga. Mengutip Mashable Asia, nilai warganet 062 (Indonesia) tergolong paling “tidak sopan” ketiga.

Nilai “ke-sopan-an” (dengan poin angka 76) merupakan yang paling “tidak sopan” se-Asia Tenggara. Negara yang paling “sopan” dalam ber-internet di kawasan ASEAN, adalah Singapura, disusul Malaysia. Sedangkan yang paling “sopan,” se-dunia, diraih netizen Belanda. Pemeringkatan “ke-sopan-an” telah direspons dengan berbagai komentar, termasuk kritisi negatif. Namun realitanya, beberapa kali warganet masuk dalam kategori tidak bijak dalam penggunaan internet. Antara lain, separuhnya digunakan mengakses pornografi.
Berdasar data layanan manajemen konten HootSuite, dan agensi pemasaran media sosial, sebanyak 73,7% masyarakat Indonesia telah tersambung internet. Laporan bertajuk “Digital 2021” juga mencatat peningkatan pesat (15,5%) dibanding tahun 2020 lalu. Saat ini sebanyak 202 juta jiwa telah melek internet. Sebanyak 170 juta tergolong aktif (setidaknya salaam 3 jam 14 menit) di platform jejaring sosial. Sedangkan rerata penggunaan internet selama 8 jam 52 menit.

Seyogianya survei (DCI) menjadi warning seluruh stake-holder, dan setiap pengguna internet memperbaiki perilaku. Karena Indonesia telah menjadi tiga besar pengguna internet di dunia. Gadget berbasis android, telah digunakan di berbagai tempat, lokasi perkantoran, sampai di persawahan. Seluruh aplikasi media sosial (medsos) memiliki pelanggan dalam jumlah puluhan juta pengguna. Sebagian menggunakan secara bijak, sebagai sarana hiburan, menyokong pekerjaan dan ke-ilmu-an.
Namun lebih separuhnya digunakan melebihi batas kebebasan, menimbulkan kekacauan sosial. Berjuta-juta kata (dan gambar) di-posting bebas tanpa halangan. Bebas mem-posting apapun, canda, maupun keluh kesah. Begitu pula posting perundungan, pelehan dan penistaan. Berjuta-juta pernyataan penistaan dan berita bohong (hoax) bertebaran di media sosial. Bagai “perang” terbuka tanpa batas. Juga menjadi media propaganda, sekaligus menghantam pihak lain yang dianggap sebagai penghalang.

“Kegaduhan” media sosial di Indonesia, terjejaki sejak Pilkada Jakarta tahun 2017. Berpuncak pada Pilpres (Pemilihan Presiden) tahun 2019. Benar-benar mem-bombardir tatanan sosial bagai perang terbuka. “Amunisi” utama berita hoax, berupa fitnah dan perundungan politik berkait dengan calon presiden. Sangat membahayakan, karena menyasar urusan ber-altar ras, antar golongan, dan agama. Peningkatan penggunaan internet merupakan “buah” konstitusi yang menjamin kebebasan informasi dan menyatakan pendapat. UUD pasal 28F.

Konstitusi juga memberi arahan kebebasan berpendapat. Pada pasal 28J ayat (2) dinyatakan, “Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.“

Aparat negara juga memiliki wewenang yang diberikan UUD pasal 28-I ayat (5), berdasar prinsip negara hukum yang demokratis. Sekaligus mencegah ancaman kehancuran tatanan sosial.

——— 000 ——–

Rate this article!
Membijakkan Warganet,5 / 5 ( 1votes )
Tags: