Memudahkan Layanan Publik

Layanan Publik“Kalau bisa dipersulit, mengapa dipermudah?” Begitu sindiran untuk proses pelayanan masyarakat. Khususnya ke-administrasi-an publik, berbagai per-izinan, serta pengurusan identitas kependudukan. Tetapi itu dulu, pada saat pegawai birokrasi digaji rendah.
Masa kini, paradigma pegawai pemerintahan telah berubah secara bertahap. Pucuk pimpinan pemerintahan (presiden, gubernur, bupati dan walikota) menjadi “motor” reformasi birokrasi.
Presiden telah memberi instruksi khusus terhadap proses pelayanan publik. Sampai kini, urusan ke-administrasi-an publik terasa masih belum efektif, belum efisien, dan belum mudah. Mengurus izin usaha (terutama usaha mikro dan kecil) harus mudah dan murah. Mengurus izin praktek ke-profesian, juga harus mudah dan murah, tidak terbelenggu oleh asosiasi ke-profesian. Dan terutama, mengurus e-KTP, wajib mudah dan gratis.
Di berbagai daerah, mengurus IMB (izin mendirikan bangunan) untuk tempat tinggal, masih berbelit-belit, lama dan mahal. Walau bangunan yang didirikan tak lebih dari 100 meter persegi. Bahkan mengurus PBB (Pajak Bumi dan Bangunan) juga sulit, sering dimanfaatkan sebagai ajang per-caloan. Dan paling ironis, adalah mengurus identitas diri (kependudukan), khususnya e-KTP masih memerlukan waktu sangat lama. Sampai berbulan-bulan setelah perekaman.
Pelaksanaan proyek e-KTP terus menuai permasalahan teknis maupun prosedur. Sampai pula terindikasi korupsi melibatkan pejabat di Kementerian Dalam Negeri. Kenyataannya, mengurus KTP makin sulit dan membutuhkan waktu lebih lama (sampai 3 bulan). Kegaduhan administrasi kependudukan semakin berkepanjangan manakala pemerintah pusat mengambil-alih penerbitan KTP melalui proyek nasional.
Siapa berkewajiban mencetak dan mendistribusikan KTP? Berdasarkan UUNomor  24 tahun 2013 tentang Administrasi Kependudukan (Perubahan terhadap UU Nomor 23 tahun 2006), dinyatakan sebagai kewajiban pemerintah. Tidak tanggung-tanggung, kewajiban pemerintah bukan sekadar diatur dalam norma (batang tubuh) UU. Melainkan diatur dalam klausul “menimbang.” Artinya, kewajiban pemerintah itu diakui secara filosofis (melekat sejak awal) sebagai amanat UUD).
Jika dirunut berdasar UU Administrasi Kependudukan, urusan KTP menjadi domain Pemerintah Kabupaten dan Kota. Pasal 7 ayat (1) “Pemerintah kabupaten/kota berkewajiban dan bertanggung jawab  menyelenggarakan urusan Administrasi Kependudukan ….” Pasal 7 ayat (1) huruf b, tugas Pemkab dan Pemkot adalah membentuk instansi pelaksana.
Selanjutnya Pada pasal 8 ayat (1) huruf c, dinyatakan, bahwa instansi pelaksana itulah yang berkewajiban mencetak, menerbitkan, dan mendistribusikan Dokumen Kependudukan. Siapa itu instansi pelaksana? Juga sudah diatur definisinya pada pasal 1 (Ketentuan Umum) angka ke-7.  Yakni, “Instansi Pelaksana adalah perangkat pemerintah kabupaten/kota yang bertanggung jawab dan berwenang  melaksanakan  pelayanan dalam urusan Administrasi Kependudukan.”
Jadi, pencetakan, penerbitan dan pendistribusian KTP merupakan domain  “milik” Pemerintah Kabupaten dan Kota. Mengapa pemerintah pusat (Kementerian Dalam Negeri) mengambil-alih? Wallahu a’lam bis-shawab. Boleh jadi itulah yang menyebabkan Kementerian Dalam Negeri merasa perlu meng-evaluasi pencetakan e-KTP. Evaluasinya berupa penghentian pencetakan e-KTP selama dua bulan (akhir tahun 2014 hingga Pebruari 2015).
Selama ini masih jutaan warga Jawa Timur yang seharusnya telah berhak memiliki KTP tetapi belum menerima e-KTP. Walau sudah melakukan perekaman di Kelurahan, atau  tempat lain (dengan supervisi Dinas Kependudukan). Selain efektifitas kegunaannya (yang konon dijanjikan multi-fungsi), proses pencetakannya pun masih terpusat (di Jakarta). Seolah-olah program itu pure proyek milik pemerintah pusat (Kementerian Dalam Negeri). Seharusnya e-KTP sudah bisa dilayani di tingkat kelurahan. Maka, prinsip desentralisasi KTP menjadi terciderai.
Layanan publik masih memerlukan reformasi, bahkan “revolusi” paradigma birokrasi. Hambatan paradigma aparatur sering menyebabkan biaya tinggi urusan administrasi publik. Berujung pada hambatan investasi, hambatan usaha, dan menyebabkan lambannya gerak perekonomian. Boleh jadi, diperlukan pakta integritas (dan loyalitas) pada awal rekrutmen CPNS.

                                                                                                     ———- ooo ———-

Rate this article!
Memudahkan Layanan Publik,5 / 5 ( 1votes )
Tags: